MEDAN – Penyataan Ketua PB Al Washliyah Masyhuril Khamis yang menegaskan personil PW Al Washliyah Sumut merupakan orang yang jelas kealwashliyahannya ditanggapi serius kader Ikatan Pelajar Al Washliyah (IPA). Yang dipermasalahkan Ketua Ikatan Alumni Latihan Kader Instruktur (LKI) IPA Guntur Syahputra adalah orang yang bukan kader tetapi masuk menjadi pengurus di Al Washliyah. Penjelasan PB Al Washliyah bahwa kader terbagi dua, formal dan nonformal dinilai tidak tepat untuk kasus Sumut.
Guntur mengatakan apa yang di jelaskan Khamis menjadikan makna kader multi tafsir. “Memahami apa yg disampaikan ayahanda Khamis berarti kader terbagi dua, formal dan non formal. Bila makna kader dibagi seperti ini, maka orang akan lebi memilih kader yang non formal. Lalu buat apa capek-capek duduk di ruangan selama 6 X 24 jam, dengan fasilitas makan yang dikenal dengan nasi umat,” katanya menjelaskan tentang keadaan perkaderan.
Lebih lanjut dibeberkannya, buat apa panitia dibentuk dengan mengorbankan tugas-tugas yang lain. Para instruktur meninggalkan pekerjaannya. “Buat apa ada doktrin organisasi, buat apa ada bai’at kader, buat apa semua itu dilakukan? Toh, pada akhirnya sama dengan yang tidak pernah melakukan hal tersebut,” ungkapnya tidak setuju dengan penjelasan Ketua PB Al Washliyah.
Kalau memang kader masih di masukkan kategori kualifikasi, lalu apa istimewanya arti kader itu. “Saya kira kita sudah memahami makna kader itu adalah regenerasi. IPA dan HIMMAH adalah wadah untuk menciptakan generasi itu,” terang aktivis IPA Sumut itu pada Senin (23/3) di Medan. Sehingga ditambahkannya, ketika sudah diciptakan lembaga untuk regenerasi kemudian generasi yang dilahirkan itu tidak di manfaatkan, untuk apa di ciptakan kaderisasi.
Ketua LKI IPA ini meminta Majelis Kader PB Al Washliyah mau menjelaskan tentang arti kader sesungguhnya. “Saya kira keberadaan Majelis Kader Al Washliyah bisa menjawab ini. Atau bila tidak berfungsi ya di bubarkan saja Majelis Kader tersebut,” tegas salah satu calon Ketum PP IPA. Beberapa waktu lalu Majelis Kader dikatakannya sudah membuat silabus dan kurikulum kaderisasi, bila semua dianggap sama di Al Washliyah ini dan tidak ada yang istimewa untuk apa dibuat itu semua.
Guntur Syahputra tidak menolak warga Al Washliyah yang bukan kader duduk di kepengurusan namun posisinya harus disesuaikan. “Kalau simpatisan saya kira sudah ada porsinya, ya itu di anggota pleno, bukan di pengurus,” ingatnya. Dalam waktu dekat dirinya akan melakukan uji publik dan history terkait pengurus Al Washliyah Sumut. Hasilnya nanti akan dipublikasikan. Karena Sumut merupakan jantungnya Washliyah dan laboratorium kader.
Sementara tentang donatur yang dimasukan di PW Al Washliyah Sumut, Guntur juga tidak sependapat. “Nah, kalau donatur saya kira tidak serta merta harus dimasukkan ke dalam pengurus inti. Dahulupun hingga sekarang banyak orang mendonaturkan hartanya ke panti-panti Washliyah, namun tidak menuntut harus menjadi pengurus,” imbuhnya. Bahkan para donatur itu pun tidak mau diajak masuk pengurus. Karena mereka ikhlas mendonaturkan hartanya untuk Al Washliyah.
Kader IPA ini mengatakan kritikan yang dilontarkannya tersebut untuk kebaikan organisasi di masa mendatang. Diharapkannya dari kritikan tersebut menjadi pelajaran yang berharga. Sehingga harus membuat sistem yang betul-betul dipatuhi. “Saya kira Al Washliyah harus mulai tegas dengan sikap independennya, harus tegas dalam sistemnya. Bukan berarti menolak yang bukan kader untuk jadi pengurus, tapi harus diberi syarat, atau dibuat suatu pendidikan khusus bagi mereka,” tuturnya.
(mrl)