JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya menilai Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) tidak aspiratif terhadap suara rakyat, jika tidak membuka isi surat balasan dari PM Australia, Tony Abbott, yang diterima pada Sabtu (23/11/2013) lalu itu. Dia khawatir dengan tidak adanya minta maaf dari Australia tersebut, karena Presiden SBY memang memintanya untuk tidak meminta maaf, maka surat itu tidak salah kalau tidak meminta maaf pada Indonesia.
“Jadi, kalau Presiden SBY tetap tidak bersedia membuka isi surat Tony Abbot tersebut, maka presiden tidak aspiratif terhadap suara rakyat yang menghendaki dan ingin tahu isi surat balasan PM Australia itu,” kata Tantowi Yahya dalam dialog ‘Menakar hubungan Indonesia-Australia pasca penyadapan’ bersama anggota DPD RI Poppy Darsono, dan peneliti LIPI Jaleswari Pramodhawardani di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Tantowi Yahya menggang absurd, omong kosong kalau politik luar negeri Indonesia tidak dikerangkeng oleh asing, sehingga respon Presiden SBY lambat dalam hal penyadapan Australia dan Amerika Serikat, yang jelas merugikan bangsa Indonesia secara lahir dan bathin (materiil dan in manteriil). “Kelambanan itu karena ada pagar diplomasi, maka pagar itu harus dirobohkan,” ujarnya.
Apalagi pembocor informasi penyadapan itu, Edward Snowden menyatakan bahwa negara yang disadap selama ini tidak ada yang protes, karena isinya benar. Karena itu penyadapan yang dilakukan oleh Australia, Amerika, Singapura, dan Malaysia itu benar. “Hanya saja Presiden SBY menunggu didesak rakyat dan DPR RI untuk bersikap. Kalau tidak didorong, mungkin pemerintah tak bersikap. Dan, sampai hari ini pun kita tak tahu apa isi surat balasan Australia itu,” tambahnya kecewa.
Tantowi dan anggota Komisi I DPR RI berencana bertemu Snowden di Rusia. Sebelumnya Badan mata-mata Australia diberitakan menyadap telepon Presiden SBY, Ani Yudhoyono istrinya, dan sejumlah menteri dalam kabinet SBY. Sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan whistleblower asal AS, Edward Snowden, yang berada di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian.
Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa badan intelijen elektronik Australia, Defence Signals Directorate, melacak kegiatan Yudhoyono melalui telepon genggamnya selama 15 hari pada Agustus 2009, saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjadi Perdana Menteri Australia.
Sementara itu respon presiden antara lain menyangkut tiga hal penting dan mendasar:
1. Keinginan Australia untuk menjaga dan melanjutkan hubungan bilateral, hubungan kedua negara yang sesungguhnya dewasa ini berada, dalam keadaan yang kuat dan terus berkembang.
2. Komitmen PM Australia bahwa Australia tidak akan melakukan sesuatu di masa depan yang akan merugikan dan mengganggu Indonesia. Satu point yang penting.
3. PM Australia setuju dan mendukung usulan saya untuk menata kembali kerja sama bilateral termasuk pertukaran intelijen dengan menyusun protokol dan kode etik yang jelas, adil, dan yang dipatuhi. (am/gardo)