MEDAN – Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang kredibel dan reliabel menjadi fokus pada konvensi UN yang akan dilaksanakan pada 26 September nanti di Jakarta. Sebelum pelaksanaan konvensi, dilakukan kegiatan prakonvensi di tiga kota, yaitu Denpasar, Makassar, dan Medan. Kejujuran dalam pelaksanaan UN menjadi catatan khusus prakonvensi UN di Medan, Sumatera Utara.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerin Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikdas Kemdikbud) Hamid Muhammad menyampaikan, Kemdikbud dalam hal ini Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) setiap tahun selalu melakukan analisis terhadap tingkat reliabilitas jawaban peserta UN. Analisis ini, kata dia, dipetakan berdasarkan provinsi, kabupaten/kota, sampai sekolah. “Sekolah yang reliabilitas tinggi dikategorikan sekolah putih, artinya tingkat kejujurannya tinggi,” katanya pada kegiatan prakonvensi UN di Grand Swiss-bel Hotel, Medan, Sumatera Utara, Minggu (22/09/2013).
Kegiatan prakonvensi dipandu oleh Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemdikbud Bambang Indriyanto. Kegiatan diikuti para pemangku pendidikan regional Medan diantaranya dari unsuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), perwakilan dinas pendidikan, rektor universitas, pengamat pendidikan, dan guru.
Hamid melanjutkan, sekolah yang reliabilitasnya kurang dikategorikan sekolah abu-abu. “Sekolah yang pola jawabannya sama termasuk (kategori) sekolah hitam,” katanya.
Hal tersebut disampaikan Hamid menanggapi kekhawatiran terhadap kejujuran pelaksanaan UN yang diungkapkan oleh para peserta prakonvensi dari perguruan tinggi “Kalau pt khawatir betul, dengan masalah tadi, saran saya (analisis ini) jadi bahan pertimbangan,” katanya.
Hamid mengatakan, nilai UN jenjang pendidikan menengah saat ini telah dijadikan sebagai alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Hal ini, kata dia, seharusnya dijadikan patokan untuk memperbaiki menejemen pelaksanaan UN.
Rektor Universitas Jambi, Aulia Tasman, mengungkapkan, pihaknya melihat indikasi ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN SMA. Dia mengatakan, banyak sekolah yang berlokasi di pelosok, tetapi nilai UN-nya hampir 100 persen. “Mustahil itu dilaksanakan kalau seandainya tidak ada kecurangan,” katanya.
Kecurangan itu, lanjut Aulia, terjadi setelah ujian selesai saat pengiriman nilai ke pusat. Nilai itu, kata dia, kemudian diubah, sehingga bukan nilai murni. “Akhirnya nilai yang dikirim adalah nilai yang sudah diperbaiki, yang terlepas dari pengawasan dari perguruan tinggi,” katanya.
Aulia mengusulkan sejumlah upaya untuk memperbaiki pelaksanaan UN, yang dilandasi dengan semangat kejujuran. Pertama, terkait menejemen sekolah dalam hal ini apakah pemerintah kabupaten kota betul-betul melakukan intervensi atau tidak. Kedua, meningkatkan kapasitas guru dengan pelatihan. Ketiga perlakuan khusus menjelang UN supaya anak tidak stres. “Dua bulan jelang UN, ada training, diuji terus, diperbaiki terus, sehingga prosesnya akan menjadi benar, mengarah benar. Hasilnya nanti pasti kita harapkan baik. Akhirnya UN tidak lagi menjadi hal yang menakutkan,” katanya.
Pembantu Rektor Universitas Syiah Kuala Bidang Kemahasiswaan, Rusli Yusuf, mengatakan, terlepas dari adanya kelemahan pelaksanaan UN, sebagai standar maka UN tetap dilaksanakan. Dia berpendapat, terkait standar ini perlu proses dan kajian terhadap komposisi UN. Kelulusan UN, kata dia, dapat dikaitkan dengan konteks akreditasi. “Misalnya, sekolah akreditasi B nilai minimal kelulusannya 4,5, sehingga menjadi fair. Sekolah yang fasilitasnya kurang dibenahi,” katanya. (gardo)