DEPOK – Banjir seolah sudah menjadi konsekuensi paling wajar yang diterima penduduk Jakarta dan sekitarnya setiap kali musim hujan datang. Namun, logika menyalahkan curah hujan setiap kali banjir melanda adalah cara berpikir yang keliru. “Kalau menyalahkan curah hujan, nanti masyarakat ini takutnya musyrik, bilang banjir karena Tuhan, padahal hujan itu berkah,” ujar Manajer Penanganan Bencana Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Friatna di Jakarta.
Menurutnya, penyebab banjir bukan curah hujan, melainkan banyak hutan yang beralih fungsi. Walhi mencatat, banyak hutan yang ditebang untuk permukiman dan industri. Artinya, wadah untuk menampung hujan makin kecil. Depok sebagai salah satu daerah penyangga Jakarta, saat ini mengalami peningkatan curah hujan yaitu naik dari 63,5 dan 64,5 milimeter per hari menjadi 65 dan 147 milimeter per hari pada tanggal 11-12 Januari 2014.
Menurut aktivis perempuan Gefarina Djohan indikasi ini seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Kota manakala dikaitkan dengan buruknya sistem dan pengendalian Tata Ruang Kota. Gefarina menyebutkan, dampak paling buruk dari gagalnya pengelolaan sistem dan pengendalian Tata Ruang Kota dirasakan oleh kaum perempuan. Ketidak adilan gender yang biasa melingkupi kaum perempuan semakin terasa ketika musibah banjir melanda. “Perempuan lagi-lagi menjadi korban, mereka tidak pernah tahu bahwa ada ketidakadilan struktural yang membuat mereka harus menderita seperti di saat-saat ini,” ujarnya di Depok (20/01).
Penduduk perempuan di Depok mayoritas adalah pekerja. Sesuai dengan data Biro Pusat Statistik tahun 2011, penduduk perkotaan termasuk Depok memiliki angkatan pekerja perempuan cukup tinggi, mencapai 50,95 juta sedangkan laki-laki 53,93 juta. “Nah, perempuan-perempuan pekerja ini mau tidak mau harus berhenti sejenak karena fungsi ganda yang harus lebih dikedepankan, sebagai istri dan Ibu yang seolah-olah punya tanggung jawab penuh ketika musibah datang,” ujarnya prihatin. “Konsep pembangunan kota Depok pada kenyataannya memang berantakan. Jika diperhatikan, hampir seluruh perumahan dan permukiman yang ada di Depok dibangun di sempadan dan di sekitar sungai Ciliwung,” demikian papar Gefarina.
Gefarina menjelaskan, terdapat sembilan perumahan yang dikembangkan persis atau tepat berada di sempadan dan sisanya dibangun di sekitar sempadan sungai Ciliwung. Di antaranya, Pesona Khayangan, Grand Depok City, dan Cimanggis Country Riverside. “Jelas, ini melanggar dan menyalahi Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Praktek pembangunan perumahan dan permukiman yang terjadi di sempadan sungai Ciliwung tersebut berlasung sangat masif. Sehingga menyebabkan melemahnya daya dukung sempadan sungai,” papar mantan Wakil Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama tersebut.
Pada saat perumahan tersebut dibuka dan beroperasi, lanjut Gefarina, terjadi pendangkalan tanah, arus lumpur, dan sedimentasi menjadi lebih tinggi. Sehingga saat hujan terjadi, sungai Ciliwung tak dapat menampung air hujan yang justru langsung mengalir ke tempat lebih rendah yakni Jakarta. Air yang mengalir ini disertai sampah dan lumpur. Gefarina menengarai, Pemerintah Depok justru membiarkan pembangunan terus terjadi dengan pemberian izin tanpa disertai Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tanpa pengawasan Tata Ruang. (gardo)