JAKARTA -Korupsi di Kabupaten Wakotobi dengan kekayaan laut dan pariwisatanya sudah terjadi secara sistemik dan berlangsung bertahun-tahun sejak kepeimpinan Bupati Ir. Hugua. Bahkan untuk menjamu 21 orang bule dalam acara ‘Sail Komodo’ beberapa waktu lalu anggarannya mencapai Rp 15 miliar, kontrak artis Nadine Candrawinata setiap tahunnya Rp 5 miliar, APBD, dan miliaran uang hibah dari pusat dan lain-lain. Karena itu aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK harus segera bertindak.
“Pembangunan transportasi utara Sulawesi Tenggara tanpa persetujuan DPRD senilai puluhan miliar, monopoli jasa travel, dan lain-lain. Anehnya selama 7 tahun ini penyimpangan itu diselesaikan di bawah tangan antara Bupati, kepolisian, pengadilan, dan pemerintah daerah malah menjadi ATM,” tegas aktivis anti korupsi Wakatobi Muhammad Daulat dalam diskusi ‘Mencegah korupsi di daerah’ bersama anggota DPD RI Intsiyawati Ayus, dan Dikretur LPI (Lembaga Pemilih Indonesia) Boni Hargens di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (25/9/2013).
Berdasarkan data dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), Daulat sudah melaporkan penyimpangan bupati Hugua tersebut ke KPK dan Mabes Polri, tapi belum ada tindak lanjutnya. Trageisnya lagi katanya, anggota DPD RI asal Sultra termasuk Wakil Ketua DPD RI Laode Ida semuanya tak bisa diandalkan, dan tak berguna bagi daerah pemilihannya. “Padahal banyak penyimpangan, kapal senilai Rp 7 miliar yang tenggelam hanya berumur 5 hari, dan ada pulau yang dikontrakkan selama 25 tahun dan tak boleh dikunjungi penduduk lokal,” tambahnya.
Intsiyawati mengakui jika tingkat korupsi kepala daerah itu parah, kronis, sistemik, dan luar bisa. Karena itu penangannya harus secara luar biasa. Khusus di provinsi Riau misalnya, banyak izin tambang semua izinya ada di Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.
Hal itu dipertegas oleh Boni, menurutnya dari proyek politik dan ekonomi secara bersamaan di daerah memang dikusasi segelintir orang, yang terdiri dari elit partai politik, birokrat-penguasa, pengusaha, elit kultural, dan preman. “Mereka inilah yang disebut ‘bossime’ atau oligarki, yang mengendalikan politik dan ekonomi secara bersamaan, dan itu sebagai musuh demokrasi lokal,” ujarnya.
Karena itu, DPD RI harus menjadi instrumen untuk kepentingan politik daerah dan pusat. “DPD harus proaktif, dan progressif memperjuangkan pemberantasan korupsi. Jangan tak percaya diri di depan DPR dan masyarakat. Apalagi selama ini DPD memang tak pernah hadir untuk daerahnya sendiri,” pungkas Boni. (am/gardo)