SEJAK masa Revormasi di Indonesia tahun 1998 masyarakat Indonesia mengalami benturan Idiologi kebangsaan yang akhirnya Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika) digoyang bahkan dianggap berhala, Thagut (setan) lalu nasionalismepun sekarang malah dianggap sebagai jeratan setan yang menakutkan. Mereka menganggap Empat Pilar dan Nasionalis harus dibuang jauh-jauh karena bertentangan dengan Aqidah Islam. Mereka malah ada yang berambisi ingin menggantikan idiologi bangsa Indonesia ini dengan istilah konsep Negara Islam, Khilafah Islamiyah, dlsb.
Sedikit saya menoleh pengalaman saya pada pada dekade era Suharto sekitar bulan Agustus tahun 1996 di Medan semasa saya masih duduk di bangku sekolah Alqismul’ali (setingkat dengan Aliyah/SMA). Ketika itu saya memiliki rencana untuk mendirikan “Partai Islam Demokrasi Indonesia (PIDI)”. Dan saya juga yang menyelesaikan dan mengkonsep AD/ART Partai Islam tersebut. Di dalam AD/ART termaktub pada pasal 2 tentang Aqidah yang berbunyi: “PIDI (Partai Islam Demokrasi Indonesia) beraqidah Islam dengan menjalankan Syari’at sesuai dengan Alqur’an dan Alhadits” dan pada pasal 3 tentang Asas yang berbunyi: ” PIDI (Partai Islam Demokrasi Indonesia) berasaskan dengan asas tunggal yaitu PANCASILA “.
Namun rencana ini gagal karena pada zaman dinasti Suharto (Orde Baru) konsep PIDI (Partai Islam Demokrasi Indonesia) yang akan saya gerakkan seratur persen bertentangan dengan pemerintahan Suharto ketika itu. Jika dipaksakan saya akan diancam dan akan dijebloskan kedalam penjara. Dan akhirnya pada bulan Juli tahun 1997 saya melanjutkan studi ke Cairo Mesir. Ada hikmah yang ingin saya petik dari peristiwa di atas yaitu kenapa saya dalam mengkonsep AD/ART Partai Islam tetap mempertahankan asas Pancasila? Karena saya banyak membaca literatur karia-karia ulama Indonesia dari awal kemerdekaan Indonesia mayoritas mereka menilai bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Buya Hamka didalam kitab Fatwa Tanya jawab hukum Islam, beliau mengatakan bahwa Pancasila dan NKRI tidak bertentangan dengan Aqidah Islam bahkan kandungan Pancasila pada hakikatnya adalah nilai-nilai ajaran Syari’at Islam. Meskipun saya dari kecil hidup dan belajar di lingkungan orang-orang dan para ulama Al Washliyah yang sangat kental dan kritis terhadap asas tunggal.
Para ulama Al Washliyah kritis terhadap asas tunggal karena era Suharto memaksakan asas tunggal hanya kepada rakyat miskin dan jelata untuk menjalankannya. Sedangkan para aparat pemerintah dari tingkat ketua RT sampai Presiden, TNI, Polri, dan seluruh jajarannya terjebak dalam kubangan kotoran kesesatan dan setan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), kebebasan masyarakat terbelenggu, Pers dibungkam, demi menjaga pencitraan. Penguasa berani membantai untuk melenyapkan nyawa orang lain, perdukunan dan santet jadi senjata untuk mencari pangkat kedudukan dan membantai lawan-lawan yang tidak se-ide dengannya. Pelacuran dan perjudian dilokalisasi dimana-mana, hadiah wanita sebagai tumbal sex bisnis pejabat dan konglomerat menjadi budaya. Kesewenag-wenangan pemerintah para era Suharto sudah sampai titik nadir berhala yang kokoh yang sudah tidak dapat dirobohkan oleh siapapun. Tetapi Alhamdulillah hikmah krisis moneter Indonesia pada akhir 1997-1998 adalah sebagai wasilah runtuhnya kediktatoran rezim Suharto, para Jenderal dan kroni-kroninya.
Namun titik balik bagi kita bersama konsep sebaik apapun yang ingin kita jadikan sebagai idiologi bangsa jika demokrasi (Hukmu As-Sya’bi) yaitu ruhnya demokrasi adalah negara menjamin adanya persamaan hak bagi warga negara dalam setatus politik dan persamaan hak dalam setatus sosial, kebebasan (Alhurriyah), dan Toleransi (Tasamuh). Jika nilai-nilai ini tidak ditegakkan dengan seadil-adilnya, ini hanya akan menjadikan ibarat berhala berhala yang terpajang di padang tandus yang gersang. Berapa banyak negara-negara mayoritas Islam yang menjadikan asas negara dengan syari’at Islam tetapi system dan para pemimpin pemerintahannya diktator, tidak menjunjung sikap toleransi dan kebebasan terbelenggu yang akhirnya malah jauh dari hakikat nilai-nilai syari’at agama itu sendiri. Jadi kita tidak perlu lagi bedebat dengan Istilah “DEMOKRASI; DEMOCRACY ; حكم الشعب” apakah istilah kata-kata atau lahjah, dialek ini bersumber dari Islam atau non Islam. Lihat dalam kitab Nahjul Balaghah, Imam Ali Ra (Khalifah Arrasyidin ke-IV, wafat: 40H/661M ) mengatakan :
“الحكمة ضالة المؤمن , فخذ الحكمة ولو من أهل النفاق” (نهج البلاغة , ص: 154 / ج : الثاني)
“Hikmah (wisdom) itu akan menjadikan orang yang beriman memiliki sifat kebijaksanaan (dalam berfikir, bertindak dan melakukan kebijakan), maka ambillah Hikmah itu meskipun datangnya dari orang-orang yang munafik” (Nahjul Balaghah, P: 154-Juz: 2)
Mayoritas ulama-ulama besar dunia Islam sekarang termasuk para ilmuan, pemikir, budayawan, sastrawan, politikus, dll sudah tidak mempermasalahkan istilah “DEMOKRASI”. Ulama dan guru besar Al-Azhar As-Syarif Univesrsity Cairo Mesir Prof.Dr. Abdul Ghifar Hamid mengatakan tentang demokrasi “Alislam Sabaqa Algharab..Fi Mumarasah Ad-Dimuqrathiyah ; Islam jauh lebih dahulu daripada dunia Barat yang memperaktekkan nilai-nilai demokrasi “. Beliau mengatakan demokrasi sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari’at Islam (Shautul Azhar/Koran resmi Al-Azhar Cairo Mesir, Jum’at-11 Sya’ban 1420H/19 Nopember 1999, hal: 8). Dalam tulisan ini saya tidak mau memperdebatkannya terlalu panjang lebar kenapa demokrasi dikatakan tidak bertentangan dengan nilai-nila Agama. Begitu juga sebaliknya saya tidak mau mengkoreksi orang-orang yang menganggap demokrasi itu Thogut (setan, dll), demokrasi=democrazy (wawasan kebangsaan, menuju NKRI bersyari’ah, oleh Habib Rizieq Syihab, Cet: I-2012 Suara Islam Press) atau kelompok-kelompok lain yang menentangnya dengan berbagai caci dan cela. Percayalah sampai kiamat instilah dan perdebatan tentang idiologi sebuah negara tidak akan pernah selesai dan tuntas.
Namun siap atau tidak siap, ridha atau tidak ridha kita wajib menjalankan ke’arifan dan kebijaksanaan sebuah hasil fatwa atau ijtihad sesuai dengan kaidah dan undang undang agama yang telah ratusan tahun yang lalu yang dikembangkan oleh para ulama-ulama kita yaitu bagaimana fungsi dan modus operandi dari Kaidah Fikih dan Ushul Fikih (قواعد الفقه / أصول الفقه) sebagai Istinbat Alahkam (dalil-dalil/pembuktian hukum) yang menjadi sandaran umat Islam dunia dalam mengintepretasikan Alqur’an dan Alhadits yang meliputi aqidah, ibadah dan mu’amalah juga yang meliputi politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum, perundang-undangan, meliter, birokrasi, dlsb. Sumber-sumber Hukum Islam tersebut adalah: (1) Al-Quran, (2) Al-Hadits, (3) Ijmak Ummah, (4) Qiyasy (5) Ijmak Khulafa’ Ar-Rasyidin, (6) Qaul Shahabat, (7) Ijmak Ahlul Madinah / Ijmak Ahlul Kufah,(8) Syar’a Min Qablina (ajaran-ajaran syari’at terdahulu), (9) Istihsan (application of discretion in legal matters), (10) Mashalihul Mursalah, (11) Al-‘Uruf Wal’adah (tradisi dan budaya), (12) Saddu Az-Dzarai’ (mengambil yang lebih pragmatis). (13) Istishhab/ Baraah Al Ashliyah, (14) Al Istiqrak (الطريقة الإستقرائية / The Inductive Method), (15) Al Istidlal. (Lihat, Al Waadhih Fii Ushuul Alfiqhi Lilmubtadi’in, DR. Sulaiman Abdullah Alasyqar).
Jadi jika kita tarik benang merah dari kaidah Fikih dan Ushul Fikih di atas artinya tentang Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika) adalah hasil dari Fatwa (فتوى ; formal/legal opinion), Tarjih (ترجيح ; جعل الشيء يرجح ; making something out weigh; giving preponderance), Ijtihad (إجتهاد ; independent opinion or judgment), dan Taqnin (تقنين ; تدوين القوانين ; Codification) mayoritas ulama-ulama Indonesia sebagai idiologi bangsa yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Jika ini adalah hasil dari Fatwa, Tarjih, Ijtihad, dan Taqnin mayoritas ulama-ulama Indonesia tersebut, maka wajib hukumnya dijalankan oleh negara dan masyarakatnya suka atau tidak suka, ridha ataupun tidak ridha.
Jika ada yang menggugatnya atas dasar apapun maka orang atau kelompok tersebut boleh dianggap sebagai makar (Bughat). Sedangkan orang yang bughat lalu melakukan tindakan kriminal boleh diperangi selama ia belum bertaubat dari tindakan keriminalnya tersebut. Sedangkan makar (Bughat) yang tidak melakukan tindakan-tindakan keriminal dan pelanggaran norma-norma hukum maka tidak boleh diperangi, hanya diberi nasehat, saran lalu diajak dialog dengan hikmah dan Mau’izhah. Allah Swt berfirman,
” وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ .” (الحجرات [49] : 9)
” Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Alhujarat [49] : 9)
Dasar Fatwa, Tarjih, Ijtihad dan Taqnin mayoritas para ulama yang tidak boleh digugat oleh siapapun dan dapat dijadikan sandaran tunggal sebagai patokan hukum untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Landasannya adalah sebagai berikut:
Allah Swt berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {النساء [4] : 59}
” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Annisa’ [4] : 59).
Yang di maksud dalam ayat di atas kalimat “Ulil Amri ; َأُوْلِى اْلأَمْرِ ” menurut Ibnu Abbas, Alhasan, Mujahid dan Ad-Dhahaq adalah para ulama yang mengeluarkan fatwa didalam hukum-hukum syari’at agar orang-orang mengetahui tentang urusan agama mereka. (Attafsir Alkabir/Alijtihad Fil-Islam, Dr.Nadiyah Syarief Al’umri) dan ayat di atas juga sesuai dengan firman Allah Swt di bawah ini,
“….. وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.” {النساء [4] : 83}
“…. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). ” (QS. An-Nisa’ [4] : 83)
Ayat-ayat di atas juga memberi isyarat bahwa fatwa para ulama tersebut tidak menekankan kepada hasil dari fatwa personal seorang ulama saja. Disini dituntut dan ditekankan adalah hasil fatwa para ulama secara jama’I (kolektiv) yaitu berbentuk lembaga yang berkompeten atau lembaga fatwa ulama yag resmi karena berhubungan untuk kemaslahatan umat dan bangsanya. Berbeda jika berhubungan dengan masalah – masalah ibadah furu’iyah maka fatwa secara individu (personal) seorang ulama dibenarkan diikuti oleh siapapun. Sebagaimana Imam Alamadi menyebutkan sebagai berikut:
” وقال الآمدي : العَامِّيُّ ومن ليس له أهلية الإجتهاد , وإن كان محصلا لبعض العلوم المعتبرة في الإجتهاد , يلزمه إتباع قول المجتهدين والأخذ بفتواه ” (الأحكام الآمادي / ص : 183 , مجلة الحقوق العدد الثالث السنة الثالثة و العشرون جمادى الآخرة 1420هـ/ سبتمبر 1999 , جامعة الكويت الدكتور سعد العنزي- كلية الشريعة و الدراسات الإسلامية)
“Berkata Alamadi (Saifuddin Alamadi, wafat: 631H/1233M): orang yang lebih berhak dalam memutuskan untuk berijtihad dan jika tercapai sebagian pengetahuan yang dianggap lebih kuat untuk dijadikan ijtihad, diwajibkan untuk mengikuti pendapat para ahli Ijtihad dan mengambil hasil dari fatwanya”
“وهذا معنى قول إبن القيم : و القاضي يقضي قضاء معينا على شخش معين , فقضاؤه خاص ملزم , وفتوى العالم عامة غير ملزمة ” (أعلام الموقعين / ص : 183 , مجلة الحقوق العدد الثالث السنة الثالثة و العشرون جمادى الآخرة 1420هـ/ سبتمبر 1999 , جامعة الكويت الدكتور سعد العنزي- كلية الشريعة و الدراسات الإسلامية )
“Ibnu Alqayyim (wafat: 751H/1350M) mengatakan: Seorang Qadhi (Hakim) jika memutuskan sebuah perkara tertentu kepada orang tertentu, maka keputusannya adalah terikat untuk ditaati, sedangkan fatwanya seorang ahli ilmu (ulama) yang bersifat personal maka hasil fatwanya tidak mesti ditaati”.
Dari keterangan para ulama diatas menyimpulkan bahwa setiap hasil dari keputusan mayoritas ulama atau lembaga resmi yang lebih berkompeten untuk mengeluarkan Fatwa, Tarjih, Ijtihad dan Taqnin maka wajib hukumnya bagi seseorang atau masyarakat tersebut untuk mengikuti atau mentaatinya. Berbeda dengan orang alim (ulama) yang mengeluarkan fatwa secara personal maka keputusannya tidak dapat dijadikan sebuah keputusan yang final atau tidak mutlah harus diikuti.
Nasionalis
Nasionalisme didefinisikan sebagai kesadaran keanggotaan dalam suatu kesadaran bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan serta mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan suatu bangsa, yakni semangat kebangsaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 648)
Menurut Wikipedia, nasionalisme adalah suatu paham untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama. Identitas tersebut dapat berupa kesamaan darah atau keturunan, suku bangsa, daerah tempat tinggal, bahasa, kebudayaan dan sejenisnya.
Alasan orang-orang dan kelompok-kelompok yang menolak dan menentang nasionalisme sebagaimana yang pernah dilansir oleh Majalah Hizbut Tahrir Indonesia/Alwa’ie No.152 Tahun XIII, 1-30 April 2013 sebagai berikut :
– Sejarah nasionalisme bermula dari benua Eropha sekitar abad pertengahan. Gerakan Revormasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman disenyalir sebagai pemicu gerakan kebangsaan tersebut dalam pengertian nation-state di Eropa.
– Nasionalisme melemahkan dan terjebak dalam kefanatikan (‘ashabiyah) umat.
– Memecah-belah kesatuan dan persatuan umat Islam.
– Menghambat atau setidaknya memperlambat lalu-lintas barang dan manusia.
– Melahirkan Negara-negara yang hanya mengedepankan kepentingan sendiri. Altruisme universal terkikis oleh nasionalisme
– Nasionalisme bertentangan sifat dan karakter agama Islam.
– Dlsb
Alasan orang atau kelompok yang menentang nasionalisme sama sekali tidak mendasar, malah terkesan ingin memaksakan dalil-dalil syari’at dijadikan sebagai hujjah untuk menentang nasionalisme adalah thagut (setan). Nasionalisme (القومية ; Alqaumiyah) dalam Islam sama sekali tidak bertentangan selagi nasionalisme itu tidak dijadikan sebagai idiologi fanatik buta atau melanggar hak asasi manusia. Karena nasionalisme pada dasarnya bertujuan untuk melindungi memelihara dan menjunjung tinggi kemuliaan akan kebudayaannya serta mewujudkan dan mengembangkan nilai-nilai kemaslahatannya yang bermanfaat untuk bangsanya maupun bangsa yang lainnya agar dapat saling mengenal dan menjunjung tinggi hak asasi manusia di dunia. Sebagaimana Alqur’an menyebutkan,
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا.إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ {الخجرات [49] : 13}
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Alhujarat [49] : 13).
Ayat di atas menunjukkan Allah Swt menjadikan fitrah manusia itu berbeda-beda baik bahasa, budaya, suku, warna kulit, tempat, teritorial, dlsb. Ayat di atas juga diperkuat oleh Hadis Rasulullah Saw yang menyebutkan sebagai berikut,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلىَ عَصَبِيَّةٍ , وَلَيْسَ مِنَّا من قتل على عصبية , وليس منا من مات على عصبية (حديث حسن رواه أبو داود عن جبير إبن مطعم)
“Bukan dari golongan umatku orang yang mengajak dalam kefanatikan, dan bukan dari golongan umatku orang yang membunuh karena kefanatikan, dan bukan dari golongan umatku orang yang mati dalam keadaan kefanatikan.” (HR. Abu Dawud)
Hadis di atas yang intinya bermaksud bahwa umat manusia diciptakan berbeda-beda namun diharamkan menjadikan perbedaan (nasionalisme) itu menjadi fanatik buta yang menyebabkan umat menjadi terpecah belah saling menzalimi satu sama lain atau merasa kelompok, dan golongannya lebih baik dari kelompok orang lain yang berbeda. Jadi nasionalisme adalah sebagai thariqah bagi umat manapun di dunia ini untuk saling berlomba-lomba mencapai kebaikan, kecemerlangan dan kemaslahatan baik dalam perkara dunia ataupun dalam perkara akhiratnya. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Alqur’an,
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُُ {البقرة [2] : 148}
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (qs. Albaqarah [2] : 148)
Kesimpulan
Teori, budaya atau idiologi apapun dan sumbernya dari mana saja yang ada didunia ini, selagi membawa kemaslahatan, tidak bertentangan dengan syari’at dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, maka Islam sangat menjunjung tinggi kepada umatnya untuk mengambil dan mengamalkannya. Sebagaimana perkataan Imam Ali r.a,
الحكمة ضالة المؤمن , فخذ الحكمة ولو من أهل النفاق (ص : 154 / ج : الثاني , نهج البلاغة للإمام علي )
“Hikmah (nilai-nilai falsafi kehidupan) akan membawa orang-orang yang beriman untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang bijaksana, maka ambillah Hikmah itu walaupun datangnya dari orang-orang munafik.” (Kitab Nahjul Balaghah oleh Imam Ali)
Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika), demokrasi dan nasionalis sudah menjadi hasil keputusan resmi mayoritas para ulama-ulama Indonesia dari sebelum kemerdekaan sampai sekarang yang intinya bahwa Fatwa, Tarjih, Ijtihad dan Taqnin mayoritas para ulama ini tidak boleh digugat oleh siapapun dan kelompok apapun dan keputusan ini sudah menjadi sandaran tunggal sebagai patokan hukum untuk kemaslahatan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang sudah menjadi harga mati. Wallahua’lam
KH Ovied
Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia] Hp: 021.406.208.33/ 088.885.818.84. Email: dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com Facebook : Buya Ovied
miras, riba, & pelacuran di indonesia dibolehkan ( DIHALALKAN ) bukankah karena demokrasi pancasila ? sedangkan Dlm Al – Qur’an & hadits sampai kiamatpun hal tsb tetap haram, tapi tidak dalam sebuah negeri bebek bernama nkri yang haram tadi masih bisa dirundingkan/dihalalkan dengan cara HARUS MENGANTONGI IJIN DARI PEMERINTAH dan pemerintahpun bilang berikan aja ijin toh TIDAK MELANGGAR PANCASILA MESKI HAL ITU MELANGGAR QUR’AN DAN HADITS…klo sudah begitu apa masih bisa dikatakan belum bertentangan dgn nilai2 ISLAM ? , maaf klo SESAT jgn ngajak2 orang silahkan kalian mati dgn pancasila kalian tapi hatiku akan tetap setia pada islam bukan pancasila apalagi nasionalisme. ISLAM HARGA MATI !!!