JAKARTA – Selama sekitar 30 tahun menunggu-nunggu akhirnya Komisi VI DPR RI akan segera mengesahkan RUU Perdangan menjadi UU setelah dibahas secara intensif dengan pemerintah atau Kementerian Perdagangan (Kemendag RI), agar pemerintah mempunyai payung hukum dalam menjalan program perdangan nasional dan internasional, yang nantinya akan ditangani oleh Komite Perdagangan Nasional (KPN). KPN akan merekomendasikan semua jenis perdangan sesuai masing-masing sektor.
“Kita sudah 30 tahun ingin mempunyai RUU Perdagangan ini, dan baru kali ini bisa menggolkan menjadi UU. UU ini meliputi perlindungan, pengamanan, pemerataan prouksi dalam negeri, dan berbagai jenis ekspor serta perjanjian perdagangan internasional semuanya harus bermuara untuk kepentingan nasional. Termasuk koperasi dan UKM yang mempunyai akses terhadap pasar,” tandas Ketua Komisi VI DPR RI Airlangga Hartarto di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (29/1/2014).
Menyinggung kemungkinan adanya gugatan atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Hanya saja latar belakang RUU ini sudah sejalan dengan konstitusi dan pasal 11 UUD NRI 1945 tentang perjanjian perdagangan internasional. “Seluruh perjanjian internasional akan dilaporkan ke DPR RI dan perlu pengesahan DPR RI. Jadi, DPR akan menjadi benteng perjanjian internasional dan harus sesuai dengan kepentingan nasional,” ujarnya.
Ditanya soal apakah RUU Perdagangan itu masih terasa asing atau neoliberalisme? Hartarto menegaskan semua produk harus berstandar nasional Indonesia (SNI), agar mampu bersaing secara internasional, dan semua produksi dalam negeri mendapat perlindungan hukum. “Di mana menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah bisa melakukan intervensi agar semua kebutuhan pokok rakyat tersedia dan harganya terjangkau,” tambahnya.
Sedangkan terkait barang penting lanjut Hartarto, meliputi semen, pupuk, gas, dan sebagainya termasuk kebubutuhan dalam negeri diatur dengan jelas dalam UU ini. (am/gardo)