JAKARTA – Pemerintah Indonesia masih sangat tidak berdaya dalam menegakkan hukum dan melindungi Hak Asasi Manusia warga negaranya. Sampai saat ini belum ada sanksi apapun yang dijatuhkan kepada PT Asiatic Persada (PT AP) atas tindakan penggusuran, penganiayaan yang disertai perampasan terhadap warga Suku Anak Dalam (SAD) di empat dusun di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Menurut Saipulloh, dari Departemen Sosial Sawit Watch—organisasi non-pemerintah yang berkonsentrasi melakukan pengawasan terhadap dampak-dampak negatif sistem perkebunan besar kelapa sawit di Indonesia—sejauh ini, Gubernur Jambi baru merekomendasikan untuk melakukan peninjauan kembali Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan PT AP.
“Tapi sampai saat ini, hal itupun belum dilaksanakan. Masalahnya, PT Asiatic Persada sekarang sudah dijual oleh Wilmar International Limited kepada PT Agro Mandiri Semesta (AMS), ini menimbulkan persoalan baru. Sementara konflik lahan yang lama saja belum selesai,” demikian pemaparan Saipulloh dari kantor Sawit Watch di Bogor (20/01).
Saipulloh menyatakan, Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari telah membentuk Tim Terpadu yang sedianya memediasi sengketa antara warga SAD dengan PT AP. Namun, tim tersebut justru berbalik menekan warga dengan melakukan intimidasi dan meminta sejumlah uang dari warga. “Tim Terpadu sudah melakukan pemaksaan, masyarakat dipaksa ikut pola penyelesaian dengan cara mereka tapi harus membayar sejumlah uang. Sebagian warga yang terintimidasi mau tidak mau mengambil jalan ini. Sebagian besar warga masih terlantar tanpa ada kejelasan. Tim Terpadu justru berpihak pada perusahaan bukannya melindungi kepentingan warga,” ungkapnya.
Dari Jakarta, aktivis Hak Asasi Manusia Taufik Basari menyatakan bahwa para pelaku penyerbuan dan penggusuran pemukiman warga suku anak dalam di sekitar areal perkebunan sawit Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi harus diperiksa dan diadili. “Koruptor satu demi satu ditangkap di negara ini tetapi para pelanggar Hak Asasi Manusia masih bisa bebas berkeliaran. Polda Jambi dan Pemprov Jambi harus turut bertanggung jawab atas penggusuran yang disertai tindak kekerasan ini,” demikian tegas pengajar di Departemen Filsafat Universitas Indonesia ini.
Menurut Taufik, pemerintah juga harus mengkaji kembali izin yang diberikan kepada PT AP terkait penggunaan kekerasan dan penggunaan aparat untuk kepentingan perusahaan tersebut. Menurutnya, aparat kepolisian dan Pemerintah Propinsi Jambi tidak memahami esensi kehidupan masyarakat adat SAD.