DALAM setiap operasional penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, nama Syaikh Hamid Al-Kaff tidak pernah terlewatkan. Perannya sebagai konsultan, kalau bukan mufti, bagi para jemaah haji maupun petugas yang memerlukan jawaban atas permasalahan-permasalahan manasik haji dalam kurun waktu 15 tahun terakhir menegaskan eksistensinya sebagai ulama yang ‘alim dan diakui. Pun demikian pada tahun ini, ulama sepuh ini tetap bersemangat menyediakan dirinya di Daker Makkah.
Syeikh Hamid Alawi Al-Kaff lahir di Banjarmasin pada tahun 1927. Ia lahir dari pasangan Alawi bin Salim Al-Kaff, yang nasabnya bersambung kepada Husain bin Ali bin Abdul Muthalib (Husain bin Fatimah binti Muhammad Saw), dengan wanita bernama Hajir. Namun sayang, padausia ke-3 tahun ia sudah ditinggal wafat ibunda tercinta. Setelah menghabiskan usia yatim di kota kelahirannya, pada usia 22 tahun ia mengikuti ayah beserta rombongan keluarganya menunaikan ibadah haji sekaligus hijrah ke Makkah meninggalkan Nusantara yang tengah dilanda perang revolusi.
Di Makkah Al-Kaff berguru kepada ulama-ulama Tanah Haram seperti Syaikh Hasan Masysyath, Syeikh Amin Kutbi dan Syaikh Alwi Al-Maliki serta ulama-ulama lainnya. Selain kepada ulama-ulama Haram, Al-Kaff juga belajar kepada, beberapa ulama asal Nusantara seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Mandaily, Ahyat bin Muhammad Idris Al-Bujuri dan Syaikh Yasin Padang.
Pada masa-masa itu, masih banyak ulama Indonesia yang menjadi syaikh atau ulama besar yang diakui di Arab Saudi. Selain nama-nama di atas, terdapat pula Sayyid Muhsin bin ‘Ali bin ‘Abdurrahman Al Musawa Al-Falimbani. Syaikh Musawa inilah yang merintis berdirinya Madrasah Darul Ulum Ad-Diniyah bersama dengan Syaikh Muhaimin bin Abdul Aziz Lasem yang menelurkan banyak ustadz dan alumin yang di kemudian hari mengajar di madrasah-madrasah negeri dan swasta. Di antara alumni madrasah yang terkenal adalah Musnidul ‘Ashr Al ‘Allamah Abul Faidh Al Fadani, yang lebih dikenal dengan Syaikh Yasin Padang, dan juga KH.Maimun Zubair Rembang.
Berdirinya madrasah ini menurut penuturan Al-Kaff, juga cukup unik. Suatu ketika seorang syaikh asal India menghina pengembara ilmu asal Indonesia dan melarang ikut kegiatan belajar yang ia asuh di Madrasah Shaulatiyah. Mendengar hal itu, Syaikh Muhsin yang saat itu menjadi sesepuh ulama Indonesia pun geram dan mengajak murid-muridnya mendirikan Madrasah sendiri bagi warga Indonesia. Menurut Martin van Bruinessen (1995), Madrasah Shaulatiyah didirikan oleh Shaulahan Nisa dan dipimpin oleh ulama India militant dan dihormati, Rahmatullah bin Khalil al Utsmani. Pada awal abad ke-20 banyak orang Islam Indonesia yang belajar di madrasah ini, termasuk Sayyid Muhsin al-Musawwa al-Palimbani dan Syaikh Yasin Padang sendiri.
Masih menurut van Bruinessen, konflik terjadi karena para guru dan murid dari kawasan India kurang suka dengan banyaknya murid dari Indonesia dan berkomunikasi dengan bahasa Melayu.
Setelah didirikan, Darul Ulum Ad-Diniyah kemudian berkembang pesat, bahkan membuka kegiatan belajar-mengajar bagi kaum perempuan, yaitu Kuttabul Banat. Ini merupakan terobosan baru karena menjadi sekolah pertama di Arab Saudi yang membuka kelas khusus perempuan di dunia
Arab yang didominasi kaum laki-laki. Sayang sekali karena kesulitan pendanaan, sekolah yang dirintis para ulama terkenal itu di kemudian hari harus diambilalih oleh pemerintah Saudi Arabia.
Al-Kaff sendiri termasuk murid pada awal berdirinya Madrasah ini. Padausia 27 tahun, setelah lulus dari DarulUlum Ad-Diniyah, penyuka sate ini sempat bekerja di kantor Majelis Syura Arab Saudi. Selain menjadi pegawai lembaga parlemen ini, Al-Kaff juga mulai aktif mengajar di madrasah almamaternya, yaitu Darul Ulum Ad-Diniyah. Di sekolah inilah, ia bergaul dengan Syaikh Yasin Padang selama kurang lebih 30 tahun, baik semasa menjadi murid maupun kemudian ikut membantu mengajar. Pada masa-masa ini pula ia menikahi wanita Arab Saudi bernama Habibah binti Muhammad Aqil, saat menginjak usia 37 tahun. Bersama dengan Habibah, ia dikaruniai 2 anak laki-laki bernama Alawi dan Husain dan 2 anak perempuan bernama Hajir dan Sana’.
Al-Kaff juga sempat mengajar di Masjidil Haram selama beberapa waktu. Spesifikasi keilmuannya adalah dalam bidang fiqih, ushul fiqih, dan hadis. Namun kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang melarang kegiatan pengajaran fiqih yang bermadzhab selain Maliki memaksanya menghentikan kegiatan tersebut.
Dalam penyelenggaraan ibadah haji, Al-Kaff telah membantu pemerintah Indonesia sejak 15 tahun yang lalu sebagai konsultan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan manasik ibadah haji dan umrah, meneruskan peran KH. Husein Efendi. Pada usianya yang ke-86 tahun, Al-Kaff tinggal di daerah Syamiyah dan di rumahnya ini, ia terus menularkan ilmu keagamannya kepada masyarakat Indonesia yang bermukim di Mekkah, meneruskan jejak para ulama dahulu menyebarkan ilmu di Bumi Talbiyah.
Oleh: H. Mahmudi Affan Rangkuti, S.PdI, SE, MEI