BerandaOpiniMenginterpretasikan Ayat-ayat Mutsyabihat Lewat ‘Aqli dan Naqli

Menginterpretasikan Ayat-ayat Mutsyabihat Lewat ‘Aqli dan Naqli

AL QUR’AN merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kitab suci ini menjadi pedoman terakhir yang menghimpun semua hajat umat manusia yang berupa kebahagian dan keselamatan dunia dan akhirat. Al-quran merupakan harga mati yang tidak seorang pun dari manusia mampu untuk mengubah, memalsukan, dan menyelewangkan isi kandungannya. Al-qur’an adalah mukjizat terbesar yang pernah Allah swt berikan kepada nabi Muhammad saw. Bahkan ia mukjizat yang paling besar dari pada mukjizat rasul-rasul sebelumnya. Karena selain digunakan sebagai hujjah atas orang-orang kafir seperti yang lain, keberadaannya akan terus berlanjut di tengah-tengah orang beriman hingga akhir zaman. Al-qur’an yang diturunkan selama 23 tahun ini menggunakan bahasa arab yang fasih dan jelas sebagaimana yang di firmankan oleh Allah Swt. artinya:

“Dan sungguh, (Al-quran) ini benar-benar diturunkan oleh tuhan seluruh alam* yang dibawa turun oleh ruhul amin (Jibril)* ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan* dengan bahasa arab yang jelas.” (QS: Asy-syuara, 192-195).

Dan firmannya lagi yang artinya:

“Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Quran berbahasa arab agar kamu mengerti.” (QS: Yusuf, 2).

Al-quran benar-benar menggunakan bahasa arab yang jelas dan fasih. Kefasihannya mengalahkan syair-syair kuno arab pada zaman jahiliyah. Tidak ada satu pun orang yang mendengarkannya kecuali ia akan merasakan nikmatnya lantunan ayat-ayat yang dibacakan dan dahsyatnya isi Al-quran yang membuat hati siapa saja bergetar dan mengakui kehebatan, kebesaran, dan keagungan Al-quran.

Sebagai mukjizat di akhir zaman, Al-quran diturunkan kepada semua umat manusia. Bahkan, bukan hanya kepada manusia saja Al-quran ditujukan, Alquran berbicara kepada semua jenis makhluk ciptaan Allah. Kepada langit dan bumi Allah berbicara, kepada surga dan neraka Allah berbicara, kepada malaikat, jin, manusia dan hewan Allah berbicara, kepada lautan, pepohonan, tanah, air, dan api sekali pun Allah berbicara. Dan tentu semuanya itu dengan kekuasaannya Allah ta’ala. Tidak ada yang bisa memahami semua bahasa itu kecuali Allah Swt. Manusia yang memiliki keterbatasan secara pasti selamanya tidak akan mampu untuk memahami bahasa selain bahasa manusia. Ia hanya mengerti dengan bahasa yang ada di sekelilingnya.

Karena ada banyak makhluk yang dibicarakan Al-quran maka ada banyak dimensi alam yang terekam didalamnya. Diantaranya, alam manusia, alam barzakh, alam rahim, alam akhirat, alam malaikat, alam jin, dan yang lainnya. Dan alam akhirat merupakan alam yang paling besar kedudukannya di sisi Allah Swt. karena itu, terdapat banyak ayat yang menyinggung masalah akhirat hingga kisah para nabi yang terangkum dalam Al-quran sering sekali menyebutkan masalah akhirat terutama yang berkaitan dengan surga dan neraka.

Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa Al-quran diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih ini jika dilihat dari segi tata bahasanya. Akan tetapi, jika ditinjau dari sisi makna dalam setiap ayat maka di antaranya ada yang muhkamah (yang terang dan tegas maksudnya) dan ada yang mutsyabihat (yang mengandung beberapa pengertian dan sulit untuk dipahami, atau hanya Allah yang mengetahui maksudnya). Seperti yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya:

“Dia-lah yang menurunkan kitab (Al-quran) kepadamu (Muhammad). Diantaranya ada yang muhkamah, itulah pokok-pokok kitab (Al-quran) dan yang lain mutasyabihat.” (QS: Ali imran, 7).

Jadi secara garis besar makna setiap ayat yang terkandung di dalam Al-quran terbagi kepada dua, ada yang muhkamah dan ada yang mutasyabih. Dan ini wajib dipahami bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran dan keselamatan dalam berakidah. Tapi sebagian orang masih ada yang belum mengerti tentang pernyataan ayat di atas atau tidak mengindahkannya dan lebih memilih kepada sesuatu yang sesuai dengan akal dan hawa nafsunya. Sementara dalam memahami nash-nash Al-quran harus benar-benar mengikuti metode salafunassaleh yaitu dengan pendekatan hadist-hadits shahih atau pemahaman yang sesuai dengan petunjuk syariat dan jauh dari dorongan-dorongan hawa nafsu dan akal semata.

Nash-nash yang mengandung makna yang samar dalam arti tidak jelas untuk menentukan makna seperti apa yang lebih tepat untuk sebuah ayat maka yang lebih aman menyerahkan makna sepenuhnya kepada Allah ta’ala karena hanya dia yang lebih tahu apa yang dia kehendaki. Metode seperti ini dinamakan metode naqli karena mereka memahami ayat-ayat tersebut lewat teks Al-qur’an yang memerintahkan untuk mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah ta’ala (QS: Ali-Imran, 7). Dan mazhab mereka lebih dikenal dengan mazhab As-salaf. Metode seperti ini telah digunakan oleh para sahabat dan para tabi’in (abad ke-2 Hijrah) dan tabi’ tabi’in (abad ke-3 Hijrah) semoga Allah ta’ala meridhoi semuanya.

Setelah mereka muncul generasi yang dinamakan kholaf (orang yang datang belakangan). Mereka menggunakan metode yang berbeda dari mazhab para pendahulunya. Mereka menggunakan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat lalu memaknainya dengan makna yang lebih layak dan tepat dengan keagungan, kebesaran, dan kesempuranaan Allah ta’ala karena setiap lafal yang ada dalam Al-quran memiliki banyak madlulat (makna yang dituju) yang bisa dimaknai dengan salah satu madlulat tersebut. Dan metode ini dinamakan metode ‘aqli karena mereka memahami ayat mutasyabih lewat akal yang intinya menafikan keserupaan Allah dengan makhluknya. Dan mazhab mereka dikenal dengan mazhab Al-kholaf.

Mereka semua, salaf dan kholaf, merupakan golongan besar (Sawadul Al-a’dzhom) yang di sebut sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah. Di sebut Ahlussunnah wal Jama’ah karena mereka mengikuti pola yang ada pada sahabat di dalam memahami dan menjalankan syari’at termasuk dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat yaitu dengan cara tafwidh (menyerahkan) makna yang dimaksud kepada Allah ta’ala. Adapun mazhab kholaf meskipun memiliki manhaj yang berbeda tetapi juga tergolong dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, sebab mereka tidak melakukan penyimpangan yang melanggar kesucian zat Allah ta’ala di dalam mentafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.

Dan di antara kedua mazhab itu yang paling selamat untuk kita ikuti ialah mazhabnya salaf (para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in) karena sesuai dengan petunjuk dan arahan yang termaktub di dalam Al-quran, sebagaimana yang firman Allah ta’ala yang artinya:

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya (Al-quran). Semuanya dari sisi tuhan kami”. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang beraqal”. (QS: Ali-imran, 7)

Dan sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya: “Dan apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti perkara-perkara yang mutasyabih maka merekalah orang-orang yang Allah sebutkan (dalam Al-quran) dan waspadailah mereka tersebut.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat yang benar dan shahih hanya ada dengan cara: yang pertama ialah memahami ayat tersebut dengan cara naqli (teks-teks syari’at yang bersumber dari Al-quran dan Al-hadits), dan manhaj yang kedua ialah dengan menggunakan metode ‘Aqli yang shohih dan kedua manhaj ini tidak lain ialah mazhabnya salaf dan khalaf. Selain dari kedua manhaj ini, seperti Qiyas, maka haram hukumnya berdasarkan kesepakatan ulama. Karena qiyas sangat bertentangan dengan Al-quran. Allah ta’ala telah mengingatkan kita dalam firman-Nya yang artinya:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS: Asy-syura, 11).

Kesalahan yang terjadi atas sekelompok orang, diantaranya Al-mujassimah ialah menjadikan qiyas sebagai asas untuk memahami ayat mutasyabihat. Walhasil, terjadi penyelewangan dan penyimpangan dalam memahami zatnya Allah ta’ala yang Maha Mulia dari segala keserupaan. Dan qiyas sama sekali tidak boleh diperbolehkan dalam memahami zat, sifat, perbuatannya Allah ta’ala secara khusus dan aqidah secara umum. Dan ini adalah qaidah syariat yang telah disepakati oleh ulama muslimin sepanjang masa dan tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar maka telah keluar dari manhaj Ahlussunnah Waljama’ah karena mereka tidak memberlakukan qiyas dalam bentuk apapun di saat berdiri berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat.

Lebih lanjut, untuk bisa memahami ayat-ayat mutasyabihat lewat akal, kita bisa memperhatikan empat poin berikut:

1. Setiap lafal yang mengandung makna mutasyabih seperti istiwa’ dan yang lain memiliki madlulat (makna yang dimaksud) yang berbeda-beda. Ada bermakna menguasai, bertahta, bersemayam, dan sebagainya. Tetapi di antara semua makna itu tidak seluruhnya layak untuk dijadikan makna dari kalimat istiwa’. Karena hanya makna yang jauh dari kontradiksi yang layak untuk dimaknai dari kalimat istawa. Dan jika disandarkan kalimat istawa dengan lafal Allah maka arti yang sesuai ialah Allah berkuasa.

2. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa Al-quran merekam semua alam yang diciptakan. Tiap-tiap alam memiliki ruang dimensi waktu yang berbeda. Tiap-tiap dimensi memiliki penghuni masing-masing yang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Alam malaikat, alam jin, alam manusia, alam rahim, alam barzakh masing-masing memiliki karekteristik dimensi yang berbeda. Di saat Allah mengabarkan bahwa malaikat membawa berita dari bumi ke langit yang dalam hitungan manusia 1000 tahun merupakan hal yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia tidak mampu menggambarkan bagaimana rupa malaikat tersebut? bagaimana cara malaikat itu menempuh jarak yang begitu jauh hanya dalam sekejap? Apa kendaraan yang ia gunakan? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain di luar nalar pikir manusia. Jika hal ini membingungkan kita bahkan si-jenius sekalipun maka kesimpulannya ialah alam manusia dan alam malaikat memiliki perbedaan dan rupa manusia serta daya fisiknya juga berbeda dengan rupa dan daya fisiknya para malaikat. Dan ini baru sekedar perbandingan antar-sesama ciptaan Allah yang Maha Sempurna. Bagaimana perbedaan kita dengan sang pencipta? Apakah kita bisa menyamakan istiwa’nya manusia dengan istiwa’nya Allah azza wajalla? Dan lebih dari itu bahwasanya Allah ta’ala tidak butuh kepada sesatu apa pun dari ciptaannya.

3. Tentunya antara makhluk dan khaliq (Allah) memiliki perbedaan total dan batas maksimal. Tidak ada sama sekali penghubung (nisbah) yang bisa menyamakan antara makhluk dan khaliq, baik itu dari segi zat, sifat, dan perbuatannya. Itulah hakikat yang harus benar-benar dipahami oleh setiap orang mukmin. Bahkan itu merupakan hakikat yang berada di atas semua hakikat yang ada di alam. Orang yang hatinya telah dipenuhi dengan keimanan akan memahami perbedaan tersebut dan itu akan membuatnya selamat dunia dan akhirat, tetapi sebaliknya orang yang selalu diliputi keraguan akan susah untuk memahami perbedaan itu hingga dia mengikuti jalan-jalan para ahli bid’ah.

Oleh karena itu, memahami wajibnya perbedaan antara makhluk dan khaliq adalah ujian tersendiri yang datang dari Allah Swt untuk umat ini. Siapa yang selamat dari ujian tersebut maka ia termasuk orang-orang yang beruntung dan siapa yang terjerumus di dalamnya maka ia termasuk orang-orang yang merugi.

4. Memaknai ayat-ayat mutasyabihat dengan makna yang tidak layak bagi zat-Nya Allat ta’ala sebenarnya tanpa ia sadari ia telah menyerupakan khaliq dengan makhluknya. Ketika Khaliq diserupakan dengan makhluk maka tidak ada bedanya dengan orang yang menyembah berhala atau makhluk yang lain karena hasilnya akan sama dengan orang-orang kafir. Bahkan orang yang melakukan hal semacam ini lebih parah hukumnya daripada orang kafir itu sendiri karena setiap orang akan membayangkan sang Kholiq dengan bentuk dan rupa yang berbeda dari yang lain sementara orang kafir cuma menyembah sesuatu yang sudah ada jelas dihadapannya. Dan ini merupakan hal yang tidak masuk akal bagi siapa saja yang berakal karena orang-orang yang beriman sama sekali bukan penyembah berhala atau yang lainya melainkan menyembah Allah ta’ala semata yang tidak ada serupa bagi-Nya dan tidak ada yang mengetahui zat-Nya kecuali hanya diri-Nya sendiri. Fa’tabiru ya ulil albab

Penulis adalah Muhammad Hanafiah, mahasiswa di Tareem- Prov. hadhramaut-Yaman.

About Author

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille