JAKARTA – Ketua FPKB MPR RI M. Lukman Edy berharap pemilu 2014 tidak terjadi pemilu machiavelli, yaitu politik menghalalkan secara oleh partai, caleg, dan capres untuk memenangkan kontestasi politik. Karena gejala itu sudah mulai berkembang dengan bebasnya iklan politik di televisi yang dikuasai oleh partai politik. Di mana para pemilik media itu telah melakukan politisasi media, dan karena itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus proaktif untuk mengontrol berbagai bentuk pelanggaran tersebut.
“Saya khawatir politisi pemilik media itu akan melakukan politik machiavelli untuk menghantam lawan-lawan politiknya menjelang pemilu 2014 nanti. Karena itu KPI harus proaktif untuk mengontrol pelanggaran itu dengan menindak tegas media yang terbukti melanggar,” tandas Lukman Edy dalam dialog ‘Evaluasi Akhir Tahun Bidang Polhukam’ di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (16/12/2013).
Kasus kuis H+HT kata Lukman, sebuah contoh yang patut diperhatikan bersama, sebab yang namanya capres itu selalu mencari peluang untuk memanfaatkan media sebagai tempat untuk sosialisasi diri menjelang pemilu tersebut. “Jadi, KPI harus proaktif dan tegas,” tuturnya.
Selain itu soal ketidakefetifan pemeirntahan saat ini menurut Lukman, hal itu makin diperjelas dengan posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum DPP Demokrat. “Posisi presiden itu justru melemahkan dirinya sebagai presiden. Karena itu ke depan, harus ada perubahan sistem presidensial dan sistem politik ketetanegaraan dengan larangan rangkap jabatan sebagai ketua umum partai. Baik presiden maupun menteri-menterinya, agar check and balance antar lembaga itu jelas,” tambahnya.
Juga mengenai ancaman desintegrasi bangsa kata Lukman oleh terorisme. Sebab, sebanyak 20-25 persen dalam berbagai survei yang dilakukan oleh MPR RI, pemerintah, kalangan kampus, dan LSI ternyata mereka menolak sosialisasi 4 pilar bangsa itu selama ini. “Survei pemerintah dengan melibatkan 30 ribu responden juga sama sekitar 25 persen menolak 4 pilar dan mereka ini menganggap Pancasila sebagai thogut, syetan,” ujarnya kecewa.
“Potensi desintegrasi bangsa 25 persen itu yang mesti kita waspadai. Sebab, kalau itu dibiarkan bisa berkembang besar, dan nantinya bukan saja pemerintah yang jatuh, tapi negara juga akan runtuh. Memang yang mendukung NKRI ini masih 75 persen, tapi kalau yang 25 persen itu membuat chaos menjelang pemilu 2014 ini dengan latarbelakang agama, maka bisa merusak demokrasi itu,” ungkapnya.
Sementara terorisme yang dihadapi oleh aparat kepolisian menurut Lukman, hanya sebatas di permukaan saja. “Kita apresiasi itu mesti ada pelanggaran HAM. Untuk itu, ke depan perlu memperkuat internalisasi nilai-nilai kebangsaan, dan kalau ancaman itu dibiarkan, maka NKRI tinggal sejarah. Dengan begitu, maka 2014 mesti ada amandemen untuk memperkuat sistem ketatanegaraan ini,” pungkasnya. (am/gardo)