DEPOK – Keterlibatan perempuan dalam dunia politik masih sangat jauh tertinggal. Hal ini diungkap oleh aktivis perempuan, mantan Wakil Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama Dra. Gefarina Djohan, MA. Menurutnya, saat ini persepsi keterlibatan perempuan dalam politik dipersempit hanya di wilayah legislatif saja. “Dalam politik praktis, seringkali kita asumsikan yang dimaksud adalah perempuan di legislatif saja. Padahal, di wilayah eksekutif dan yudikatif, posisi perempuan jauh lebih memprihatinkan,” jelasnya di Depok, Jawa Barat (20/01).
Menurut Gefarina, keterwakilan perempuan di wilayah legislatif di tingkat nasional (DPR RI) baru mencapai 18,3 %. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan ketidakseimbangan yang sangat signifikan jika dilihat dari persentase jumlah penduduk Indonesia dimana 49,65% (BPS 2010) adalah perempuan. “Di eksekutif juga perempuan sangat terpinggirkan. Kita baru memiliki satu orang gubernur perempuan, yang saat ini bermasalah, sekitar lima orang walikota dan bupati, sedangkan di pemerintahan yang menduduki eselon satu dan dua baru berkisar 12-16%. Menteri dan Wakil Menteri hanya 11%,” demikian papar penerima Madeleine K. Albright Award tahun 2005 tersebut.
Selanjutnya, menurut Gefarina, perempuan yang duduk di lembaga yudikatif jumlahnya tidak kalah menyedihkan. Sama sekali tidak ada figure perempuan yang duduk di lembaga yudikatif semisal Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi hanya berkisar 11-12% serta di Komisi Pemilihan Umum 14%. “Jika semakin sedikit perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan maka hal-hal yang terkait dengan kehidupannya tentu saja akan terpinggirkan secara structural,” ujar Gefarina mewanti-wanti.
Kesetaraan yang berkeadilan gender, lanjutnya, adalah kondisi yang dinamis, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati dan menghargai serta membantu di berbagai sektor.