A.Pendahuluan
WAKAF merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang sangat potensial untuk mendukung kesejahteraan umat. Syariat wakaf telah ada sejak awal kelahiran Islam dan menjadi penopang bagi kegiatan perekonomian di zaman khilafah Islamiyah. Sayangnya, keruntuhan sistem khilafah Islamiyah, keberadaan dan peran wakaf melemah, bahkan hampir terlupakan untuk beberapa waktu tertentu.
Akan tetapi seiring dengan kebangkitan wacana ekonomi dan perbankan syariah belakangan ini, wacana wakaf pun mulai menggeliat dan diperbincangkan secara serius. Namun perbincangan tentang wakaf dan pengembangannya masih terbatas di kalangan intelektual dan para pejabat negeri-negeri Islam, belum sampai kepada masyarakat awam. Untuk Indonesia, perbincangan ini masih dalam tataran wacana dan belum sampai ketingkat penerapan secara real.
Pembicaraan tentang wakaf terus bergulir dan berkembang kepada pemberdayaannya secara produktif dan pembicaraan wakaf uang tunai. Sebagai tahap permulaan, konsep-konsep wakaf produktif dapat dipadakan yang untuk selanjutnya dikembangkan. Konsep-konsep pengembangan pemanfaatan wakaf uang tunai dan wakaf produktif perlu disosialisasikan. Sosialisasi ini harus didahului dengan pengetahuan dan penguasaan yang baik tentang konsep-konsep wakaf dalam berbagai mazhab fikih dan pengetahuan tentang pengalaman negeri-negeri Islam yang sudah memberdayakan wakaf dengan baik.
Memang umat Islam Indonesia umumnya, dan di Sumatera Utara khususnya, belum mengenal konsep-konsep baru dalam perwakafan. Ketika disebut wakaf maka kepada masyarakat yang terbayang adalah pekuburan sehingga bila disebut tanah wakaf pemahaman mereka tidak lain dari pada pekuburan. Kemudian baru muncul wakaf untuk masjid dan madrasah. Mereka juga memahami bahwa wakaf tidak boleh diperjual-belikan, tidak boleh dijadikan agunan di bank, dan tidak boleh dihibahkan.
Demikian juga penyerahan wakaf cukup dengan cara lisan tanpa surat dan tanda terima secara administrasi yang sah. Inilah pemahaman masyarakat Sumatera Utara terhadap pengertian wakaf sesuai dengan mazhab fikih Syafii yang lazim berlaku.
Sementara untuk pengembangan wakaf dan menjadikannya produktif perlu pengelolaan yang bersifat fleksibel dan memasuki ruang bisnis. Karena itu, pemahaman terhadap wakaf produktif dan pengembangan pemanfaatan wakaf uang perlu dikaji secara teliti, serius, dan mendalam sehingga dapat dipertimbangkan menjadi bahan masukan bagi pengembangan pengelolaan wakaf di masa datang.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu hampir 4 hektar lahan wakaf al-Washliyah dibebaskan di Deli Serdang. Karena ketiadaan modal dan keterikatan kepada pemahaman wakaf secara yang lazim di kalangan Al-Washliyah, maka lahan tersebut belum dapat dikelola dan dimanfaatkan. Lahan tesebut belum dapat disertifikasikan, belum dapat dipagar, tidak dapat disewakan, tinggal terlantar, tidak dapat dikelola untuk menjadikannya produktif. Ini baru satu contoh dari sekian banyak harta wakaf lainnya.
Oleh karena penyerahan wakaf dilakukan hanya secara lisan, maka tidak sedikit pula harta wakaf beralih tangan karena tidak adanya bukti-bukti yang sah untuk dijadikan pegangan ketika terjadi sengketa antara pewakif atau warisnya dengan nazir atau bahkan penyimpangan dilakukan oleh nazirnya sendiri. Karena itu untuk pemeliharaan dan pendayaangunaan wakaf, perlu konsep dan paham perbandingan dari mazhab-mazhab fikih yang diakui dan pengalaman negara-negara Islam dalam pengelolaan wakaf.
Di dalam makalah ini akan dikemukakan pandangan-pandangan yang diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya mengatasi persoalan wakaf, pengelolaan dan pengembangan wakaf secara produktif.
B.Potensi Wakaf
Menurut data Kementerian Agama pada tanggal 1 April 2001, tanah wakaf di Indonesia berjumlah 358.710 lokasi dengan luas 819.207.733,99 atau 8 juta hektar lebih. 76% dari jumlah itu sudah memiliki sertifiket, sedang 24% lagi belum memiliki sertifiket. Tanah seluas ini bila dikelola secara produktif tentunya membawa hasil yang cukup besar yang dapat membantu kemajuan ekonomi umat.
Sekarang telah berkembang pula pembicaraan wakaf uang tunai. Menarik untuk disimak perandaian Mustafa Edwin Nasution yang membuat asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia mencapai 10 juta orang dengan penghasilan antara Rp 0,5 juta – Rp. 10 juta perbulan. Jika warga yang perpenghasilan Rp 0,5 – Rp 10 juta sebanyak 4 juta orang dan setiap tahun berwakaf Rp 60.000 maka jumlahnya Rp 240 milyar. Jika warga yang penghasilannya Rp 1-2 juta perbulan berjumlah 3 juta jiwa dan setiap tahun berwakaf Rp 120 ribu, maka jumlahnya Rp 360 milyar.
Jika warga yang penghasilannya Rp 2-5 juta pebulan berjumlah 2 juta jiwa dan berwakaf setiap tahun Rp 600 ribu, maka jumlahnya Rp 1,2 triliun. Jika warga yang penghasilannya Rp. 5-10 juta pebulan berjumlah 1 juta jiwa dan berwakaf setiap tahun Rp 1,2 juta, maka jumlahnya Rp 1,2 triliun. Maka total keseluruhannya Rp 3 triliun pertahun.
Sekiranya dana cash yang Rp 3 triliun ini dititipkan kepada sebuah bank syariah dengan bagi hasil 9%, maka pada akhir tahun tersedialah dana segar Rp 270 milyar. Ini baru satu tahun belum tahun-tahun berikutnya.
Kemudian ini baru warga yang pendapatan maksimalnya 10 juta perbulan. Bagaimana pula para pejabat tinggi Muslim di tingkat pusat dan di 33 provinsi untuk setingkat bupati/walikota, ketua DPR, dan anggota DPR pusat, maka penghasilan mereka berlipat-lipat daripada Rp 10 jutaan. Belum lagi para pengusaha Muslim tingkat nasional dan lokal. Maka jumlah keseluruhannya bisa mencapai Rp 5 triliun.
Selain itu di Indonesia terdapat mungkin ratusan ribu masjid. Uang tabungan sebagian masjid ini ada yang puluhan dan ratusan juta. Biasanya, uang ini disimpang oleh pendahara masjid tidak dimanfaatkan. Jika dihimpun, tentunya sangat besar jumlahnya.
Walaupun ini baru merupakan asumsi, tapi ini dapat menjadi gambaran betapa dahsyatnya potensi wakaf dan harta umat Islam di Indonesia yang penduduk Muslimnya terbesar di dunia.
C.Pengelolaan Wakaf Produktif
Sejatinya, wakaf dengan potensi demikian besar dapat berperan menyediakan dan meningkatkan fasilitas tempat ibadah, lembaga pendidikan, penampungan anak-anak yatim dan orang tua jompo, serta fasilitas kesehatan dan sosial secara memadai. Bahkan, potensi ini seyogiyanya mampu mendukung kesejahteraan dan kemajuan umat. Akan tetapi, kenyataan di Indonesia, wakaf tidak mampu memainkan perannya dan bahkan sebaliknya, untuk mempertahankan dirinya saja masih banyak yang gagal. Wakaf tidak mampu mendanai sertifiket dirinya dan tidak mampu membuat temboknya agar terhindar dari serobotan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak sedikit tanah wakaf terlantar.
Satu hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam pengelolaan wakaf adalah pengelolaannya diserahkan kepada sebuah badan yang khusus menanganinya. Badan wakaf ini terdiri dari para pakar dari berbagai disiplin ilmu dan memiliki komitmen yang tinggi dalam mengamalkan Agamanya sehingga badan ini bekerja secara profesional dan terpercaya.
Badan ini berwenang menginventarisir harta wakaf, mengidentifikasi permasalahannya, mengelolanya, mengembangkan pengelolaannya menjadi produktif, mendistribusikan hasil pengelolaannya dengan berpegang teguh pada prinsip wakaf tentang keabadiannya dan memelihara tujuan lafaz orang yang berwakaf. Badan wakaf ini diberi wewenang menitipkan harta wakaf pada bank-bank Islam dan mendirikan bank dan lembaga keuangan Islam.
Alhamdulillah, Badan Wakaf ini sudah berdiri resmi yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Pengurus BWI untuk Sumatera Utara sudah diresmikan sejak dua tahun lalu. Namun, BWI Sumatera Utara belum banyak berbuat. Salah satu sebabnya mungkin karena belum mendapat sambutan dan dukungan yang serius dari umat. Untuk membangkitkan semangat umat, tampaknya perlu pengembangan yang lebih luas terhadap pemanfaatan wakaf sehingga menjadi produktif secara nyata.
Wakaf dalam bentuk harta tidak bergerak yang dikenal secara tradisional, hendaknya dikembangkan dengan harta wakaf bergerak dan wakaf tunai sebagaimana yang diterapkan di negara-negara Islam lainnya. Wakaf uang tunai ini jelas tidak dibolehkan dalam mazhab Syafii. Wakaf uang tunai dikenal dalam mazhab Hanafi. Sementara potensinya sangat besar. Karena itu, pengkajian secara serius tentang konsep, dalil, dan pengamalannya di kalangan umat Islam di negera-negara lain perlu dilakukan.
Semua harta wakaf ini dikembangkan menjadi wakaf produktif, seperti dengan menyewakannya, membangun ruko, mendirikan percetakan dan perpustakaan, membangun Islamic centre, menerbitkan majalah, dan berbagai bisnis yang halal menurut syariat.
Hasil wakaf produktif dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat fakir-miskin, anak yatim, pedagang kecil, membantu kesehatan dengan mendirikan rumah sakit dan balai pengobatan, membangun lembaga pendidikan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta riset.
Pengelolaan wakaf produktif ini sudah dilakukan di berbagai negera Islam dengan keberhasilan yang signifikan, seperti di Mesir, Yordania, dan Bangladesh. Akan tetapi, pengelolaan wakaf seperti ini tidak berlaku dalam masyarakat Indonesia. Bahkan pengelolaan seperti ini bertentangan dengan pemahaman wakaf yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia. Sebab, pengamalan wakaf di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya, berdasarkan paham mazhab Syafii yang tidak membolehkan wakaf dijual, dihibahkan, dan tidak dijadikan jaminan di bank. Karena itu, nampaknya perlu dilakukan pengkajian konsep maslahat, mudrat, dan kaitannya dengan fenomena pengelolaan wakaf yang ada.
Di Sumatera Utara banyak pesantren. Sejauh ini, nampaknya baru dua pesantren yang menyatakan diri sebagai badan wakaf, yaitu Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah dan Pesantren Ta’dib Asy-Syakirin. Pengamalan wakaf di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah sepertinya ada pengembangan dalam hal pemasukan wakaf, yaitu sisa pembayaran yang diserahkan oleh wali santri kepada Pesantren dari kepentingan yang harus dikeluarkan oleh Pesantren untuk biaya operasional belajar mengajar untuk pembelian lahan (tanah) atau pembangunan sebuah gedung atau pembelian sesuatu yang bersifat permanen seperti lemari, meja dan kursi yang semuanya ini dianggap menjadi harta wakaf bagi Pesantren, tanpa mensyaratkan adanya niat dan lafaz dari pemberinya sebagai wakaf. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa asal muasal dari lahan pesantren ini juga ada semacam kebijakan. Dalam profil Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah edisi pertama Januari 2008 disebutkan bahwa Bapak H. Ahkam Tarigan mewakafkan tanahnya seluas 256,5 m2 pada tahun 1978.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Bapak H. Mahdian Tarigan juga mewakafkan tanahnya seluas 243 m2. Di atas tanah tersebut dibangun sebuah musalla sederhana. Pada tahun 1977 H. Pakhruddin Tarigan mewakafkan tanahnya di jalan Binjai kepada Yayasan Dukun Patah Pergendangan. Selanjutnya direncanakan akan didirikan sebuah perguruan Islam di atas tanah wakaf tersebut. Pada tahun 1981 cita-cita itu hampir terwujud dengan didirikannya sebuah sekolah di atasnya. Dengan berbagai pertimbangan, keluarga berkesimpulan untuk memindahkan tanah wakaf tersebut ke sebuah lokasi ke Medan Tuntungan yang dikenal dengan nama Paya Bundung.
Maka pada tahun 1981 itu tanah tersebut dijual. Hasil penjualannya dibelikan tanah seluas 3.933 m2 di Paya Bundung sebagai ganti wakaf yang di jalan Binjai. Tanah wakaf yang baru ini, disatukan dengan tanah wakaf dari H. Ahkam Tarigan dan H. Mahdian Tarigan sehingga luasnya menjadi lk 4.432,5m2. Maka di atas tanah inilah dibangun Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah.
Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa diantara lahan tempat Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah terjadi jual beli terhadap tanah wakaf dan penggantiannya. Tentunya hal ini tidaklah sejalan dengan prinsif wakaf dalam mazhab Syafi`i. Sementara itu, ketentuan dalam akte wakafnya masih tetap mengikuti prinsif wakaf dalam mazhab Syafi`i. Seperti hal tidak boleh menjual, menggadaikan, dan menghibahkan wakaf.
Di Pulau Jawa adalah Pesantren terkenal, Pondok Modern Darussalam Gontor yang telah berhasil menghimpun harta wakaf dalam jumlah yang cukup besar, terutama tanah persawahannya yang hasilnya dapat menghidupi dan mengembangkan Pesantren.
D.Kendala
Pemahaman hukum wakaf yang lazim berlaku ini dapat dipandang sebagai suatu hal yang perlu ditinjau bagi pengembangan pengelolaan wakaf produktif di Indonesia, terutama wakaf uang tunai. Pengelolaan wakaf terikat secara kaku pada lafaz orang yang berwakaf, wakaf tidak boleh dijadikan agunan untuk menjaga keabadiannya, perlu menjadi perhatian.
Sebab, hal demikian dalam kenyataan telah mengakibatkan banyak tanah wakaf yang tidak tersertifiket, dan banyak lahan wakaf terlantar. Banyak pertapakan masjid yang luas di tengah kota kosong tanpa dibangun kios untuk disewakan yang hasilnya dapat digunakan untuk mendukung kegiatan masjid itu sendiri dan pengembangan dakwah. Di China banyak masjid yang pendanaannya dari sewa toko-toko yang dibangun di tanah wakaf yang mengelilingi masjid.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah semangat berwakaf masih belum tinggi, sehingga jumlah orang yang layak berwakaf masih jauh dari jumlah harta wakaf yang seharusnya.
E.Upaya Mengatasi Kendala
Untuk memajukan pengelolaan wakaf di Indonesia perlu dilakukan upaya-upaya adopsi terhadap sistem pengelolaan yang berlangsung secara suskses di negara-negera Islam lainnya. Pertama sekali adalah melakukan pengkajian hukum wakaf secara perbandingan mazhab. Kajian perbandingan mazhab dengan serius dilanjutkan kepada upaya talfiq. Dalam kajian fikih, mazhab Syafii dikenal dengan sikaf ihtiyath (kehati-hatian yang tinggi), sedang mazhab Hanafi dikenal penggunaan ra’y yang cukup signifikan. Perlu dicatat bahwa Abu Hanifah adalah satu-satunya Imam Mazhab yang pedagang dari empat imam mazhab fikih terkenal. Abu Hanifah sangat fleksibel dalam istinbath hukum. Sebagai contoh atas fleksiblitas Abu Hanifah adalah bahwa tiga imam mazhab mengharamkan non-Muslim masuk Masjidilharam, Makkah, tapi Abu Hanifah membolehkannya.
Sementara itu, di kalangan mazhab Syafii juga terdapat ulama besar, seperti Imam as-Suyuthi yang membolehkan mengambil pendapat yang lemah dan bahkan mengambil pendapat di luar mazhab Syafii jika terdapat kesulitan (ta’azzur dan ta’assur) untuk mengamalkan paham Syafii secara konsisten. Al-Washliyah yang dikenal kental dengan paham Syafiiyahnya telah memfatwakan wuduk tidak batal bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan tanpa lapis ketika melakukan tawaf di Makkah dengan alasan kesulitan menghindarinya waktu tawaf itu.
Kasus pembebasan hampir empat hektar tanah wakaf Al-Washliyah di Deli Serdang dapat dipandang sebagai kasus yang membutuhkan sistem pengelolaan wakaf sebagaimana yang disebutkan di atas. Tanpa pengelolaan produktif yang memerlukan modifikasi dari faham yang lazim dalam masyarakat ini, harta wakaf ini diduga akan terlantar dan kembali diduduki orang secara tidak sah. Akan tetapi, siapa yang mensertifiketkannya dan dari mana modal untuk sertifiketnya serta dipengapakan lahan ini selanjutnya merupakan pertanyaan yang mendesak untuk dijawab.
Karena itu pula, selain dari rasa turut bertangung jawab atas harta-harta wakaf kaum Muslim yang bertebaran di Indonesia umumnya, dan di Sumatera Utara khususnya, kasus tanah wakaf Al-Washliyah di Deli Serdang ini termasuk kasus yang membutuhkan pengkajian yang serius dan mendalam di Sumatera Utara.
Namun demikian, Kementerian Agama telah menerbitkan sejumlah buku dalam upaya mengembangkan pemahaman wakaf di Indonesia yang antara lain : Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Fiqih Wakaf, dan Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Demikian juga, para pemikir Islam telah menulis sejumlah buku dalam rangka pengembangan konsep wakaf, seperti Menuju Era Wakaf Produktif karya Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar; Sertifikat Wakaf Tunai : Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam karya Prof. Dr. M.A. Mannan; Wakaf Tunai : Inovasi Finansial Islam karya Mustafa Edwin Nasution, Msc., MAEP, Ph.D dan Dr. Uswatun Hasanah (Editor); dan Wakaf Produktif : Pemberdayaan Ekonomi Umat karya Azhari Akmal Tarigan dan Agustianto (Editor).
Judul-judul buku ini, menunjukkan adanya upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun kalangan pemikir Islam untuk mengembangkan konsep-konsep wakaf di Indonesia sesuai dengan tuntutan zaman.
F.Penutup
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengelolaan harta wakaf di Indonesia perlu dikembangkan sehingga menjadi produktif dan mampu bukan hanya membangun masjid, pekuburan, madrasah, dan panti asuhan, tetapi juga mendukung kesehatan dan kesejahteraan umat. Namun, pengembangan pemanfaatan wakaf produktif dalam masyarakat Indonesia tidaklah suatu yang mudah karena mengingat paham yang lazim dianut mayoritas umat Islam belum sejalan dengan sistem yang dimaksud. Karena itu, perlu ada upaya untuk mengembangkannya dari sudut penerapannya sesuai dengan kebutuhan.
Konsep-konsep yang ditawarkan dalam buku-buku tersebut di atas dan pengalaman pengembangan sebahagian pesantren melalui harta wakaf merupakan bahan pertimbangan bagi kajian wakaf ke depan.
Medan, 23 Januari 2014
Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA
Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi serta Anggota Komisi Fatwa MUI SU