JAKARTA – Kebijakan pemerintah meluncurkan mobil low cost green car (mobil murah ramah lingkungan) bertentangan dengan keinginan mewujudkan mobil nasional. Itu kebijakan yang hanya mengukuhkan dominasi otomatif asing, karena LCGC tak lebih dari transaksional.
“Kebijakan LCGC ini kan lu cuek gue cuek, lu cair gue cair, satu tawaran kepada industri otomatif asing. Visinya sangat dangkal, tidak untuk kebanggaan memiliki industri mobil nasional,” kata anggota Komisi VI DPR Prof Hendrawan Supratikno, di DPR, Kamis (26/9/2013).
Menurut dia, hanya mencari gampangnya saja, bukan untuk kepentingan rakyat yang membutuhkan. LCGC yang dikeluarkan juga tidak punya keinginan membuat kita punya lompatan tinggi.
Kalau pun ada mobil berbau Indonesia, itu hanya nama belakangnya saja. Seperti Toyota Kijang, Isuzu Panther, Mitsubishi Kuda.
“Yang Indonesia hanya nama belakangnya, kijang, panther dan kuda. Ini membuktikan, kita masih dalam taraf binatang, terbelakang,” katanya.
Pengamat transportasi Darmaningtyas menyatakan, dirinya merasa ditipu oleh kebijakan pemerintah lewat LCGC ini. Menurut dia, dulu ikut mendukung kenaikan harga BBM, tapi kali ini ada kebijakan yang bertentangan dengan keinginan untuk hemat BBM.
“Mobil murah, nanti kan banyak yang beli, artinya komsumsi BBM jadi membengkak. Jadi, kita ini ditipu oleh kebijakan pemerintah itu,” katanya.
Kalau memang mobil murah, tidak seharusnya untuk kendaraan perkotaan berkarakter mewah dan dalam kenyataan hanya bisa dibeli orang kaya. Mobil murah yang cocok, ya seharusnya untuk rakyat di pedesaan untuk angkutan hasil bumi dan yang mendukung perekonomian di daerah-daerah.
“Ini kan tidak, mobil murah hanya untuk mencari pangsa pasar potensial, dan tidak tepat sasaran. Harusnya mobil yang bisa angkutan rakyat pedesaan,” ujarnya.
PEMERINTAH PREDATIOR
Pengamat kebijakan publik dari UI Andrinof Chaniago menyatakan, adanya LCGC tidak layak diluncurkan sebagai kebijakan, sebab banyak lemahnya. Yang namanya kebijakan kalau banyak kelemahannya, itu tidak layak. Harus dicabut, atau kita tolak.
Ia menyebut, kebijakan ini menunjukkan pemerintah tampil sebagai predator (pemangsa) kepada rakyatnya.
“Pemerintah kan membuat jalan macet, kalau macet mereka mengundang investor untuk bikin jalan tol. Rakyat jadi konsumennya. Ini menjunjukkan pemerintah menjadi predator, pemangsa rakyat, karena pemerintah tidak megnhilangkan kemacetan,” katanya. (gardo)