Tulisan ini dibuat bukan bermaksud ingin memihak kepada orangnya atau kelompok pendukungnya, tapi lebih berorientasi kepada nilai kebenaran yang dijunjung tinggi dan diterapkan, sepanjang si pembawa nilai masih konsisten dengan nilai-nilai luhur yaitu Kepemimpinan Egaliter dan Demokratis.
Inilah saatnya kita menyaksikan perubahan yang semakin menunjukkan puncak kejayaannya. Di Indonesia hawa perubahan itu sudah mulai terasa bagi kita sejak kepemimpinan Presiden Habibie yang sudah memulai gerakan reformasi. Suatu suasana yang ditunggu-tunggu oleh orang banyak di Indonesia mungkin juga di dunia dalam rentang waktu yang panjang, dimana setiap orang dapat menikmati secara bersama-sama, nyata dan proporsional yaitu; kemakmuran yang merata untuk mendapatkan makanan kesehatan dan pendidikan, menikmati rezeki secara manusiawi, kesetaraan derajat yang dijunjung tinggi, adanya kebebasan berbicara di depan umum maupun pimpinannya baik lisan maupun tulisan, kebebasan berserikat dan berkumpul menyatakan pendapat, persamaan hak dan kedudukan di depan hukum, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara serta mencapai sesuatu kemajuan yang diinginkan. Itulah dia diantara budaya egaliter dan demokratis.
Budaya Egaliter
Budaya egaliter adalah budaya yang dapat dinikmati oleh setiap orang, di Indonesia jumlahnya kini sekitar 250 juta orang. Budaya egaliter pada dasarnya adalah suatu sikap yang ditampilkan oleh seseorang baik sikap individu maupun dalam memimpin kelembagaan. Suatu sikap yang selalu menampilkan derajat yang sama dan setingkat, berdiri sama tinggi duduk sama rendah, bisa bersama-sama seiring sejalan, bisa saling menghargai, saling mencintai, selalu duduk maupun berjalan bersama-sama, mau berkorban untuk negara dan orang lain sahabat kita, dan semua orang dapat menikmati apa yang menjadi haknya sebagai warga negara serta lebih bersifat demokratis. Sikap egaliter ini juga diajarkan dalam agama Islam tapi untuk sesama manusia saja, tidak kepada Allah.
Budaya egaliter ini sejalan dengan visi dan misi Al Washliyah dan sesuai dengan kebiasaan orang Medan, sepanjang pengamalannya tidak bertentangan dengan nilai-nila dasar yang diajarkan dalam Islam. Al Washliyah tentu menjunjung tinggi sifat tersebut selama masih sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Islam. Bukan egaliter yang kebablasan, sehingga hilang tata krama kepada Allah dan ajaran agama, hormat kepada orang tua, kepada orang yang lebih dituakan, atau hormat kepada guru, ulama, pemimpin yang semestinya tetap dilakukan secara wajar dan proporsional. Sifat egaliter lebih dekat kepada nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi oleh manusia yang beradab sesuai fitrahnya.
Budaya Feodal
Budaya Feodal adalah budaya yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, dilakoni oleh para pemimpin dan orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan, mereka yang bisa merapatkan diri. Budaya Feodal berasal dari budaya Barat. Pada dasarnya feodal adalah suatu penataan hubungan antara bangsawan dengan prajurit, biasanya berlaku di kalangan militer, juga dilingkungan kerajaan untuk raja dan keluarga kerajaan serta kroninya. Kini sudah pula masuk kedalam budaya politik dan kekuasaan pemerintahan. Jangan sampai budaya itu masuk ke dalam rumah tangga, diterapkan oleh seseorang terutama kepada istri dan anak-anaknya serta lingkungan famili dekat dan tetangganya, suasananya sangat tidak enak dan kaku karena tidak demokratis.
Budaya feodal ini biasanya hanya dinikmati oleh orang yang berkedudukan tinggi atau orang berpangkat, atau orang-orang yang dianugerahi banyak kelebihan-kelebihan yang dihargai oleh masyarakat seperti; keturunan raja atau bangsawan, hartawan, orang yang memiliki kedudukan, dll, mereka bisa kong kali kong sesama mereka karena punya akses dengan pusat kekuasaan untuk mengamankan kekuasaan dan kepentingannya, satu dua orang yang mau loyal akan mereka tarik kedalam lingkarannya silih berganti dari satu generasi ke generasi lain, sedangkan orang diluar yang tidak masuk ke dalam lingkaran kekuasaannnya lebih diposisikan menjadi pelengkap, dijadikan alat untuk penghibur dan penggembira oleh kaum feodal.
Sifat feodal selalu merasa diri lebih dari orang lain, jika posisinya lebih tinggi dari orang lain maka orang lain itu dianggap lebih rendah darinya, tidak sederajat, harus mau unggah ungguh (kata orang jawa) di hadapannya, sehingga dengan itu ia bisa menikmati kelebihan dan kebesarannya terlihat didepan umum. Bagi yang mau unggah-ungguh akan mendapatkan perhatian yang baik dan tentu kebagian rezeki yang lebih daripada yang tidak mau unggah-ungguh, tentu orang itu biasanya kurang disukai dan bisa ditinggal dan dilupakan bahkan kadang ada yang sampai dimarahi dan dicurigai.
Ajaran Islam pada dasarnya sangat tidak sesuai dengan budaya feodal ini, karena lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya. Budaya feodal lebih menjunjung tinggi perbedaan kasta karena kedudukan atau keturunan diantara manusia, itu lebih kepada keyakinan agama dan adat istiadat yang mengenal dan menegakkan kasta. Sifat itu tidak sesuai pula dengan visi dan misi Al Washliyah yang menjunjung tinggi ajaran Islam, maka Al Washliyah tentu menolaknya dan selama ini orang yang bersikap feodal tidak akan mendapat tempat dan kehormatan termasuk orang yang mempertahankan dinasti kepemimpinan berdasarkan keturunannya di Al Washliyah.
Di Indonesia, seperti halnya orang Arab pada umumnya memiliki sifat dasar egaliter. Mungkin sifat ini lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam, akan tapi dikerajaan-kerajaan yang tumbuh di Indonesia yang tidak didasarkan Islam, baik kerajaan kecil maupun kerajaan besar, yang dapat pengaruh dari penjajah Belanda tumbuh sifat feodalnya.
Sikap Feodal itu mensakralkan budaya yang diciptakan manusia dan banyak meninggalkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai universal yang dianut oleh bangsa yang beradab demi melanggengkan kekuasaan. Kepemimpinan feodal selalu menerapkan sikap disiplin tinggi yang sangat protokoler, dibangun sikap loyal pada atasan atau raja yang cenderung berlebihan walaupun mengorbankan ajaran agama dan kepentingan keluarga. Sikap itu diciptakan lebih kepada kepentingan untuk membesarkan nama pemimpin agar lebih dikagumi dan dihormati dalam rangka melanggengkan kepemimpinan dan kekuasaannya serta melindungi kepentingannya.
Orang-orang yang bisa sukses berada di dalam kepemimpinan Feodal dalam praktek pada umumnya adalah mereka yang mau cari muka kepada pimpinannya, tunduk patuh setia walaupun kadang harus melawan hati nurani. Orang yang suka cari muka biasanya lebih disukai ketimbang orang yang idealis yang mau mengkritik demi kebaikan bersama dan kebenaran, biasanya orang seperti itu malah dibenci dan disingkirkan dan dicari cari kesalahannya dengan alasan tidak bisa diajak kerjasama.
Dalam Kepemimpinan Feodal, dalam penerapannya praktek hukum biasanya selalu dirasakan tumpul keatas tajam kebawah walau yang ditonjolkan kesamaan hak didepan hukum, cenderung korup dan rekayasa untuk pembenaran apa yang sedang dilakukan, dalam pembagian rezeki umumnya tidak merata dan proporsional, sangat besar bagian untuk atasan atau raja dan kroni-kroninya dengan cara direkayasa dan kecil sekali bagian untuk anak buahnya dan rakyat biasa. Keadaan suasana kelihatan lebih aman dan stabil karena memimpin lebih bersifat otoriter, tapi sesungguhnya penderitaan yang berkepanjangan dirasakan oleh orang banyak. Orang yang memimpin bersifat feodal senang dihormati walau yang menghormati kehilangan derajat kemanusiaannya.
Revolusi Mental
Inikah saatnya berubah?. Untung ada Jokowi. Presiden RI yang terpilih oleh rakyat dengan cara pemilihan langsung untuk periode 2014-2019. Jokowi datang dengan konsep revolusi mentalnya, meruntuhkan nilai sakral gaya feodal dan menonjolkan sikap egaliter yaitu kepemimpin rakyat sama setara. Mengapa orang lebih memilih Jokowi? Siapa yang memilihnya?. Rakyat banyak dan beberapa kaum elit mungkin sudah bosan dengan gaya feodal yang seolah-olah mensejahterakan rakyat, tapi sesungguhnya lebih menjadi penikmat, sedangkan rakyat banyak mengalami penderitaan berkepanjangan dan beberapa gelintir orang saja yang bisa menikmati kenikmatan dalam bernegara dan berbangsa.
Jokowi melakukan perubahan, namun saat ini dia masih dilingkungi oleh beberapa orang yang sudah enak dengan budaya feodal. Tentu saat ini beliau belum bisa menjalankan ide revolusi mentalnya dengan murni, tapi dia sudah berbuat dan memulainya dengan meruntuhkan kesakralan budaya kaum feodal yang harus selalu tampil necis dan rapi, penuh basa basi dan keprotokolan yang tinggi, tapi kurang keras bekerjanya.
Generasi muda, sejak tahun 80 an kelihatannya sudah mulai terasa ada hawa perubahan sikap, mereka lebih cenderung menyukai sikap kepemimpinan egaliter daripada kepemimpinan feodal, suatu sifat warisan penjajah Belanda yang pernah dipraktekkan dalam lingkungan kerajaan-kerajaan yang dapat dipengaruhi dan ditundukkan oleh Belanda. Mulai terasa ada gap antara generasi tua dan generasi muda dalam bersikap, karena generasi muda lebih cenderung bersikap lebih bebas dan lebih demokratis. Namun sikap itu harus dikawal oleh nilai-nilai agama agar tidak kebablasan.
Semoga Pak Jokowi dapat konsisten dengan revolusi mentalnya, tidak terganggu oleh orang yang tidak suka dengan sikap egalityernya, dan semoga tidak pula berubah setelah berada dikisaran kekuasaan yang tinggi. Dengan demikian kita berharap akan bisa lebih tenang hidup di dalam kapal besar Republik Indonesia yang dinahodai oleh Presiden Jokowi.
Wassalam
Abdul Mun’im