BerandaFatwa & KonsultasiHukum Perceraian Ala Ayu Ting Ting

Hukum Perceraian Ala Ayu Ting Ting

KITA sudah tidak asing mendengar ada istilah alamat palsu lagunya Ayu Ting Ting. Lirik lagu ini tercipata mungkin karena didasari oleh adanya cinta palsu, maka alamatpun dipalsukan. Ternyata lagu alamat palsu belum hilang dari ingatan masyarakat Indonesia, sudah digembar-gemborkan terjadinya perceraian palsu alias abu-abu yang terjadi pada Ayu Ting Ting dan suaminya.

Dikatakan perceraian tersebut abu abu karena sang suami pernah melontarkan kata kata kiasan kepada Istrinya: “Jika kamu sudah tidak lagi bisa menghargai saya sebagai suami, pulanglah kau ke rumah orang tuamu”.

Pernyataan ini agak mirip dengan lirik lagu Nia Daniati istri dari Farhat Abbas “Pulangkan saja aku pada ibu atau ayahku”. Pernyataan Enji sebagai suami disinyalir oleh istrinya Ayu Ting Ting sudah dua kali dialamatkan kepadanya secara serius, yang akhirnya ia dan kedua orang tuanya menganggap pernyataan ini sudah cerai alias jatuh talak dua. Akhirnya Ayu Ting Ting pun minggat ke rumah orang tuanya.

Peristiwa talak tiga atau lebih sekaligus apakah talaknya jatuh tiga atau tidak, apakah talak kinayah (sindiran) seperti cerita di atas termasuk cerai atau tidak. Mengenai perceraian seperti cerita di atas sangat banyak kita jumpai dimasyarakat kita Indonesia, bahkan diseluruh dunia. Dan peristiwa ini sudah banyak terjadi sejak ratusan tahun yang lalu.

Artikel singkat ini akan mengulas tentang perceraian langsung tiga atau mengucapkan talak tiga sekaligus apakah talaknya atau perceraiannya sah. Jika sah apakah talak tersebut jatuh tiga atau jatuh satu. Apakah sah talaknya sang suami menceraikan isteri di luar pengadilan Agama Islam.

Perceraian (Thalaq ; الطلاق) di dalam Alquran ada disebutkan sebagai berikut,

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكُُ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ … {البقرة [2] : 229}

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…” (QS. Albaqarah [2] : 229)

يَاأَيُّهَا النَّبِي إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ …{الطلاق [65] : 1}

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…” (QS. At-Thalaq [65] : 1)

Dasar adanya Talak (perceraian) di dalam Islam menurut Hadis, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,

قال صلى الله عليه وسلم :” أبغض الحلال إلى الله :  الطلاق ” (رواه أبو داود و إبن ماجة بإسناد صحيح , و الحاكم و صححه , عن إبن عمر)

Rasulullah Saw bersabda: “Perbuatan halal yang amat dibenci Allah Swt adalah perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dengan sanad Shahih, dan dishaihkan oleh Alhakim)

Hadis lain yang menyebutkan bolehnya peceraian (Talak),

وقال عمر : “طلق النبي صلى الله عليه وسلم حفصة , ثم راجعها ” (رواه أبو داود و النسائي و إبن ماجة عن عمر رضي الله عنه , وهو لأحمد من حديث عاصم بن عمر)

Berkata Umar bin Khattab R.a: “Nabi Muhammad Saw pernah mencerai Hafshah kemudian beliau meruju’nya kembali” (HR. Abu Dawud, Annasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad)

Perceraian itu diperbolehkan jika sudah tidak ada jalan keluar lagi atau kata sepakat bagi suami istri untuk ingin benar-benar membangun rumah tangga karena jalan keluar sudah buntu. Jikapun diteruskan malah menambah buruk bahkan akan menyebabkan akan terjadinya saling menzalimi seperti akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang terus menerus, anak terlantar, bahkan mungkin bisa menyebabkan terjadinya pembunuhan.

Jika perceraian tanpa sebab syar’i yaitu perceraian karena sebab-sebab keduniaan, seperti suami mencerai isterinya dengan niat untuk mempermainkan atau menelantarkan, maka hukum perceraian tersebut adalah “Haram”, namun talak (cerai) yang dijatuhkan tetap sah. Begitu juga jika sang isteri meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab Syar’i, maka hukumnya adalah “Haram”, dan sang isteri tidak akan mencium wanginya surga. Sebagaimana Rasulullah Saw besabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أيما امرأة سألت زوجها الطلاق من غير ما بأس – أي من غير حاجة فحرام عليها رائحة الجنة (الحديث)

Rasulullah Saw bersabda: “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab (syar’i) maka haram baginya mencium wanginya surga”. (Alhadis)

Khusus untuk talak (cerai) dengan isyarat atau kiasan harus dilandasi dengan niat benar-benar untuk menceraikan, jika niatnya tidak untuk menceraikan hanya karena marah atau mendidik sang istreri maka talaknya tidak jatuh. Sang suami haram hukumnya mempermainkan kata-kata “Cerai atau Talak” kepada isterinya.

Pembagian Talak:

Terbagi Talak itu kepada Raj’i dan Ba’in (الطلاق إلى الرجعي و بائن). Talak Raj’i adalah talak yang boleh suami rujuk kembali sebelum habis iddahnya kepada bekas iterinya dengan tidak perlu melakukan akad yang baru seperti talak satu dan dua. Talak Ba’in adalah talak satu atau dua yang suami tidak boleh rujuk kembali kepada isterinya karena sudah habis masa iddahnya. Namun boleh kembali (rujuk) kepada isterinya dengan syarat harus melakukan akad nikah yang baru dan memberikan mahar yang baru.

Talak Ba’in terbagi 2 yaitu:

1.Talak Ba’in kecil (الطلاق بينونة صغرى) yaitu: talak satu atau dua yang disertai dengan uang (iwadh) sebagai pengganti dari pihak isteri. Maka suami tidak boleh ruju’ kepada bekas isterinya kecuali dengan akad (perkawinan) dan mahar yang baru. Begitu juga suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya yang belum dicampuri, maka tidak boleh rujuk kembali kepada bekas isterinya, kecuali dengan akad dan mahar yang baru.

2.Talak Bai’in Besar (الطلاق بينونة كبرى) yaitu talak tiga. Suami yang menjatuhkan talak tiga kepada isterinya tidak boleh rujuk kembali kepada bekas isterinya. Jika ingin kembali kepada bekas isterinya. Maka bekas isterinya harus kawin dengan laki-laki lain dengan syarat pernikahan bekas isterinya tersebut dengan laki-laki lain harus sudah bersetubuh dengan suaminya yang baru, sudah bercerai hidup atau mati dan sudah habis masa iddahnya. Dan harus dengan akad dan mahar yang baru pula jika suami yang lama hendak mengawininya kembali. Hukum pernikahan ini sama hukumnya dengan pernikahan dengan orang lain.

Pembagian Talak Secara Sunnah Dan Bid’ah.

Talak Sunni (الطلاق السنة) adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri ketika isterinya dalam keadaan suci atau belum digauli (dicampuri) atau dalam keadaan sedang hamil.

Sedangkan Talak Bid’i (الطلاق البدعة) adalah talak yang dijatuhkan kepada isterinya yang sudah digauli (dicampuri) atau ketika isterinya dalam keadaan Haidh atau dalam keadaan suci tapi sudah digauli (dicampuri).

Talak Bid’i yang Haram adalah:
a.Menjatuhkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan suci dan belum digaulinya (dicampurinya).
b.Menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan hamil.

Talak Sunni yang Halal adalah:
a.Menjatuhkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan Haidh.
b.Menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan suci dan sudah digauli (dicampuri).

Hukum Thalak Tiga Sekaligus

Menjatuhkan talak (cerai) tiga sekaligus yaitu mencerai tiga kali dengan satu lafaz atau talak tiga satu kali ucapan maka hukumnya adalah sebagai berikut,

1. Menurut mayoritas Madzhab Ahlussunnah (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal) begitu juga Madzhab Dawud Zhahiri maka talaknya tetap jatuh tiga yaitu sah talak tiga sekaligus dengan sekali ucapan.

2. Menurut Madzhab Syi’ah Imamiyah talak tiga sekaligus atau talak tiga dengan sekali ucapan talaknya (perceraiannya) tidak sah yaitu talaknya tidak jatuh sama sekali.

3. Menurut Madzhab Syi’ah Zaidiyah, sebagian Madzhab Dawud Zhahiri, Ibnu Ishaq, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Alqayyim Aljauziyah (muridnya Ibnu Taimiyah) talak tiga sekaligus atau talak tiga dengan sekali ucapan talaknya hanya dianggap jatuh satu, tidak jatuh tiga.

4. Menurut undang-undang Islam di Mesir dan Syiria, bahwa menceraikan (mentalak) isteri baik secara Lafazh (ucapan langsung) atau Isyarah (isarat atau kinayah; kiasan) tiga selaigus atau talak tiga dengan satu ucapan atau isarat (kiasan), maka talaknya hanya jatuh satu tidak jatuh tiga.

Kesimpulan pendapat para ulama Madzhab di atas sengaja tidak saya cantumkan dalil-dalil hujjah mereka. Dapat dilihat di dalam kitab: Nail Al-Awthar oleh Imam Syaukani, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Wahbah Azzuhaili, Almukhtashar Annafi’, Almahalli, dll.

Mayoritas ulama muta-akhirin memandang akan kemaslahatan yang lebih besar agar perlindungan terhadap perkawinan di masyarakat dapat terjaga tidak menyebabkan mudarat yang lebih besar, maka mayoritas ulama muta-akhirin diseluruh dunia khususnya di Timur Tengah termasuk dalam Kompilasi hukum Islam  di Indonesia, bahwa perceraian dengan ucapan talak tiga sekaligus atau talak tiga dengan sekali ucapan maka talaknya hanya jatuh satu dan bagi suami isteri yang telah bercerai tersebut harus mengadukan kepada Hakim. Jika di Indonesia harus mengajukan kepada kantor urusan Agama (KUA), jika pengaduan cerainya diterima oleh KUA maka jatuhlah talak satu kepada isterinya meskipun di rumah, sang suami telah mengeluarkan kata-kata cerai sampai tiga atau lebih dengan sekali ucapan kepada isterinya.

Keputusan ini didalam ilmu ushul Fikih disebut dengan istilah Taqnin (تدوين القوانين) yaitu undang-undang yang telah sepakati bersama atau ditetapkan oleh mayoritas ulama dan pemerintah atau keputusan Qadhi yang telah disahkan oleh pemerintah menjadi sebuah ketetapan undang-undang dalam  perkawinan menurut hukum Islam. Taqnin ini bertujuan untuk mengkodufikasi berbagai macam perbedaan pandangan dan pendapat para ulama menjadi satu pemahaman dan ketetapan yang disepakati bersama yang diputuskan oleh lembaga ulama (Qadhi) yang berkompeten dengan pemerintah.

Maka bagi masyarakat tidak sah dan tidak boleh mengambil keputusan sendiri-sendiri atau mengambil keputusan fatwa dari berbagai perbedaan ulama Madzhab di atas. Diperbolehkannya  “Talfiq” atau mengambil patokan hukum kepada Madzhab yang berbeda hanya dibenarkan dengan 3 syarat, lihat Alfiq Alislami Wa-Adillatuhu, Al-Ahkam Almufti wa-Almustafti (Majalla Alhuquq) oleh Dr. Sa’ad Al’unzi, Alijtihad Fil-Islam oleh Dr. Nadiyah Syarif Al’umri, Alluma’ Fi Ushululfiq oleh Imam As-Syairazi Alfairuz Alabadi As-Syafi’I, dll.

Syarat-syarat tersebut adalah:

1.Talfiq atau mengambil pendapat yang ringan atau mudah dari Madzhab yang berbeda hanya dibenarkan sebab udzur atau dharurat, bukan mengambil yang enak-enak atau yang ringan-ringan saja. Seperti orang yang bermadhab Syafi’I boleh mengambil pendapat Madzhab Ahlussunnah yang lainnya seperti mengambil pemahaman Madzhab Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal sebab udzur atau dharurat dalam masalah ibadah furu’iyah, dll.

2.Talfiq atau mengambil pendapat yang ringan atau mudah dari Madzhab yang berbeda yang belum menjadi keputusan secara Ijma’ ulama, jika keputusan hukum syar’I tersebut sudah menjadi Ijma’ para ulama, maka tidak boleh Talfiq. Wajib hukumnya Taqlid (mengikuti) keputusan dari Ijma’ ulama tersebut.

3.Talfiq atau mengambil pendapat yang ringan atau mudah dari Madzhab yang berbeda dengan tujuan untuk membatalkan keputusan hukum yang telah ditetapkan hakim (Qadhi) atau pemerintah. Maka Talfiq seperti ini tidak boleh, terkhusus masalah hukum Jinayah (hukum pidana atau perdata), hukum Munakahat (hukum perkawinan), hukum Jihad atau hukum-hukum yang berhubungan untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Maka umat harus taat dan tunduk terhadap keputusan Qadhi (lembaga ulama yang berkompeten), Hakim atau pemerintah.

Contoh, jika ada ketetapan kompilasi hukum Islam di Indonesia dan sudah menjadi keputusan KUA (Kantor Urusan Agama) bahwa perceraian talak tiga sekaligus hanya dijatuhkan satu, atau perceraiannya yang dilakukan di luar pengadilan dianggap tidak sah, maka masyarakat wajib mentaatinya tidak boleh mengikuti atau mengambil pendapat lain meskipun pendapat itu didukung oleh mayoritas Madzhab Ahlussunnah.

Dari ketiga syarat di atas tersebut adalah sudah menjadi keputusan mayoritas para ulama salaf, ulama khalaf dan para ulama muta-akhirin sekarang. Sebagaimana kaidah Fikih yang disepakati oleh mayoritas para ulama yang mengatakan sebagai berikut:

“أن حكم الحاكم يرفع الخلاف بين العلماء” (ص : 266 , الإجتهاد في الإسلام – أصوله-أحكامه- آفاقه لدكتورة شريف العمري , مؤسسة الرسالة)

“Undang-undang yang telah ditetapkan oleh Hakim (pemerintah) mengangkat (menganulir) berbagai macam pertentangan (perbedaan yang terjadi) dikalangan para ulama” (lihat kitab Alijtihad fi Alislam oleh DR. Syarief Al’umri).

Para mayoritas ulama juga memperkuat larangan Talfiq jika sudah menjadi ketetapan Hakim yaitu undang-undang yang telah ditetapkan oleh Qadhi atau pemerintah, mereka mengatakan sebagai berikut,

” التلفيق الممنوع : الذي يستلزم نقض الحكم الحاكم , لأن حكمه يرفع الخلاف درءا للفوضى (ص : 110 , الفقه الإسلامي وأدلته للأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي)

“Talfiq yang dilarang: Membatalkan ketetapan hukum yang telah diputuskan oleh Hakim, karena keputusan (Hakim) menganulir dari berbagai perbedaan (pendapat para ulama) bertujuan untuk mencegah terjadinya kesemerautan atau kekacauan”. (p, 110, Alfiqhul Islami wa-Adillatuhu oleh Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili).

Tujuan keputusan Hakim wajib diikuti agar keputusan hukum atau undang-undang yang bertujuan untuk kemaslahatan umat dan bangsa tidak menjadi rancu di tengah-tengah masyarakat. Wallahua’lam.

KH. Ovied.R
Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Perbandingan  Madzhab Fikih Majelis Ta’lim Jakarta &  Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di  Malaysia] Hp: 088.885.818.84/ 0813.824.972.35. Email: dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com.  Facebook : Buya Ovied

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille