JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari mendukung dilakukannya perubahan sistem pemilu, baik pemilu legislative (Pileg) maupun presiden (Pilpres) agar menghasilkan DPR RI dan pemerintahan yang efektif. Selama reformasi sostim politik yang setiap tahun dirubah, direvisi malah tidak menghasilkan DPR maupun pemerintahan yang tidak efektif. Karena itu, sistem pemilu itu harus memperkuat institusi kepartaian, dan bukan pencalegan, yang mengakibatkan biaya politik tinggi.
“Ke depan kita mesti perbaiki sistem politik dengan yang baru, dengan mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Baik sistem pemilu Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.selama ini. Sekarang ini, politik biaya tinggi, dimana hanya caleg dengan kemampuan dana yang besar yang mempunyai peluang menang,” tandas Ketua DPP Golkar itu pada diskusi ‘Pemilu dalam perspektif konstitusi’ di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (24/2/2014).
Hal itulah menurut Hajriyanto yang disebut poltik flutokrasi di mana hanya orang-orang kaya yang terpilih akibat politik sangat personal itu, dan bukan proporsional, bukan kepartaian. “Itu jelas tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 pasal 22 ayat 3, yang lebih menekankan pada kepartaian, dan bukannya personal caleg. Apalagi UU pemilu itu menyebutkan peserta pemilu itu parpol, dan bukannya caleg,” tambahnya.
Meski menurut konstitusi peserta pemilu itu partai, tapi substansinya di lapangan malah medistorsi aturan itu sendiri, dengan terjadinya konflik kepentingan antar caleg di internal partai sendiri. “Itu juga tak sesuai dengan watak bangsa Indonesia, tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa, musyawarah mufakat, dan sebagainya, karena kompetisi politik yang sangat liberal. Akibatnya, dalam setiap pemilu sarat dengan transaksional politik uang,” jelas hajriyanto lagi.
Anehnya lagi lanjut Hajriyanto, setelah caleg itu lolos menjadi anggota DPR RI, dia nantinya harus taat dengan fraksi sebagai kepanjangan dari partai. “Kalau tidak, maka anggota itu akan dianggap sebagai tidak disiplin-indisipliner, yang bisa dicopot atau diganti antar waktu. Persoalannya, bagaimana kalau dia memperjuangkan aspirasi rakyat, dan sebaliknya partainya mengabaikan aspirasi rakyat itu. Ini jelas paradoks, maka sistem politik kita saat ini sia-sia saja, dan harus kembali ke sistem proporsional,” tuturnya mengingatkan.
Untuk kembali ke sistem proporsional tersebut kata Hajriyanto, tidak ada jalan lain kecuali harus melakukan amandemen UUD 1945, khususnya terkait konsolidasi sistem politik yang, harus sejalan dengan watak bangsa dan strategi kebudayaan. “Jadi, kita harus melakukan amandemen sistem politik untuk memperkuat sistem kepartaian, dan biaya politik yang murah, serta menghasilkan DPR dan pemerintah yang efektif,” pungkasnya. (am/gardo)