JAKARTA – Rencana Timwas skandal Bank Century DPR RI untuk memanggil Wapres Boediono untuk dimintai keterangan seputar kasus century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun di tahun 2008, tampaknya menghadapi penolakan keras dari Fraksi Partai Demokrat (FPD). FPD justru mendesak Timwas kembali pada tugas awalnya untuk melakukan sebatas pengawasan terhadap kasus Century itu sendiri, dan bukannya melakukan penyidikan, karena Timwas bukan penyidik.
Demikian diungkapkan Ketua FPD DPR RI Nurhayati Ali Assegaf menanggapi rencana timwas century DPR yang akan memanggil Wapres Boediono. “Timwas tidak berhak memanggil Wakil Presiden Boediono untuk bertanya soal kasus Century. Timwas Century, mengawasi proses Century, proses hukumnya di KPK, tidak kemudian menjadi penyidik,” tandas Nurhayati pada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (29/11/2013).
Menurut Nurhayati, Timwas adalah bagian kecil dari DPR yang mendapatkan mandat dari paripurna DPR untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya proses hukum baillout Century. “Jadi, jika Timwas ingin berubah fungsi dengan melakukan penyidikan, maka harus dibawa ke paripurna DPR. Tapi, tetap saja, tugas anggota DPR adalah melakukan pengawasan,” ujarnya.
Nurhayati meyakinkan lagi bahwa Timwas itu amanat paripurna, bukan menyidik, karena yang melakukan penyidikan adalah KPK. “Timwas itu bukan hakim, kita hanya mengawasi kerja lembaga-lembaga. Makanya namanya legislatif, bukan eksekutif. Untuk itu saya minta Timwas kembali ke amanat paripurna DPR,” tambahnya.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung, pembahasan soal rencana pemanggilan Boediono ini baru akan diputuskan pada Rabu (4/12/2013). “Bahwa satu hal mengenai pemanggilan Boediono akan diputuskan dalam rapat sebelum rapat dengan KPK pada 4 Desember. KPK kami undang pukul 10.00 Wib, agar Timwas lengkap kami akan putuskan saat itu,” kata Pramono.
Peran Boediono kembali mengemuka setelah Sabtu (23/11/2013), KPK memeriksanya di kantornya selaku mantan Gubernur Bank Indonesia (BI). Timwas Century kemudian bergerak lagi, mengundang sejumlah pakar meminta saran soal posisi Boediono, apakah harus nonaktif dari posisinya kini sebagai Wakil Presiden atau bagaimana?
Berbarengan dengan itu Nurhayati protes atas semua pemberitaan mengenai partainya yang selalu tersangkut kasus korupsi. Sebab, semua pemberitaan yang berkaitan dengan KPK, selalu dikaitkan dengan Demokrat. “Kalau Demokrat, saya berkali-kali bilang, bahwa Demokrat ini mendukung penuh KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi, tapi jangan Demokrat terus yang dikaitkan dengan korupsi. Apa benar di KPK itu isunya hanya Demokrat?,” tanya Nurhayati.
Sikap protes itu disampaikan Nurhayati ketika sejumlah media meminta tanggapannya mengenai beberapa pengurus Demokrat disebut-sebut terima THR dari SKK Migas. Seperti, Sutan Bhatoegana, Jero Wacik, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), dan Tri Yulianto. Menurutnya, pemberitaan terhadap kader Demokrat amat gencar. Padahal namanya masih menjadi saksi atau baru disebut-sebut dalam persidangan. “Jangan baru disebut-sebut sudah menjadi ramai, kasus-kasus di KPK itu isunya bagaimana?” katanya masih bertanya.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu mempertanyakan pemberitaan kasus korupsi dari partai lain yang dianggapnya tidak segencar pemberitaan kader Partai Demokrat.
“DPR itu parpol bukan hanya Partai Demokrat, ada partai lain. Kenapa yang diangkat Partai Demokrat terus? Saya tanya ke media, mana berita yang lain. Itu yang akan kami tanyakan, setiap hari, setiap pagi, kenapa kok Demokrat saja berita yang dimuat. Apa iya negeri ini hanya dikuasai Demokrat,” ucap Nurhayati ketus.
Untuk itu, Nurhayati berharap media berimbang dalam memberitakan kasus korupsi di partai lain. Media lanjutnya, juga perlu mempertanyakan ke partai lain mengenai kadernya yang sudah menjadi tersangka atau terdakwa korupsi. “Kalau kasus-kasus lain tanyakan ke partai lain, supaya ada keberimbangan. Saya sebagai ketua fraksi sangat merasakan ketidak berimbangan (berita),” katanya. (am/gardo)