BerandaKabar WashliyahPerjanjian Pranikah Budaya yang Diharamkan

Perjanjian Pranikah Budaya yang Diharamkan

PERJANJIAN pranikah adalah budaya Barat yang diadopsi oleh sebagian masyarakat Islam di negara-negara Islam dan semakin lama kelihatannya akan semakin terus berkembang. Ini disebabkan karena nilai-nilai luhur budaya terutama nilai-nilai agama sudah luntur dan jauh dari pengamalan oleh masyarakat Islam itu sendiri. Ada beberapa hal yang mendasari terjadinya perjanjian pranikah diantaranya,

1.Karena nikah beda agama, maka diantara perjanjiannya tentang hak asuh anak dan keyakinan agamanya.
2.Tentang harta yang diperoleh kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan sebelum terjadinya pernikahan.
3.Hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan utang-piutang ketika atau sebelum perkawinan. Dsb

Kesemua bentuk perjanjian di atas mutlak bukan budaya Islam dan hukumnya adalah haram, karena didalam perjanjian tersebut rentan terjadi kecurangan, penipuan, khianat, kelicikan, ketidak adilan, keterpaksaan, melepaskan tanggung jawab, kelihatan adail namun melanggar ketentuan syari’at, dll.

Didalam hubungan rumah tangga dalam Islam sudah ada dan jelas ada aturannya. Aqad nikah dalam Islam adalah sebuah perjanjian atas dasar adanya kerelaan (‘Antaradhin) dari kedua belah pihak yang tidak melanggar aturan dan norma syari’at Islam dan tidak diikan dengat bentuk sebuah perjanjian yang dibuat-buat menurut hawa nafsu manusia. Karena perjanjian yang dibuat oleh manusia jika bertentangan dengan syariat Allah Swt mutlak hukumnya adalah “Haram” dan “Mardud” (tertolak), sebagaimana Allah Swt berfirman,

… وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ( المائدة ٥/٤٤)
Barangsiapa yang tidak memutuskan (hukum , aturan atau undang-undang) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Almaidah: 5/44).

Perjanjian pranikah jika ditilik lebih mendasar lagi bahwa kedua mempelai khuatir harta yang dimiliki sebelum menikah tidak ingin menjadi konflik perebutan didalam rumah tangga atau menjadi rebutan ketika terjadi perceraian. Niat seperti ini berarti sudah didasari adanya saling curiga atau adanya hati dan sifat yang tidak memiliki kasih sayang, tanggung jawab atau merasa seakan pasangan suami isteri itu sudah tidak ada memiliki niat baik untuk menjalankan kelangsungan hidup rumah tangga tersebut untuk selamanya. Seakan perkawinan itu sudah direncanakan tidak langgeng atau hanya sementara.Yang dipikirkan bagaimana harta yang dimiliki sebelum menikah tidak boleh dimiliki oleh pasangan hidupnya.

Bahkan penulis pernah menyaksikan sendiri ada sebagian masyarakat muslim di Malaysia yang telah melakukan perjanjian pranikah masalah harta. Terjadi hubungan yang kurang harmonis karena sang suami memiliki harta yang banyak sebelum menikah tidak dapat dirasakan oleh isteri dan anak-anaknya karena dalam perjanjian yang boleh dipergunakan dan dimiliki oleh anak isteri dalam perjanjian pranikah hanya hasil sang suami sejak menikah saja, sedangkan sang suami sejak menikah pekerjaannya dan penghasilannya hanya pas-pasan bahkan terkadang tidak mencukupi dan sudah memiliki lima orang anak. Ketika itu salah seorang anaknya yang sudah tamat sekolah ingin masuk perguruan tinggi terbaik yang harus mengeluarkan biaya besar.

Ayahnya memutuskan tidak ingin mengkuliahkan anaknya dan menyuruhnya untuk bekerja saja. Dengan alasan gaji penghasilannya tidak mencukupi bahkan untuk kehidupan sehari-hari menanggung lima orang anak saja masih kurang. Sang suami sebelum menikah memiliki tanah dan perkebunan yang luas disamping memiliki tabungan simpanan Bank jutaan Ringgit (Meliaran rupian) namun karena sudah pernah membuat perjanjian pranikah terhadap isterinya bahwa harta itu tidak dapat digunakan untuk biaya dalam rumah tangga maka sang isteri dan anak-anaknya tidak dapat memaksa ayahnya harus menggunakan harta tersebut.

Lain lagi jika mertua perlu bantuan boleh diberi dari harta pranikah asal utang dan sifatnya harus dibayar. Yang lebih menyedihkan lagi ketika isteri menginginkan modal untuk usaha boleh memakai uang suami yang dimiliki sebelum menikah asal bersifat utang dan wajib harus dibayar. Jika isteri atau keluarga isteri tidak sanggup membayar maka suami memotong gaji yang diambuil dari kewajiban nafkahnya setelah menikah dipotong atau dikurangi sebagai cicilan hutang Isteri dan keluarganya. Bahkan terkadang mengancam keluarga isterinya jika tidak sanggup bayar hutang akan dilaporkan ke Polisi.

Begitu juga tidak sedikit dari pihak wanita akhirnya melakukan kezaliman, kecurangan dan penipuan terhadap suaminya atas sebab perjanjian pranikah baik mengenai harta, hutang piutang, akidah (agama) atas sebab perkawinan beda agama, dsb. Sebenarnya banyak sekali contoh-contoh dampak negatif akibat perjanjian pranikah yang diadopsi dari masyarakat Barat yang malah meruntuhkan nilai-nilai kesakralan rumah tangga yang Islami. Namun dalam tulisan ini tidak kita jabarkan begitu luas contoh-contoh tersebut karena keterbatasan tempat. Namun contoh di atas sudah dapat kita jadikan pelajaran dan ibrah akan buruknya perjanjian pranikah tersebut.

Dasar- Dasar Perjanjian Pranikah Diharamkan

Kaidah dan etika dasar dalam perkawinan dalam menjalankan mahligai rumah tangga sebagaimana Allah Swt berfirman,
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ {الروم : ٣٠/٢١}

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Arrum 30/21)

Dari ayat di atas ada tiga pokok yang mendasar dalam menjalankan mahligai rumah tangga yaitu

1. Sakinah (لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا) ketenangan dalam rumah tangga. Ketenagan dan ketenteraman baik secara sosial, ekonomi, budaya, jiwa, perasaan, tenteram atau ketenangan ketika sedih, senang, sakit, sehat, dll . Terlebih ketenangan pandangan mata dan syahwat kita tidak dihumbar ketempat-tempat yang diharamkan Allah Swt. Bagaimana keluhuran sakinah itu dapat terwujud dalam membangun mahligai rumah tangga jika sudah ada keterikatan perjanjian pranikah diantara dua belah pihak.

2.Mawaddah (مَّوَدَّةً ; cordiality, goodwill, frienly relation, frienship) bahwa pasangan suami isteri itu adalah teman dekat untuk saling berbagi atas dasar keikhlasan dan ketulusan yang didasari nilai-nilai taqwa baik ketika senag ataupun susah, miskin atau kaya, cantik ataupun jelek, masih muda maupun sudah tua, dlsb tidak ada batas dan sekat selagi tidak bertentangan dengan syari’at Allah Swt. Maka perjanjian pranikah itu tidak mencerminkan makna dari hakikat Mawaddah itu sendiri.

3.Rahmah (رَحْمَةً) hubungan suami isteri itu akan melahirkan kasih sayang yang tidak dibatasi oleh kecantikan atau kekayaan semata. Rahmah (kasih sayang) itu akan melahirkan keluhuran adanya saling pengertian dan tanggung jawab yang tidak dibatasi dengan sekat-sekat adanya perjanjian pranikah.

Sebab lain perjanjian pranikah diharamkan yaitu:

1. Perjanjian pranikah sebagaimana di atas berarti sudah secara sengaja menghapuskan adanya pembagian Faraid (فرائض) perintah Allah dalam Alqur’an tentang hak dan kewajiban pembagian harta terhadap ahli waris termasuk hak isteri dan anak-anak. Bagi yang melakukan perjanjian pranikah jika suami meninggal maka isteri tidak berhak menerima harta yang dimiliki suami sebelum menikah dan sudah diikat dengan perjanjian pranikah.

Dalam Faraid (pembagian harta waris menurut Alqur’an) disebutkan bagian suami dapat ½ dari harta yang ditinggalkan jika isteri wafat tidak meninggalkan anak. Dan suami mendapat ¼ dari harta jika isteri wafat ada meninggalkan anak. Begitu juga Isteri akan mendapat ¼ jika suami wafat tidak ada meninggalkan anak. Dan isteri mendapat 1/8 dari harta jika suami wafat ada meninggalkan anak. Sedangkan yang dikatakan harta suami tidak dapat dibatasai atas dasar perjanjian pranikah. Begitu juga sebaliknya jika isterinya meninggal maka suami dan ahli warisnyanya juga memiliki hak atas hartanya yang tidak dapat dibatasi oleh adanya perjanjian pranikah.

2.Perjanjian pranikah berarti secara sengaja menghapuskan nilai-nilai ibadah yang dianjurkan dalam Alqur’an seperti Wasiat, Hibah, Sedekah. Wasiat, hibah dan sedekah dapat menjadi keharusan bagi suami isteri yang memiliki anak angkat atau anak asuh begitu juga dengan pembantu yang mengurus mereka sehari-hari. Karena anak angkat tidak dapat harta waris namun memiliki hak dari harta wasiat, hebah atau sedekah dari kedua orang tua anggkatnya. Jadi wasiat, hebah dan sedekah terhadap anak angkat atau pembantu itu tidak dapat dibatasi oleh adanya perjanjian pranikah.

3.Kewajiban nafkah terhadap anak dan isteri. Tidak ada alasan bagi suami isteri yang telah menikah tidak mau memberi nafkah kepada anak-anaknya atau iterinya karena sebab dibatasi oleh adanya perjanjian pranikah. Sebagai contoh suami sebelum menikah memiliki uang satu meliar rupiah, setelah menikah uang tidak ada karena pengangguran atau tidak bekerja maka suami mengatakan aku tidak dapat memberi nafkah kepada isterinya karena alasan tidak bekerja atau tidak ada uang. Sedangkan uang simpanan sebelum menikah ada 1 miliar rupiah. Suami beralasan sudah ada perjanjian pranikah yang tidak dapat diganggu gugat untuk keperluan rumahtangganya.

4.Masalah laki-laki Muslim menikahi wanita Kitabiyah (wanita Yahudi dan Nasrani) melakukan perjanjian pranikah tentang hak asuh anak dan akidah keyakinan sang anak dibuat harus mengikut ibunya jika terjadi perceraian.Didalam Islam perjanjian tersebut batil dan tertolak. Menurut hukum Islam jika terjadi perceraian hak isteri yang beragama Yahudi atau Nasrani hak asuh anak hanya sampai berumur tujuh tahun setelah itu hak ada ditangan ayah yang beragama Islam dan agama anak sudah otomatis mengikut agama sang ayah yaitu Islam bukan agama sang Ibu. Maka perjanjian pranikah di atas batal menurut syari’at Islam.

Sedangkan bagi wanita muslimah sudah menjadi Ijma’ Ulama menikah dengan peria non Islam sama ada dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) atau dengan agama lainnya mutlak Haram, nikahnya tidak sah (lihat Qur’an Suaral Almumtahanah [60] ayat: 10). Jika terjadi perkawinan maka hubungannnya sama dengan kumpul kebo. Jika memiliki anak dari pernikahan tersebut maka anak tersebut dihukumkan sama dengan anak zina. Lihat tulisan KH. Ovied. R dengan judul “Nikah Beda Agama Sama Dengan Kumpul Kebo”.

Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian pranikah adalah budaya yang diharamkan dalam Islam. Masalah harta gonogini memang hanya dibagi dari hasil yang diperoleh sejak pernikahan jika terjadi perceraian suami isteri. Namun pada dasarnya harta gonogini tersebut meskipun tidak ada aturan sunnah dari Rasulullah Saw namun tetap tidak diperbolehkan pembagiannya dilakukan dengan sebuah perjanjian yang dilakukan sebelum pernikahan (perjanjian pranikah) yang berhak memutuskannya harta gonogini adalah Qadhi atau pengadilan hakim Agama Islam jika terjadi setelah adanya perceraian. Wallahua’lam

KH. Ovied.R

Penulis adalah: Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan  Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di  Malaysia] Email: dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com Facebook : Buya Ovied. HP: 088.885.818.84/0813.824.972.35.

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille