JAKARTA – Pemerintah berpandangan melarang seseorang yang hendak menunaikan ibadah haji lagi justru akan melanggar HAM orang lain. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk memeluk agama dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Prinsip ini juga dianut Pasal 4 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) terkait hak umat Islam menunaikan ibadah haji.
“Jika pemerintah melarang orang yang sudah berhaji kembali menunaikan haji lagi, sama saja pemerintah tidak menjamin umat Islam yang hendak menunaikan ibadah haji sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,” ujar Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Abdul Djamil saat sidang pengujian UU Nomor 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) dan UU Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH) di gedung MK, Selasa (3/3) sebagaimana yang dirilis laman hukumonline.com
Abdul melanjutkan persyaratan harus mampu sehat jasmani dan rohani, jaminan keamanan, serta mampu membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sejalan dengan Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97 yang berbunyi: ‘Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah yaitu orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana’.
“Ini perwujudan mampu memiliki bekal perjalanan berhaji dan memenuhi kebutuhan nafkah keluarga yang ditinggalkan,” ujarnya menerangkan.
Menurutnya, menghilangkan setoran awal BPIH berdampak buruk bagi penyelenggaraan ibadah haji. Pertama, daftar tunggu jamaah haji akan meningkat signifikan. Kedua, tidak ada kepastian persiapan pembiayaan operasional penyelenggaraan ibadah haji tahun berjalan. Faktanya, setoran BPIH sebagai alat ukur kemampuan dari sisi bekal keuangan, animo masyarakat berhaji tetap tinggi.
Sebagai catatan, hingga 31 Desember 2014 haji reguler mencapai 2.684.305 orang, haji khusus (ONH plus) 95.000. Sementara kuota haji setiap tahun (dalam tiga tahun terakhir) hanya 168.800 orang. Tak jarang, calon jemaah haji yang sudah mendaftar dan membayar setoran awal BPIH seringkali membatalkan/mengundurkan diri yang jumlah sekitar 6.000 orang per tahun.
“Pasal 5 yang mengatur persyaratan membayar setoran BPIH justru telah memberikan kepastian hukum. Kalau tidak justru akan menimbulkan kekacauan, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum dalam pengelolaannya,” paparnya.
Pemerintah tak sependapat dengan pandangan pemohon biaya operasional penyelenggaraan haji dan nilai manfaat tahun berjalan. Menurut Djamil, selama ini nilai manfaat dana setoran awal BPIH telah dimanfaatkan untuk mengurangi besaran BPIH. Antara lain membiayai pemondokan di Mekkah dan Madinah, sewa hotel di Jeddah, pelayanan umum, katering dan transportasi di Saudi Arabia, penerbitan paspor, dan asuransi.
Dia mengakui pengelolaan keuangan haji yang diatur Pasal 6 UU PKH dibayarkan ke rekening atas nama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) karena kedudukannya sebagai wakil sah dari jamaah haji pada kas haji melalui BPS BPIH. Hal ini semata-mata agar pengelolaan keuangan haji dapat terkelola dengan baik, rasional, efisien, dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat Islam.
“Jadi, seharusnya permohonan ini ditolak atau tidak diterima dan menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” harapnya.
Sebelumnya, Fathul Hadie Usman, Sumilatun, JN Raisal Haq mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU PIH dan UU PKH. Mereka mempersoalkan klausul syarat berhaji masih dibolehkan ibadah haji lebih dari sekali, adanya kewajiban setoran awal BPIH atas nama menteri termasuk nilai manfaatnya dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Para pemohon terhambat menunaikan ibadah haji lantaran banyak orang berhaji lebih dari sekali tanpa syarat tertentu terutama bagi orang Islam yang sudah berhaji. Padahal, kewajiban berhaji hanya sekali seumur hidup. Terlebih, saat ini daftar tunggu ibadah haji mencapai 22 tahun.
Para pemohon menilai kewajiban setoran awal BPIH untuk memperoleh porsi sebesar Rp25 juta ke rekening Menteri Agama/BPKH bentuk pemaksaan kehendak terhadap calon jemaah haji. Nilai manfaat dari setoran awal itu dianggap tidak jelas tanpa adanya akad/perjanjian, jaminan dan persyaratan. Sementara pelaksanaan ibadah hajinya atau daftar tunggu masih sekitar antara 15-25 tahunan ke depan.
Menurutnya, seharusnya biaya haji daftar tunggu adalah setoran awal BPIH dan nilai manfaatnya pada tahun berjalan tidak boleh memaksa yang sifatnya sukarela. Karenanya, para pemohon meminta agar pasal-pasal itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 4 ayat (1) UU PIH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘kecuali bagi orang Islam yang sudah menjalankan ibadah haji’.
Pasal 5 UU PIH juga dimaknai setiap orang yang mendaftarkan haji daftar tunggu wajib membayar BPIH (setor awal haji), tabungan haji, atau cicilan haji. Selain itu, Pasal 5 dan Pasal 6 UU PKH sepanjang frasa “Setoran BPIH” dan frasa “nilai manfaat keuangan haji” sepanjang tidak dimaknai sebagai “Setoran BPIH” dan “nilai manfaat keuangan haji pada tahun berjalan penyelenggaraan ibadah haji”.
(rilis/mrl)