SETIAP bulai Mei setiap tahunnya, tepatnya tanggal 2 dan 20 Mei kita memperingati dua agenda besar di dalam sejarah bangsa yaitu Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Tokoh yang menancapkan sejarah kebangsaan tersebut merupakan masyarakat Indonesia dan seorang Indo-Belanda yang menginginkan citra rasa pendidikan yang harus dirasakan oleh setiap masyarakat dan rasa kebanggaan atas bangsa dan Negara dalam menuju kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, perdamaian abadi dan berkeadilan sosial.
Prasasti tersebut telah diukir secara tulus ikhlas oleh Ki Hajar Dewantara dengan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), Ing Ngarsa Sungtulada (di depan memberi teladan), Sutomo, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo dengan Budi Utomonya dalam mengupayakan sikap nasionalis dalam memperbaiki nasib bangsa.
Prasasti pendidikan dan kebangkitan nasional tersebut merupakan tonggak awal dalam perubahan bangsa di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan pendidikan yang terpatri utuh di dalam Konstitusional Pembukaan Undang-Undang 1945 alinea keempat.
Telah satu abad lebih kita selalu memperingati hari tersebut, namun masih banyak substansi yang belum tercapai. Sebut saja biaya pendidikan yang mahal, kesejahteraan tenaga pendidik yang belum optimal, wawasan nusantara atas cara pandang bangsa di bidang nasionalis yang meluntur dicirikan dengan pembelajaran sejarah di seluruh variable baik diksi, syair dan puitis kurang teraplikasi di dalam kehidupan.
Mengutip dari tayangan TV bebarapa waktu yang lalu tentang lambang Sila pada Pancasila, Syair Indonesia Raya mengasumsikan bahwa pendidikan tentang sejarah perjuangan bangsa dan cara pandang bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 perlu untuk dihijaukan kembali. Pada era tahun 1990-an peringatan kedua hari ini ditandai dengan Cerdas Tangkas antar sekolah yang bermateri pada Isi dan kandungan UUD 1945, Pancasila dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Belum lagi jika melihat dinamika politik terkini, sepertinya ada hal yang harus segera dirumuskan kembali. Merumuskan dan membangkitkan kembali pengetahuan anak bangsa tentang arti pentingnya mencintai negeri ini, negeri yang diperjuangan oleh seluruh komponen bangsa dengan harta, darah dan ilmu. Negeri yang berbhineka, berbhineka dan merakyat pada seluruh aspek, dan tidak didominasi oleh SARA tertentu, ini penting untuk menjaga keseimbangan, antara culture dan civilization.
Negeri ini sudah merdeka selama 69 tahun, dan beberapa bulan lagi (17 Agustus 2015) tepat 70 tahun. Sebelumnya kita dijajah selama 3,5 abad oleh bangsa yang nenanamkan feodalisme, adu domba dan kebodohan. Kebodohanlah yang menjadikan seluruh drama yang terjadi di negeri ini dikonsumsi oleh setidaknya 27,73 juta rakyat Indonesia yang hidup miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2014 mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen dari total penduduk Indonesia, turun 11,25 persen dari 28,28 juta orang tahun sebelumnya. Angka kemiskinan cenderung turun sejak tahun 2009 meski dalam jumlah yang belum signifikan. Pada 2009, angka kemiskinan mencapai 32,35 juta jiwa (sumber: BPS).
Kemiskinan terjadi sebagai dampak dari ketiadaan ilmu.Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya dalam QS. Al-Mujaadilah ayat 11 :“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Hal itulah sebagai sumbernya, dan sumber ini merupakan wadah paling baik untuk melakukan apapun untuk penggapain sebuah cita. Baik cita yang baik ataupun cita yang buruk. Menjamurnya sekolah dengan berbagai produk beraneka ragam persis seperti dagangan ponsel di centra elektronik.
Menjamurnya rumah sakit juga dengan keanekaragaman produknya dengan harga yang sangat fantastik. Bahkan sekolah pemerintah dan rumah sakit pemerintahpun ikut-ikutan dan berlomba pasang harga yang menguntungkan dengan dalih strategi peningkatan mutu pendidikan di negeri ini. Program jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih pendidikan juga diterapkan bukan hanya di sekokolah swasta, sekolah negeripun ikut-ikutan.
Gonta ganti kurikulum seperti berlomba membangun prasasti kepemimpinan atas pendidikan dan mengabaikan peserta didik yang menjadi ujicobanya. Kasta pendidikan terjadi, penyakit lama yang akan dimunculkan kembali. Tawuran, geng-gengan dalam satu sekolah, konsumtif teknologi menjadikan wajah pendidikan di negeri ini sudah mirip dengan wajah Tuan Baron dengan Bourjoisnya.
Lantas, apa yang diperoleh oleh orang miskin dan bukan berpura-pura menjadi miskin untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatannya dengan baik?
Tahun lalu, seorang anak bernama Aisyah yang masih sangat muda melakukan pekerjaannnya dengan mengemis untuk melanjutkan hidup dan mengurus ayahnya yang sedang sakit parah karena Tuberkolusis (TBC) di Kota Medan, Sumatera Utara. Masih bersukur, kita memiliki awak media yang mau perduli dengan kisah Aisyah dengan mengangkatnya dalam sebuah reportase. Hasilnya cukup pantastik dan memukau. Awak media dengan niatnya yang tulus menjadi pemicu mata dan hati penguasa untuk membuka matanya atas fakta dan realitas yang ada. Masih banyak Aisyah-aisyah lainnya lagi.
Ini hanya sebuah potret kecil dari sekian banyak peristiwa yang mungkin terlewatkan, betapa mengerikannya negeri yang kita cintai ini. Dan kemiskinan jugalah segmen untuk pencitraan semu. Karena orang miskin pola berfikirnya sederhana, hanya sejengkal; leher, lambung dan kemaluan. Berbeda mungkin dengan orang yang hidupnya lebih baik yang mempergunakan pikirannya. Selama kemiskinan masih ada dengan jumlah sebesar 27,73 juta dan hanya bisa ditekan 2,9 persen pertahun sejak tahun 2009, maka jangan pernah berharap negeri yang kita cintai ini akan berubah menjadi negeri yang makmur.
Pendidikan dengan agenda besar yang dapat mengantarkan bangsa kita ke depan pintu gerbang kesejahteraan umum dengan meningkatkan pengetahuan yang luas, intelektual, bijak dan santun tersandung dengan mahalnya biaya pendidikan, kurangnya fasilitas pendidikan dan kesejahteraan tenaga pendidik yang belum terpenuhi. Tidak terpungkiri dan harus diakui bahwa olympiade di bidang kimia, fisika dan matematika dinominasi oleh kita, namun tidak secara merata dengan varian yang kecil. Sulitnya bernegosiasi dengan terbatasnya warisan bahasa yang dierami oleh penjajah. Untuk itu peningkatan bahasa terutama bahasa internasional niscaya harus dilakukan. Kalah besar dengan geng-gengan, tawuran, pelecehan seks, traveling pendidikan dan hedonisme anak didik.
Pencapaian pendidikan kedepan harus dimotori dengan fokus para pemimpin di negeri ini sebagaimana fokusnya pemimpin di negara lain berkaitan dengan pentingnya pendidikan dan nasionalisme sebagai investasi sumberdaya bangsa ke depan.
1. Jepang ketika disinggahi Little Boy, 2 kota besarnya Hirosima dan Nagasaki hancur. Langkah yang ditempuh oleh kaisar untuk pemulihan adalah dengan menyelenggarakan sekolah gratis dan mensejahterakan tenaga pendidik. Sekarang Jepang menjadi negara pilih tanding di dunia;
2. Cina, melakukan inventarisir dan mengintegrasikan seluruh pengrajin di negaranya (home industri) sekarang menjadi negara industri yang menentukan;
3. Amerika, pasca kolonial Inggris mengilhami rakyatnya untuk bangga dan cinta terhadap tanah air sekarang menjadi negara super di dunia;
4. India, pasca Mahatma Ghandi dengan Swadeshinya mampu mencitrakan diri dengan teknologi informasi dan industrinya;
5. Malaysia, pasca kolonial Inggris dan warisan bahasanya melakukan ekspor tenaga pendidik pada tahun 1970-an dari Indonesia, menjadi negara yang dituju beberapa negara untuk mengantarkan rakyatnya mengecap pendidikan di negara tersebut .
Ada harapan bagi bangsa ini kedepan, harapan untuk terbangun dari dinamika yang ada, harapan merakyat dan berbhineka melalui kesungguhan implementasi agenda pembangunan nasional 2015-2019. Semoga.
Penulis- Affan Rangkuti