BerandaKabar WashliyahKasus Kertas Suara Tertukar Bukti Kelemahan Kolektif

Kasus Kertas Suara Tertukar Bukti Kelemahan Kolektif

SEBANYAK 571 Tempat Pemungutan Suara (TPS) se-Indonesia menggelar pencoblosan ulang pemilihan calon legislatif (Pileg) dalam beberapa hari ke depan, terkait kasus kertas suara tertukar, umumnya terjadi pada kertas suara calon DPR RI.

Hal ini sungguh merisaukan sekali kepada penyelanggara Pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta pihak lain yang terlibat. Meski persentasenya sangat kecil, namun masalah ini perlu mendapat perhatian, kajian dan evaluasi mendalam oleh pengambil kebijakan negara.

Menyoal kertas suara tertukar, sebaiknya titik masalah diurut dari hulu lebih dulu, yakni lokasi percetakan. Karena tidak menutup kemungkinan sumber masalah itu dimulai dari pendistribusian kertas suara dari gudang percetakan. Dengan asumsi bahwa setiap percetakan itu konon menangani semua kertas suara caleg DPRD Tingkat I (provinsi), DPRD Tingkat II (kabupaten/kota), DPR RI dan calon DPD, padahal kertas suara calon DPRD dan DPR RI dibagi wilayah sesuai dengan daerah pemilihan (Dapil) calon bersangkutan.

Sedangkan kertas suara calon DPD, sebenarnya tidak terlalu ribet. Karena dia berdasar provinsi dan di kertas suara mengenakan foto calon yang akan dicoblos pemilih, sementara caleg DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi dan DPR RI tidak menggunakan foto, tapi hanya nama saja.

Tanpa memojokkan satu pihak, sebaiknya KPU, Bawaslu, percetakan, menelisik akar masalah terjadinya kertas suara tertukar, umumnya kertas suara DPR RI. Apa tidak mungkin, satu percetakan menangani satu kertas suara, misalnya khusus caleg DPRD, atau DPRD provinsi, calon DPD dan DPR RI. Tujuannya adalah untuk memudahkan distribusi kertas suara, bahwa percetakan A di daerah A menangani kertas suara DPR RI, dan seterus dan seterus. Kalau percetakan banyak tentulah membuka peluang semrawutnya pendistribusian untuk jutaan lembar kertas suara.

Masalah ini muncul tidak menutup kemungkinan berawal dari pendistribusian pertama dari gudang percetakan. Kertas berbaur alias bercampuraduk hingga di KPU tingkat kota/kabupaten. Kemudian petugas sortir  musiman kurang cermat dan lemahnya pengawasan pihak KPU dan Bawaslu setempat, sehingga kertas suara itu  sampai ke Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) dan Kelompok Panitia Penyelanggara Pemungutan Suara (KPPS) di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Tentu pergerakan logistik pemilu tercatat dan terdokumentasikan dengan baik, namun pada saat tahapan demi tahapan, pergerakan kertas suara ini juga sebenarnya tidak terlepas dari pengawasan anggota  Bawaslu, Panwaslu, Panwascam, PPL (petugas lapangan). Yang kesemuanya itu  menjadi satuan yang tidak terpisahkan untuk mengawal setiap pergerakan kertas suara dari hulu hingga hilir.

Sekarang timbul persoalan kertas suara tertukar, mau tidak mau dapat ditarik garis masalah kemungkinan akibat lemahnya pengawasan dari titik ke titik, serta ketidaktelitian petugas  penyelenggara pemilu. Persoalan ini hendaknya menjadi bahan kajian pada pemilu 2019 mendatang, yakni penggabungan antara pileg dan pilpres.  Setidaknya, bimbingan teknis (bimtek) petugas terkait harus lebih dimatangkan kembali dan aturannya tidak bongkar-pasang.

Penulis membayangkan betapa repotnya petugas KPPS di setiap TPS, apalagi saat memasuki tahapan penghitungan. Contohnya pada pileg 2014 ini, banyak di antara KPPS terpaksa `lembur` hingga tengah malam menghitung suara caleg dan calon DPD. Apalagi mereka diperintahkan oleh  Undang-Undang harus melaksanakan pencoblosan ulang akibat kasus tertukarnya kertas suara. Persoalan lain adalah sejauhmana minat pemilih untuk nyoblos ulang pada kertas suara yang tertukar, apa masih sama dengan ketika  mencoblos serentak pada Rabu (9/4/2014) lalu. Ini juga menjadi pertanyaan tersendiri.

Boleh dikata terjadinya kasus kertas suara tertukar antar daerah pemilihan (Dapil), sebenarnya akibat kelemahan pengawasan secara kolektif. Ke depan perlu dipikirkan soal lokasi percetakan dengan sistem distribusi kertas suara sesuai daerah pemilihan (Dapil) calon. Setidaknya masalah ini menjadi gambaran berharga menyongsong gabungan pileg dengan pilpres pada pemilu 2019 mendatang. Kasihan  kepada petugas KPPS dan PPK di lapangan yang menjadi babakbelur akibat tertukarnya kertas suara.

Kasus ini, tentulah sangat berbeda dengan kasus lain pelanggaran pemilu. Jika ada unsur pidana haruslah diproses secara hukum oleh Gakumdu dan sanksi administratif oleh pihak KPU. Mari kita pikirkan ke depan pencoblosan calon wakil rakyat dan capres dan cawapres cukup menggunakan teknologi digital, tak perlu ke TPS lagi, cukup klik jadi barang itu… Semoga

(syamsir/poskotanews.com)

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille