ORGANISASI ini didirikan tanggal 9 Rajab 1349 H, bertepatan dengan 30 November 1930 M.Organisasi ini berasal dari lembaga diskusi kajian Islam pelajar Maktab IslamiyahTapanuli (MIT) yang didirikan pada tahun 1928 M. Lembaga diskusi ini bernama Debating Club.Dua tahun kemudian,lembaga ini berkembang menjadi sebuah organisasi Islam dengan nama Al-Jami yatul Washliyah (Perhimpunan yang Menggabungkan).
Dengan demikian ,Al-Jami yatul Washliyah resmi berdiri di Medan pada tanggal 30 November 1930 M,dan sekarang telah menyebar ke berbagai pelosok nusantara dan memiliki cabang di 24 propinsi,termasuk di Timtim.Pimpinanpusatnya disebut Pengurus Besar (PB).Pengurus Besar berkedudukan di Kota Medan sampai tahun 1986.Pada Muktamar ke XVI. Tahun 1986 M di Jakarta di tetapkan kedudukan Pengurus Besar pindah ke Ibu Kota Jakarta.Pada mulanya,organisasi ini bergerak di bidang pendidikan,dakwah,dan amal sosial.Pada Muktamar XVIII di Bandung,kegitannya meluas kepada bidang usaha pemberdayaan ekonomi umat.
Dalam paham keagamaan,Al-Washliyah menganut mazhab Syafi i dalam bidang akidah.Majelis yang mengurusi bidang fiqh,dan aliran Ahlusunnah di bidang ini adalah Dewan Fatwa yang terbentuk pada tanggal 10 Desember 1933 M.Berdasarkan Anggaran Dasar yang menganut mazhab Syafi i,fatwa-fatwa Al-Washliyah dan pengalaman warganya adalah mengikuti kitab-kitab fiqh karya para ulama Syafi iyah,seperti karya Imam ar-Rafi i (w. 623 H),Ibn Hajar al-Asqalani (852-773 H),dan Imam ar-Ramli (W.1004).Akan tetapi pada Muktamar Bandung,Al-Washliyah merevisi Anggaran Dasarnya di bidang fiqh dari bermazhab Syafi i.
Sebagai kensekuensinya,fatwa-fatwa hukum sesudah itu tidak lagi terikat secara ketat kepada pendapat-pendapat ulama Syafi i saja.Jika dipandang terdapat kesulitan (ta azzur dan ta assur) dalam mengamalkan paham mazhab Syafi i dalam masalah-masalah tertentu,Dewan Fatwa Al-Washliyah boleh menetapkan fatwanya menurut pendapat mazhab atau ulama lain di kalangan Sunni.Sebagai contoh,dalam mazhab Syafi i,persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim membatalkan wuduk kapan dan di mana saja,Akan tetapi,sidang Dewan Fatwa di Medan pada tahun 1998 M,memutuskan bahwa persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim membatalkan wuduk karena memandang penerapan mazhab Syafi i ketika itu memandang adanya kesulitan.
Demikian juga,menurut mazhab Syafi i,bagi orang yang masih mempunyai kewajiban shalat fardu tidak boleh melakukan shalat sunat dan shalat jenazah. Pada sidang yang sama,Dewan Fatwa membolehkan shalat jenazah ,shalat yang disunatkan berjamaah,yaitu shalat tarawih,shalat witir,dan shalat Hari Raya bagi orang yang memiliki keadaan shalat fardu karena memandang bahwa penetapan mazhab Syafi i dalam masalah ini membawa keberatan dan kesulitan.
Adapun tentang akidah,Al-Washliyah sejak awal berdirinya sampai saat ini tetap menganut aliran Ahl al-sunnah wa al-jamaah.Pendiri aliran ini adalah Abu Hassan al-Asyari(270-324 H).Paham Al-Washliyah dalam bidang akidah dapat ditelusuri melalui fatwa Al-Washliyah,kitab-kitab yang menjadi silabus di madrasahnya,dan tulisan-tulisan para ulama serta guru-guru.Buku yang diajarkan di kelas satu Ibtidaiyah adalah buku Pelajaran Iman dengan tulisan Jawa karya H.Muhammad arsyad Talib Lubis (1908-1972).Di kelas tiga diajarkan kitab Kifayah al-Awwan fi Ilm al-Kalam,karya Syekh Muhammad al-Fudhali.Di tingkat Tsanawiyah diajarkan Hushun al-Hamidiyyah li al-Muhafazah ala al- Aqaid al-Islamiyyah,karya Husain bin Muhammad al-Jasar al-Tharablusi.
Di tingkat Aliyah diajarkan kitab ad-Dusqi.Demikian juga Aqidah Islamiyah (pokok – pokok Kepercayaan dalam Islam) jilid I dan jilid II,karya H.Nukman Sulaiman (W.1996 M),kitab Ilmu Tauhid, karya H.Rasyad Yahya (W.1976 M),dan Ilmu Tauhid (Dasar-dasar Kepercayaan dalam Islam) dengan tulisan Jawi Karya H.Ahmad. Semuanya mengajarkan rukun iman yang enam,yaitu percaya kepada Allah,Malaikat,kitab-kitab samawi,rasul-rasul,hari pembalasan,takdir,dan Sifat Dua Puluh.Maksud Sifat Dua Puluh disini sebenarnya mencakup kajian tentang dua puluh sifat yang wajib (mesti ada) dan dua puluh sifat yang mustahil (tidak mungkin),yang jaiz (boleh)bagi Allah.Demikian juga empat sifat yang wajib,empat sifat yang mustahil,dan satu yang jaiz bagi para rasul.Kajian tentang sifat-sifat ini dikenal dengan sebutan pengajian sifat dua puluh.Kajian ini merupakan spesifik aliran Aya ariah.
Al-Washliyah meyakini bahwa Nabi Isa tidak mati disalib,tetapi hidup dan diangkatkan ke langit oleh Allah dan akan turun ke bumi di akhir zaman. Paham ini didasarkan kepada al-Qur an surat an-Nisa ayat (157-158) dan sejumlah hadits sahih.Paham ini dapat dibaca dalam buku Perbandingan Agama Kristen dan Islam karya H.Muhammad Arsyad Thalib Lubis.Kedudukan H.Muhammad Arsyad Thalib Lubis di kalangan Al-Washliyah sama dengan kedudukan Ahmad Hassan (1887-19578 M) di kalangan Persis (Persatuan Islam).Artinya fatwa dan pendapat H.Muhammad Arsyad Thalib Lubis identik dengan pendapat Al-Washliyah di zamannya sebagaimana fatwa dan pendapat Ahmad Hassan identik dengan pendapat Persis.Pendapat Arsyad Thalib Lubis menjadi keyakinan yang dianut warga Al-Washliyah.
Mengenai turunnya Nabi Isa As,seorang ulama Sunni,as-Suyuti (W.991 H) juga menghimpun secara khusus 68 hadits tentang turunnya Nabi Isa ke bumi dalam kitabnya Nuzul Isa ibu Maryam Akhir az-zaman (Turunnya Isa ibn Maryam pada Akhir Zaman).Akan tetapi,Al-Washliyah tidak mengikuti paham Imam al-Asy ari secara murni.Al-Washliyah mengikuti mazhab Khalaf dari kalangan Sunni.Dalam al-Qur an terdapat ayat-ayat Zahir maknanya menunjukkan bahwa Allah mempunyai tangan,wajah dan betis.Ayat-ayat ini dikenal dengan sebutan mutsybihat (samar).Imam al-Asy ari menerima makna ayat-ayat ini sebagaimana zahir maknanya,tanpa mengadakan takwil.
Menurut Imam Al-Asy ari – sebagaimana ulama salaf –Allah mempu-nyai tangan,wajah,dan betis yang sesuai dengan Kemahasuciannya. Imam Ahlusunnah,Ahmad bin Hanbal (164-241 H) berpendapat bahwa al-Quran tidak makhluk dan mempertahankan pendapat ini sampai disiksa.Tidak sedikit ulama Sunni yang disiksa karena memper-tahan-kan pandangan ini.Penyiksaan ini dikenal dengan sebutan mihnah,yaitu semacam skrinig terhadap ulama yang tidak dapat mene-rima paham Muktazilah yang meyakini bahwa al-Quran adalah makh-luk. Penyik-saan ini dilakukan oleh pihak penguasa Muktazilah.
Al-Washliyah tidak menganut paham Sunni seketat itu.Al-Washliyah menerima takwil dan paham al-Quran makhluk.Paham takwil sudah tidak murni lagi mengikuti paham Imam al-Asy ari.Paham takwil ini banyak dilakukan dua tokoh Asy ariyah,yaitu Al-Baqillani (w.403 H) dan Al-Juwaini (419-478 H).Secara khusus, penak-wilan terhadap aya-ayat mutasyabihat ini dapat dibaca dalam kitab Al-tamhid,karya Al-Baqilani dan al-Syamil fi Ushul al I tikad keduanya merupakan karya Al-Juwaini.Di madrasah Al-Washliyah pemahaman secara takwil diajarkan melalui kitab Hushun al-Hmidiyah dan ad-Dusuqi.Dalam kitab Hushun al-Hamidiyah juga dikemukakan paham kemakhlukan al-Quran.Pada halaman 123-124 dijelaskan bahwa kalam Allah mempunyai dua pengertian .
Pengertian pertama adalah sifat yang berdiri pada Dzat Allah tanpa suara dan huruf.Pengertian kedua adalah kalam lafzi yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW.Meskipun keadaan lafaz yang dibaca itu baharu dan makhluk,namun tidak boleh dikatakan bahwa kalam Allah atau al-Qur an makhluk atua baharu kecuali dalam rangka belajar.Sebab,pernyataan tentag keadaannya makhluk sifat kalam yang berdiri pada Dzat Allah karena kalam Allah juga digunakan untuk pengertian sifat tersebut.Karena itulah Imam Ahmad bin Hanbal tidak bersedia mengakui al-Quran makhluk sebagaimana yang dikehendaki oleh penguasa Muktazilah sehingga ia dipukul dan ditawan.
Dalam kaitan kemurnian tauhid, H.Muhammad Arsyad Thalib Lubis menjelaskan mandi safar tidak dikenal dalam Islam. Nabi SAW, menolak mandi safar dengan sabdanya yang berarti,Tidak ada safar.Ini berarti penolakan Nabi terhadap kepercayaan dongeng Jahiliyah. Demikan juga H.Muhammad Arsyad Thalib Lubis menolak sandiwara bertemakan nabi-nabi,seperti Nabi Yusuf. Menurutnya, pekerjaan itu merupakan penghinaan terhadap nabi. Umat Islam diperingatkan menhormati semua Nabi. H.Muhammad Arsyad Thalib Lubis mengatakan,”Barang siapa yang menghina seorang diantara Nabi yang suci ia termasuk orang kafir”. Fatwa didasarkan kepada al-Qur an su-rat an-Nisa ayat 150-151.
Sebagai organisasi yang hidup di zaman modern, Al-Washliyah juga mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam akidahnya. Sebagai contoh,pembuktian keberadaan Allah yang ghaib (tidak dapat diin-dera), dijelaskan melalui argumen eksistensi listrik, tarikan bumi, tenaga kohesi dan adhesi,dan pengakuan terhadap adanya nyawa.Keterangan ini dapat ditemukan dalam buku, Aqidah Islamiyah, karya H.Nukman Sulaiman. Buku ini,diajarkan kepada siswa sekolah umum di lingkungan Al-Washliyah.
(Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA)