JAKARTA – Menteri Agama Suryadharma Ali bingung saat ditanya soal keputusan pemerintah yang mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga negara yang memeluk agama di luar enam agama yang diakui pemerintah. Peraturan itu dimuat dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan yang disahkan pada 26 November 2013 lalu.
“Saya belum baca persis di undang-undang itu. Ada agama Shinto, Yahudi begitu, di luar enam. Kalau dia enggak beragama kalau tulis agama kan malah bohong,” ujar Suryadharma di Jakarta, Kamis (12/12/2013).
Menurut Suryadharma, kolom agama di KTP ini sebenarnya sangat penting untuk mengurus segala administrasi lain nantinya. Misalkan, sebutnya, untuk urusan kematian, maka upacara kematian pun harus disesuaikan dengan agama yang tercantum dalam KTP yang bersangkutan. Jika tidak dicantumkan, maka masyarakat tak memiliki informasi tentang agama yang dianut seseorang. Akan tetapi, Suryadharma tak bisa menjawab tentang ketentuan untuk agama atau kepercayaan di luar yang ditetapkan pemerintah.
“Harus dicantumkan sebenarnya, kalau tak beragama ya mungkin enggak usah disebut sekalian,” katanya.
DISAHKAN
Rancangan Undang-Undang Administrasi Kependudukan akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Administrasi Kependudukan setelah melalui rapat paripurna DPR pada tanggal 26 November 2013. Pada Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, setiap warga negara harus memilih satu di antara lima agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya.
Dalam revisi terhadap Undang-undang Administrasi Kependudukan itu, sebelumnya sempat diusulkan agar warga dibebaskan mencantumkan agama atau aliran kepercayaan mereka. Namun, setelah melalui pembahasan antara pemerintah dan DPR, warga tetap diwajibkan memilih satu di antara lima agama dalam KTP-nya.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memastikan tak akan ada diskriminasi terhadap agama tertentu. Ia menjelaskan, bagi pemeluk agama atau kepercayaan lain di luar yang diakui pemerintah, isian akan dikosongkan. Gamawan mengatakan, soal dicantumkannya agama masih dilakukan kajian di Kementerian Agama.
“Kami sudah punya matriks persoalan-persoalan menyangkut dengan agama. Dan itu sudah dibahas inter-depth, jangan-jangan sebenarnya ini bagian dari mazhab saja kan. Saya tidak mau sebut contoh ya. Itu kan harus hati-hati sekali. Aliran kepercayaan itu kan dia tetap beragama,” ujarnya.
Agar tak terjadi diskriminasi atau hambatan tertentu soal agama, kata Gamawan, pihaknya akan segera mengumpulkan kepala dinas seluruh Indonesia.
“Jadi kita sosialisasi dari poin-poin yang kita tetapkan hari ini,” ujar Gamawan.
(kompas.com/esbeem)