BerandaMajelisAntar LembagaImplementasi Berbakti Kepada Orangtua (Respon Terhadap Peringatan Hari Ibu Nasional)

Implementasi Berbakti Kepada Orangtua (Respon Terhadap Peringatan Hari Ibu Nasional)

DI INDONESIA, tanggal 22 Desember pada setiap tahunnya diperingati secara nasional dengan hari ibu. Sementara di Amerika dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, hari ibu atau mother’s day dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, hari perempuan internasional atau international women’s day diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Sejarah hari ibu versi Indonesia, diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya
adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 di antaranya Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Rasuna Said dan Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.

Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama.

Sudah menjadi budaya dalam peringatan hari ibu di negeri ini dengan mengucapkan selamat hari ibu, pemberian hadiah, acara syukuran dan lainnya. Hal ini tentunya mempunyai nilai filosofis yang tinggi sebagai salah satu bentuk kecintaan seorang anak pada ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya. Seorang pengusaha, pemikir, ilmuan bahkan seorang presiden sebuah negara
terlahir dari rahim seorang ibu. Perjuangan seorang ibu yang begitu panjang dalam membesarkan anak-anaknya tidak bisa diukur dengan emas dan permata. Betapa beratnya harus mengandung seorang bayi selama 9 bulan dalam perutnya, betapa sakitnya saat-saat melahirkan dengan taruhan nyawa, dan setelah lahirpun dia menyusuinya selama dua tahun dan merawatnya sampai dewasa.

Namun ironisnya, jangankan untuk membalas semua budi baiknya, terkadang seorang anak pun tak sempat walau hanya mengucapkan “terimakasih ibu, engkau telah membesarkanku”. Ucapan ini mungkin hanya sebatas lisan, namun dampak psikologisnya sangat dirasakannya, oleh karena dia merasa sangat berjasa pada kesuskesan yang diraih anak-anaknya.

Dalam Islam, perintah untuk patuh dan berbakti kepada kedua orangtua (birrulwalidain), jelas dalam Alquran dan hadis Nabi saw. dalam surah Luqman : 15, Allah swt berfirman :

“Dan Kami perintahkan kepada semua manusia (supaya berbuat baik) kepada kedua orangtuanya; Ibu telah mengandungnya dengan keadaan lemah dan bertambah lemah (kemudian) meyapihnya dalam usia dua tahun; oleh karena itu hendaklah kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, kepada-Ku lah tempat kembali.”

Mengomentari ayat di atas, Imam Muhammad Ali as-Shabuni menulis dalam bukunya Rawai’ al-Bayan Tafsiru Ayat al-Ahkam Min al-Quran bahwa Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya dengan kalimat “walidaini”, tetapi kemudian disusul dengan menyebut kata ibu secara khusus, dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan “zikrul khas ba’da al-‘am” yaitu
menyebutkan yang khusus setelah yang umum.

Ali as-Shabuni menambahkan, kalimat demikian untuk menambah perhatian dan memandangnya sebagai hal penting, disamping untuk menerangkan bahwa hak ibu atas anak adalah lebih besar daripada hak ayah. Namun bukan berarti posisi seorang ayah menjadi tidak penting, oleh karena perintah pertama disebutkan adalah berbakti kepada keduanya (ibu dan ayah). Hanya saja, keberadaan ibu menjadi lebih signifikan karena pengorbanannya yang sangat besar, mulai dari mengandung, melahirkan sampai membesarkan (menyapihnya selama dua tahun).

Betapa pentingnya berbakti kepada ibu sehingga dalam sebuah riwayat pernah seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. wahai Rasulullah, siapakah yang patut kuperlakukan dengan baik ? Nabi menjawab “ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu. Setelah itu Rasulullah saw menyambung : kemudian ayahmu”.

Dalam hadis tersebut Rasulullah saw. menyebut ibu sebanyak tiga kali, lalu kemudian ayah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk berbakti kepada ibu, namun tidak dengan mengesampingkan posisi ayah sebagai orangtua. Ibu adalah pengayom dan pengasuh terbaik bagi anak. Sesukses apapun seorang manusia, ia terlahir dari rahim seorang ibu. Pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu tiada terhingga dan tak dapat dibalas dengan intan dan permata.

Berbakti kepada orangtua dilakukan dengan cara mentaati perintahnya, mempergaulinya dengan baik di dunia, menolongnya dan menjaga amanahnya. Menaati perintah orangtua adalah sebuah kewajiban dan berdosa mendurhakainya. Kendatipun demikian jika perintahnya untuk berbuat maksiat kepada Allah swt. maka seorang anak dilarang untuk mematuhinya (la tha’ata limakhluqin fi ma’shiati al-Khaliq). Walaupun tetap mempergaulinya dengan baik. Hal ini tersirat dalam perintah Allah surah Luqman : 15, Allah mengatakan “dan jika kedua orangtuamu itu memaksamu untuk menyekutukan aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahui tentangnya, maka janganlah engkau taati mereka, dan pergaulilah mereka dengan baik di dunia…” (QS. Luqman : 15).

Berbakti kepada orangtua selain bernilai pahala juga menjadi dasar akan keridaan Allah swt kepada seorang anak. Dalam Syarh al-Kafrawi disebutkan sebuah riwayat bahwa “ridanya Allah swt. itu didasari dengan ridanya orangtua, dan murkanya Allah swt. didasari dengan murkanya orangtua.”

Berbuat baik kepada kedua orangtua yang seakidah tak terbatas oleh waktu, bahkan dapat dilakukan meskipun mereka telah meninggal dunia. Pada zaman Nabi saw. seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang apakah masih ada yang bisa dia lakukan untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya setelah mereka meninggal dunia. Nabi menjawab : berbakti kepada mereka dengan cara men-salatkannya (salat jenazah); memohon ampunkan dosa keduanya; menunaikan janji-janjinya; memuliakan sahabat-sahabatnya; dan menghubungkan tali silaturahim dengan orang-orang yang dulu dekat dengan keduanya.

Isyarat Alquran dan Hadis Nabi saw. memerintahkan kepada seorang anak untuk patuh dan berbakti kepada kedua orangtuanya terutama ibu yang melahirkannya. Kepatuhan itu gugur jika orangtua mengajaknya untuk maksiat kepada Allah swt. meskipun demikian mempergaulinya dengan  baik di dunia tetap diperintahkan. Berbuat baik kepadanya tidak mengenal batas waktu dan usia, oleh karena hal itu juga dapat dilakukan bahkan setelah mereka meninggal dunia. Sadar atau tidak, kesuksesan seorang manusia tak terlepas dari peran signifikan orangtuanya, terutama ibu yang selalu mengasuhnya. Pejabat, pemikir, ilmuan dan bahkan seorang presiden terlahir dari rahim seorang ibu.

Kasih sayang yang tercurah sepanjang masa, doa dan harapannya yang begitu mulia, maka pantaslah jika surga seorang anak berada di bawah telapak kaki ibunya. Lalu, jika jasanya tak terbalaskan, pernahkah kita mengucapkan sekedar kata “terima kasih ibu, engkau telah membesarkanku.”?…fa’tabiru…

Wallahu a’lam.

Irwansyah, M.H.I
Penulis adalah anggota Tim Ahli Majelis Hisab Rukyah PB Al Washliyah

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille