AKHLAK PARIPURNA DALAM MEMBANGUN BANGSA YANG TA’DIB
Sebuah Refleksi dalam Proses Pemilihan Pemimpin Bangsa
Sambutan Pengurus Besar Al Washliyah
Pada HUT ke-83 Al Washliyah 30 Nopember 2013
Sudah menjadi aksioma yang tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam. Kita mungkin masih ingat dengan sebuah lagu yang pernah populer pada era 80-an pernah melukiskan tentang kekayaan alam Indonesia yang melimpah, berikut penggalan syairnya; Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Penggalan syair lagu itu sudah cukup mendeskripsikan bahwa Indonesia memiliki daratan yang subur dan kekayaan bahari yang menjanjikan kemakmuran bagi segenap anak bangsa. Kenyataan di atas sejatinya bisa membuka wawasan kita bahwa sebuah negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah bukanlah jaminan bagi kemakmuran kalau tidak ditopang oleh ketersediaan sumber daya manusia (human resource) yang memadai. Perkembangan sejarah dunia menunjukkan bahwa kejayaan suatu bangsa tidaklah terletak dari berapa besar angka jumlah warganya, juga bukan dari berapa banyak kekayaan alam yang terkandung dalam bumi wilayahnya sendiri. Kejayaan suatu bangsa lebih ditentukan oleh tingkat profesionalitas para warganya dalam mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada di seluruh muka bumi ini. Bagaimana masyarakat harus bisa mengolah alamnya menjadi rahmat bagi kehidupannya.
Indonesia termasuk negara yang memiliki sumberdaya alam terkaya nomor tiga dunia, setelah Amerika dan Uni Soviet. Sementara negara lain seperti Kanada dan Jepang termasuk negara yang kecil dan tidak termasuk negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Namun faktanya menunjukkan bahwa sungguhpun Indonesia memiliki sumberdaya alam yang kaya, tetapi tertinggal dari Jepang dan Kanada, bahkan dari beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore.
Jelas bahwa, ketertinggalan bangsa kita disebabkan sumberdaya manusia Indonesia belum mencapai kualitas setara dengan bangsa bangsa di Eropa. Keadaan ini juga belum diikuti bidang pendidikan yang merupakan sarana yang paling strategis dalam melahirkan sumber daya manusia. Sejatinya sebuah lembaga pendidikan harus bisa menghasilkan sumber dayamanusia yang handal baik dari segi keilmuan maupun moralitas. Apalagi bagi Al Washliyah yang hari ini berusia 83 Tahun.
Jujur dikatakan bahwa dalam usia 83 Tahun Al Washliyah belum mencapai puncak insancita Pendidikan, Dakwah dan Amal Sosial yang menjadi pilar utamanya. Namun demikian, Al Washliyah telah “membangkitkan” kesadaran umat Islam khususnya di Sumatera Timur untuk ikut serta dalam perubahan zaman yang sebelumnya lebih terkesan jumud atau tertinggal dari kemajuan berpikir.
Perubahan berpikir dan berakhlak Qurani di zaman yang menggunakan kemajuan sains, teknologi dan Informasi ini ternyata menimbulkan dinamika yang bervariasi. Natijah Al Washliyah bisa saja ditafsirkan dan disesuaikan dengan zaman yang berkembang melalui manhaj (metodologi), visi dan misinya. Dinamika perubahan itu dipastikan berdampak kepada semua kelembagaan Al Washliyah, bagaikan bola salju yang akan menerpa siapa saja yang tidak siap dengan perubahan itu sendiri.
Hadirin Yang Berbahagia.
Justeru pilar utama Pendidikan, sebagai ukuran perubahan Akhlak yang sekaligus memberikan teraphy melalui lembaga pendidikan formal dan informal. Akhlak lebih populernya disebut prilaku menjadi kata kunci. Karenanya, tujuan utama pendidikan di dalam ajaran Islam adalah menciptakan manusia yang baik lagi beradab dalam pengertian yang komperhensif dengan menjadikan Rasul sebagai tauladan sentral. Bukan sebaliknya, manusia itu menjadi biadab. Inilah dinyatakan dalam al-Quran yang menyebutkan bahwa manusia itu bisa menjadi hewan, atau malah lebih dari itu. Nabi sebagai model dalam konsep Islam, diharapkan dapat mewujudkan tujuan pendidikan sebagai refleksi dari insan kamil atau manusia universal.
Rasulullah menetapkan Akhlak sebagai model sosok Muslim yang amat tinggi. Akhlak yang berkualitas menghasilkan manusia yang Takdib atau beradab, kemudian memberi nasihat kepada saudaranya ketika menyimpang dari akhlak. Sebagaimana disampaikan Rasulullah : Seorang Muslim adalah yang mampu menyelamatkan saudaranya dari (perbuatan buruk) melalui lidah dan tangannya.
Pemantapan akhlak moral dalam pembinaan sumberdaya manusia menjadi penting, karena masalah akhlak merupakan jiwa dan landasan bagi tegaknya sistem kehidupan yang diciptakan manusia. Bagaimanapun dalam upaya mewujudkan sebuah tatanan masyarakat madani (civil society) diperlukan pembinaan karakter bangsa, dengan menanamkan kepribadian warga yang mempunyai kualitas sikap dan menjunjung tinggi nilai luhur bangsa. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa bangsa-bangsa di dunia yang dahulu terkenal adikuasa, jaya dan disegani seperti Romawi, Persia dan sebagainya ternyata juga hancur yang disebabkan kerenya hancurnya moralitas yang menjadi karakter bangsa. Krisis moralitas dan memudarnya karakter bangsa kini dialami bangsa Indonesia sehingga membuat negeri kaya sumber daya alam ini mengalami keterpurukan baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan ketahanan nasional.
Kalau kita berkesimpulan bahwa semua bentuk keterpurukan bangsa dimuarakan kepada hilangnya karakter bangsa, lantas bagaimana mutiara yang hilang itu bisa kembali ditemukan.
Karakter Bangsa: Mutiara yang Hilang
Sebelum kita melangkah lebih jauh tentang pentingnya pembangunan karakter bangsa, bijak kiranya kalau kita memulai dengan memaparkan pemahaman umum tentang karakter bangsa itu sendiri. Secara sederhana karakter bangsa dapat dimaknai sebagai ciri utama suatu bangsa yang berakhlak menyangkut identitas budaya, prilaku, etos kerja, moralitas dan kaberagamaan. Karakter bangsa ini merupakan cerminan kepribadian nasional atau atau jati diri nasional yang dimiliki oleh suatu negara.
Karakter atau kepribadian nasional ini biasanya diadopsikan dari nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa yang kita yakini kebenarannya secara universal. Dalam bentang kesejarahannya, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beradap, bangsa yang berbudaya, bangsa yang beretika dan bangsa yang religius, itulah yang dikatakan sebagai karakter bangsa Indonesia. Dengan demikian seorang warga bangsa dianggap memiliki karakter bangsa jika dalam kehidupan sehari-hari senantiasa mengindahkan nilai moralitas, religiusitas dan serangkaian nilai-nilai luhur lainnya. Pengabaian terhadap nilai-nilai karakter bangsa ini akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karakter bangsa yang dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai dan pola pikir yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah bangsa. Sekurang-kurangnya ada 17 nilai karakter bangsa yang diharapkan dapat dibangun oleh bangsa Indonesia. Adapun nilai-nilai karakter bangsa yang dimaksud adalah iman, takwa, berakhlak mulia, berilmu, berkeahlian, jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, orientasi pada keunggulan, gotong royong, sehat, mandiri, kreatif, menghargai dan cakap.
Tampaknya tidak berlebihan jika bangsa Indonesia hari ini digambarkan sebagai bangsa yang mengalami penurunan kualitas karakter bangsa. Mulai dari memburuknya citra penegak hukum, etika buruk yang di tunjukkan oleh para wakil rakyat, sampai kepada bangsa yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme serta serangkaian prilaku yang tidak menunjukkan keadaban lainnya.
Persoalan ini muncul karena lunturnya nilai-nilai karakter bangsa yang diakui kebenarannya secara universal, yang menyebabkan martabat bangsa Indonesia dinilai rendah oleh bangsa lain. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa ini, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno pernah memunculkan gagasan Trisakti yang disebutnya sebagai survival theory yaitu sebuah proses pendidikan karakter untuk mewujudkan bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdaulat di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Sayangnya gagasan Soekarno membangun karakter bangsa ini tidak ada yang melanjutkan ke dalam gerakan yang masif.
Pembangunan karakter bangsa berangkat dari hermeneutika Soekarno yang sangat terkenal yaitu radikal, progresif, revolusioner. Radikal dimaknainya sebagai mencabut sampai ke akar-akarnya tentang apa yang diwariskan kolonial. Progresif artinya bahwa kita semua haruslah mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak, mengabdi kepada kepentingan umum, dan mengabdi kepada bangsa dan Negara. Revolusioner bermakna mengubah keadaan yang tua menjadi keadaan yang baru. Keadaan yang baru adalah sebuah tatanan masyarakat yang tidak mengizinkan seorangpun menghisap darah orang lain.
Jika bangsa ini memang mau serius membangun karakter bangsa, maka tidak ada pilihan lain kita harus membongkar seluruh tatanan sosial yang sudah amburadul ini. Penataan ini harus dimulai dengan membuat manusia kembali kepada kesejatiannya, karena manusia modern kerap menghadapi persoalan tentang makna hidup. Persoalan makna hidup manusia modern ini terjadi dalam beberapa hal yang sangat fundamental seperti tekanan yang amat berlebihan pada material kehidupan. Kemajuan dan kecanggihan dalam ”cara” mewujudkan keinginan memenuhi hidup material yang merupakan ciri utama zaman modern.
Tanpa disadari kecenderungan ternyata harus ditebus manusia dengan ongkos yang amat mahal, yaitu hilangnya kesadaran makna hidup yang lebih mendalam. Dalam masyarakat modern telah terjadinya pergeseran paradigma dalam mengukur sukses tidaknya seseorang yang hanya melihat sisi penampilan lahiriah berupa kemewahan materi meskipun mereka ”miskin” dari sisi moralitas dan spiritual.
Kecenderungan yang berlebihan pola materialistik ini telah menyebabkan manusia modern kian jauh dari kesadaran akan pentingnya dimensi spiritual dan moral dalam membangun sebuah masyarakat yang berperadaban (civil society). Hakikatnya, kesadaran spritual dan moral inilah yang merupakan azas utama dari karakter luhur bangsa Indonesia. Namun identitas nasional itu kini bagai ”mutiara yang hilang” dalam ranah prilaku anak bangsa, sehingga menyebabkan bangsa ini mengalami krisis moral yang pada gilirannya menjadikan keadaan bangsa dalam status qou dalam keterpurukan.
Kalau bangsa ini tidak mau larut dalam krisis multi dimensi yang tak berujung ini, maka diperlukan sebuah upaya serius untuk kembali merestorasi karakter bangsa. Bicara masalah pembentukan karakter bangsa, adalah bicara persoalan nilai dan butuh waktu yang relatif lama, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kunci utamanya adalah menyangkut investasi modal manusia (human capital investment). Waktu yang diperlukan untuk menunjukkan hasilnya itu kira-kira 20 tahun atau satu generasi.
Oleh karena itu kalau kita tidak memulai dari sekarang, sudah dapat dipastikan 20 tahun ke depan kita masih berkubang dalam status quo. Terkait masalah ini ada ungkapan bijak dari orang Afrika bahwa ”menamam pohon itu yang terbaik adalah 20 tahun yang lalu, namun kalau anda tidak berhasil menanam 20 tahun yang lalu, waktu yang terbaik ialah sekarang, kalau sekarang tidak menanam, 20 tahun lagi tidak ada apa-apa”
Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum bila mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu.
Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia
Pertama, Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
Kedua, Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradap; Ketiga, Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia; Keempat, Liberasi:Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; Kelima,Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karakter Kenabian: Refleksi Pemimpin Bangsa
Karakter manusia “sempurna” sebagaimana ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. Hal yang sama juga berlaku bagi pemimpin bangsa.(Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man dassaha)
Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia sebagai pemimpin harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)
Beberapa faktor penting sebagai ciri karakter profetik. Pertama,Sadar akan keberadaannya sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar dan Tuhan. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.Kedua, Cinta Tuhan: Orang yang sadar akan kekuasaan Tuhan dan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, Bermoral: Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, yang merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
Keempat, Bijaksana: Karakter ini muncul didorongoleh keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan memahami bahwa banyaknya perbedaan adalah juga kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan. Kelima, Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan. Keenam, Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi.
Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membiarkanperlakuan kecurangan, kebohongan dan apalagi penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa. Ketujuh, Kontributif: karakter ini merupakan cermin seorang pemimpin yang memiliki kemampuan lebih untuk menjalankan amanah bangsanya.
Sambutan ini bukan sekedar item protokol, tetapi menjadi perhatian Wasliyin. Harapannya, tahun 2014 adalah tahun politik dimana Al Washliyah telah cukup matang berpolitik, maka bagi Washliyin sepatutnya memilih calon pemimpinnya yang memiliki Akhlak amanah yang dijunjung tinggi oleh Washliyin dan Ummat Islam dimanapun ia berdomisili. Maknanya dalam proses pemilihan pemimpin bangsa pada tahun 2014, karakter profetik kiranya harus menjadi salah satu persyaratan utama sehingga kita menemuka pemimpin yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang memperoleh predikat, baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Majulah Washliyah Zaman ber Zaman.
Jakarta, 30 Nopember 2013
Pengurus Besar Al Washliyah
Ketua Umum
Dr.H.Yusnar Yusuf, MS
Sekretaris Jenderal
Prof.Dr.H.Rusydi Ali Muhammad, MA