PADANG – Di Pulau Siberut ini pula Ustadz Idris menemukan pujaan hatinya. Setelah beberapa tahun berdakwah, Idris muda tertarik dengan seorang gadis Minang yang hijrah ke Mentawai. Gadis pujaan hatinya itu bernama Albieti. Ia lalu mempersunting sang pujaan hati. Albieti adalah seorang perempuan Minang yang mengikuti orang tuanya menetap di Pulau Siberut. Ayah Albieti juga seorang guru mengaji di sana.
Dari pernikahan Idris dengan Albieti mereka dikaruniai tiga orang putera yang diberi nama Umar, Usman dan Bukhori. Ketiga anak mereka lahir di Mentawai. Meski tinggal di pulau, ayah tiga anak ini sangat konsen terhadap pendidikan putra-putranya. Selain belajar di sekolah formal, ketiga anaknya juga wajib mengaji di Madrasah Al Washliyah.
Meski hidup di pulau dengan segala keterbatasan, semua putranya bisa menamatkan pendidikan sampai tingkat sarjana. Untuk memperoleh gelar sarjana, ustadz Idris harus merelakan anak-anaknya itu pergi keluar pulau. Hal ini karena tidak ada satu pun universitas atau sekolah tinggi di Siberut. Meski berat hati dan harus berjauhan dari anak tercintanya, ia harus menerimanya demi masa depan si buah hati. Alhasil semua putranya bisa menamatkan S1 dengan baik.
Putra pertama Idris dan Albieti memperoleh gelar S1 dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Medan. Putra keduanya Usman lulus dari Univeritas Moh. Hatta dan Universitas Andalas di Padang. Putra yang ketiga si bungsu Bukhori pun memperoleh gelar sarjana di Padang. Bukhori mengatakan bahwa dirinya baru boleh meninggalkan Mentawai setelah menamatkan SMA. “Sementara uda Usman sejak SMA sudah bersekolah di Padang,” ujarnya.
Menurut perkataan kedua anak beliau yaitu Usman dan Idris, karena Madrasah Al Washliyah kekurangan guru pengajar terkadang ayahnya harus mengajar dua kelas sekaligus. “Biasanya dia tulis dahulu di kelas yang pertama, lalu setelah itu dia pindah dan menuliskan pelajaran di kelas kedua secara bergantian,” jelas Usman. Kondisi ini dijalankan ustadz Idris sejak lama. Saat ini Madrasah Al Washliyah memiliki 4 lokal belajar yang sudah permanen dan berkeramik.
Bangunan itu diperoleh dari bantuan pemerintah. Awalnya bantuan itu untuk madrasah ibtidaiyah negeri, karena di sana tidak ada ibtidaiyah negeri akhirnya bantuan dialihkan ke Madrasah Al Washliyah. Maka jadilah madrasah itu terlihat baik dan bagus. Kegigihan ustadz Idris dalam membimbing umat terus dilakukan hingga akhir hayatnya. Meski sudah tua dan sakit-sakitan, muallim ini tetap menjalankannya dengan sepenuh hati. Mengajar dan berladang merupakan pekerjaan rutinnya.
Bersambung.
(mrl)