JAKARTA – Pemberian nama organisasi dengan Al Jam’iyatul Wasliyah oleh Guru Kepala Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) H. Muhammad Yunus bukan tanpa makna. Penamaan organisasi dilakukannya dengan terlebih dahulu mendirikan sholat sunah dua rakaat. Makna Al Jam’iyatul Washliyah itu memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Demikian dikatakan Ketua Umum PB Al Washliyah Dr. Yusnar Yusuf, MS dalam acara Dzikir dan Doa HUT ke 84 Al Washliyah pada Jumat (29/11) di Universitas Al Washliyah (Univa) Medan.
Al Jam’iyatul Washliyah berarti perkumpulan yang menghubungkan. “Makna yang pertama adalah menghubungkan manusia denga al Khalik (hablum minallah). Kedua, menghubungkan antar ummat Islam Indonesia dengan semua manusia dan semua suku bangsa,” terang Yusnar. Lalu yang ketiga menghubungkan antarsemua golongan Muslim.
Selain itu dijelaskan Yusnar, lahirnya Al Washliyah merupakan prestasi civitas academica MIT melalui proses metamorfose Debating Club. Ini didorong gerakan dakwah kepada masyarakat dhuafa yang waktu itu mendambakan kemerdekaan dari penjajah.
Semangat untuk memberi kontribusi kepada umat melalui dakwah telah melampaui perhatian para pendiri Al Washliyah bahkan terhadap diri mereka sendiri. “Abdurahman Syihab misalnya, mengganti madrasah miliknya dengan nama Madrasah Al Washliyah,” tegas Yusnar di hadapan ribuan warga Al Washliyah yang memadati halaman Univa.
Perestasi lain yang diperoleh Ormas berlambang bulan sabit bintang lima itu dengan menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). MIAI ini akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi merupakan partai politik Islam yang sangat besar ketika itu.
Disampaikannya juga, ada tiga amal usaha yang telah disepakati ulama Al Washliyah untuk terus dikerjakan Ormas Islam ini. “Sejak awal berdirinya Al Washliyah telah menggunakan dakwah menjadi alat perjuangan utama, menyusul pendidikan dan amal sosial,” imbuh Ketum Al Washliyah itu. Dengan tiga amal tersebut membuat Al Washliyah berhasil menjadi lembaga perekat rakyat dengan kesultanan yang saat itu sebagai penguasa.
(mrl)