I’TIKAF (الإعتكاف) menurut bahasa Almaqam;tempat berdiam wa Alihtibas; penjara (lihat kitab Atta’rifat Aljurjani). Kalimat I’tikaf berasal dari kata I’takafa Fi/’an (إعتكف في/عن) bermakna : to isolate oneself in/from (seseorang yang mengasingkan atau memisahkan diri di/dari).
Pengertian I’tikaf menurut Syari’at : Seseorang yang menetap di dalam Mesjid dengan niat yang khusus dan hukumnya sunnah disetiap waktu terkecuali I’tikaf Nadzar maka hukumnya wajib dengan niat Fardhu atau dengan niat I’tikaf wajib (hal, 197-199. Nihayah Azzain Fi Irsyad Almubtadi-in oleh Syekh Nawawi Albantani; Abi Abdulmu’thi Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi Aljawi Albantani Ulama Indoensia abad 14H bermadzhab Syafi’i).
Adapun dalil-dalil syariat tentang Ibadah I’tikaf terdapat di dalam Alqur’an, sebagaimana berikut:
… أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ {البقرة [٢] : 125}
… “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS. Albaqarah [2] : 125)
… وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ….{البقرة [٢] : 187}
… (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid ..(QS. Albaqarah [2]: 187)
Sedangkan dalil dianjurkannya ibadah I’tikaf menurut sunnah, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
أن النبي صلي الله عليه وسلم كان يعتكف في العشر الأواخر من رمضان منذ قدم المدينة إلي أن توفاه الله تعالي (متفق عليه)
“Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw beri’tikaf pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan (beliau melakukannya) sejak berada di Madinah sampai beliau wafat” (HR. Bukhari Muslim).
Di dalam Hadis Shahih yang lain disebutkan: “Bahwa Nabi Muhammad Saw beri’tikaf pada pertengahan sepuluh Ramadhan kemudian beliau melanjutkan I’tikaf pada sepuluh akhir Ramadhan, dan beliau terus melakukan ini sampai wafatnya, kemudian para isterinya mengikuti beliau melakukan ibadah I’tikaf setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw” (Nail Alawthar oleh Imam As-Syaukani dan Alfiqhu Alislami Wa-adillatuhu oleh Prof.Dr. Wahbah Zuhaili).
Syarat I’tikaf
Syarat I’tikaf ada tujuh poin sebagai berikut:
1. Beragama Islam. Maka tidak sah I’tikaf bagi orang yang bukan Islam.
2. Ber’akal (baligh). Maka tidak sah I’tikafnya anak-anak yang belum berakal.
3. Melakukan I’tikaf harus di Mesjid. Menurut Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanabilah (Ahmad bin Hanbal) tidak boleh I’tikaf selain di Mesjid Jami’ yaitu Mesjid yang ada didirikannya shalat Jum’at. Sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’I boleh beri’tikaf disemua Mesjid walaupun tidak ada didalamnya didirikan shalat Jum’at seperti Mushallah, surau, langgar, dll. Sepakat mayoritas ulama Madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal) tidak boleh Mesjid rumah dijadikan tempat I’tikaf. Qaul Qadim Imam Syafi’I dan Madzhab Imam Hanafi mengkecualikan bagi wanita, bahwa mereka boleh dan sah beri’tikaf di Mesjid rumah yaitu rumah yang ada sebahagian tempatnya dijadikan mesjid. Pendapat Madzhab Hanafi dan Qaul Qadim Syafi’i menurut saya lebih membawa kemaslahatan khususnya bagi wanita yang telah bersuami melakukan I’tikaf di Mesjid rumah itu lebih baik untuk menghindari fitnah. Sedangkan Qaul Jadid Madzhab Syafi’I tetap tidak membolehkan wanita beri’tikaf di Mesjid rumah (hal, 1756, Alfiqhul Islami Wa-adillatuhu).
4. Niat. Sepakat mayoritas ulama Madzhab Ahlussunnah harus berniat ketika hendak melakukan ibadah I’tikaf. Jika tidak berniat maka tidak sah I’tikafnya. Niat tersebut untuk membedakan antara ibadah dan kebiasaan atau untuk membedakan antara I’tikaf sunnah dan I’tikaf wajib (I’tikaf Nadzar).
5. Berpuasa. Menurut Madzhab Imam Malik ”Berpuasa” bagi orang yang berI’tikaf, merupakan syarat sahnya dalam beri’tikaf. Sama ada I’tikafnya sunnah ataupun I’tikaf wajib (I’tikaf Nadzar). Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
عن عائشة رضي الله عنها قالت . قال رسول الله صلي الله عليه ،سلم : لا إعتكاف إلا بالصوم . رواه الدار القطني
“Rasulullah Saw bersabda: Tidak ada I’tikaf kecuali dengan berpuasa” (HR. Dar-Alquthni).
Sedangkan menurut Madzhab Imam Hanafi berpuasa sebagai syarat sahnya beri’tikaf hanya dikhususkan bagi orang yang melakukan I’tikaf wajib (I’tikaf Nadzar) bukan I’tikaf sunnah. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
عن إبن عباس : ليس علي المعتكف صيام إلا أن يجعله على نفسه. رواه الدار القطني و البيهقي و الحاكم وقال صحيح إسناد .
“Tidak ada bagi orang yang melakukan I’tikaf harus berpuasa, kecuali ia mewajibkan untuk dirinya sendiri (I’tikaf wajib/ I’tikaf Nadzar)” (HR. Dar Alquthni, Albaihaqi dan Alhakim dengan sanad yang Shahih).
Menurut Madzhab Imam Syafi’I dan Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal berpuasa bukan sebagai syarat sahnya dalam melakukan I’tikaf sunnah maupun I’tikaf wajib. Namun dalam pandangan madzhab Syafi’I sunnah hukumnya berpuasa jika hendak melakukan I’tikaf, sama ada I’tikaf sunnah ataupun I’tikaf wajib/nadzar (Syekh Nawawi Albantani di dalam kitab Nihayah Azzain. Subulussalam oleh Imam As-Shan’ani; Muhammad bin IsmailAlkahlani As-Shan’ani: 1059-1182H).
Menurut mayoritas ulama Madzhab (Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal) boleh beri’tikaf sunnah yang bukan I’tikaf wajib/nadzar dilakukan hanya semalam saja, kecuali madzhab Imam Malik tidak membolehkannya.
6. Syarat I’tikaf yang keenam wajib bersih dari Hadas besar seperti Junub, Haidh atau Nifas.
7. Syarat I’tikaf yang ketujuh bagi wanita wajib seizin suaminya, jika tanpa izi suami maka tidak sah I’tikafnya dan berdosa jika tetap dilakukannya meskipun yang dilakukan I’tikaf wajib/nadzar. Pendapat ini disepakati oleh mayoritas ulama Madzhab (Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal). Sedangkan menurut Madzhab Imam Malik I‘tikafnya tetap sah namun wanita tersebut telah berdosa karena melakukan I’tikaf tanpa seizin suaminya. (Nihayah Azzain oleh Syekh Nawawi Albantani, Alfiqhul Islami Wa-adillatuhu oleh Prof.Dr.Wahbah Zuhaili)
Menurut Imam Hanafi hukum I’tikaf ada tiga macam: 1. Wajib seperti I’tikaf nadzar 2. Sunnah Muakkad (sunnah yang dikuatkan) yaitu melakukan I’tikaf pada sepuluh akhir Ramadhan dan 3. Mustahab (sunnah) saja yaitu niat I’tikaf diwaktu kapan saja setiap memasuki Mesjid dengan waktu masa yang singkat meskipun hanya sekedar berjalan didalam Mesjid. Jika I’tikaf wajib/nadzar wajib diselesaikan sesuai dengan waktu lamanya nadzar yang diniatkan untuk beri’tikaf seperti jika seseorang bernadzar niat untuk beri’tikaf sehari atau lebih, setengah hari atau beberapa jam saja. Maka wajib diselesaikan I’tikafnya sesuai dengan nadzar yang telah ditetapkannya.
Menurut Madzhab Imam Malik I’tikaf adalah sebagai pendekatan diri kepada Allah Swt termasuk ibadah yang disunnahkan sebagaimana ibadah-ibadah sunnah lainnya dan disunnahkan dilakukan bagi laki-laki maupun wanita terlebih sangat dianjurkan ketika sepuluh akhir Ramadhan. Menurut Madzhab Imam Malik melakukan I’tikaf sunnah paling sedikit sehari semalam, tidak sah I’tikaf kurang dari sehari semalam (lihat hal, 107, Mursyid Assalik Fi Alqarbi Minmalaki Almamalik Filfiqhi ‘Ala Madzhab Alimam Malik oleh Abdul Wahhab Assaid Ridwan, As-Syarhul Kabir Ibnu Qudamah. Lihat hal, 1750, Alfiqhul Islami Wa-adillatuhu oleh Prof.Dr. Wahbah Dzuhaili). Dan wajib hukumnya menunaikan I’tikaf jika diniatkat Nadzar/wajib sesuai waktu dan lamanya yang dinadzarkan oleh dirinya.
Sedangkan menurut Madzhab Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal I’tikaf hukumnya sunnah atau Mustahabbah pada setiap waktu dan kapan saja, kecuali I’tikaf wajib/nadzar maka wajib hukumnya diselesaikan sesuai dengan waktu dan masa I’tikaf yang dinadzarkan.
Wallahua’lam
KH. Ovied.R
Penulis adalah: Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia] Email: dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com Facebook : Buya Ovied