JAKARTA – Hilangnya artefak di museum nasional mencerminkan rendahnya rasa nasionalisme, patriotisme, dan komitmen kita untuk menghargai dan melindungi peninggalan sejarah dan peradaban bangsa Indonesia sendiri. Pimpinan negara ini seolah tak lagi menghargai peradaban sebagai identitas bangsa. Karena itu, Presiden RI selaku penyelenggara negara ikut bertanggung jawab terhadap hilangnya benda cagar budaya peninggalan perjuangan sejarah bangsa tersebut.
“Hilangnya benda bersejarah sebagai peninggalan perjuangan bangsa itu mencerminkan lemahnya rasa nasionalisme, patriotisme, dan paradigma yang salah selama ini dalam menghargai sebuah peradaban.Padahal, pengamanan benda bersejarah itu tak selalu terkait anggaran. Sebab dulu sebelum reformasi dengan anggaran yang pasa-pasan, tapi kesadarannya tinggi, ya aman-aman saja,” tegas anggota DPD RI Ahmad Jajuli dalam diskusi “Pencurian Artefak” di bersama kriminolog UI Bambang Widodo Umar, dan dari forum penyelamatan aset dan harta negara Didied Mahaswara di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (20/9/2013).
Karena itu lanjut Jajuli, saat ini merupakan momentum tepat membangun kesadaran bersama untuk menghargai peninggalan sejarah budaya bangsa, sebagai identitas sebuah negara bangsa. Demikian pula, pemerintah bersama aparat keamanan dan penegak hukum harus secara serius mengusut tuntas hilangnya artefak tersebut, dengan menegakkan hukum bagi siapapun yang terbukti mencuri. “Sekali lagi, ini soal paradigma, nasionalisme dan jiwa patriotisme untuk menghargai sejarah budaya bangsa,” tambahnya.
Bambang Widodo Umar berpendapat sama jika presiden ikut bertanggung jawab sebagai kepala negara. “Kalau pengelolaannya oleh Kemendikbud, maka Mendikbud bertanggung jawab. Alat kemanan di negara ini banyak; dari Satpam, Kepolisian, dan TNI. Masalahnya bekerja sendiri-sendiri, tak terintegrasi secara sistemik. Ditambah lagi pendidikan kita berorientasi pada rasio, akal, intelektual, dan mengabaikan akal budi dan sudah tak lagi menghargai kearifan lokal, maka bangsa ini pun tak lagi menghargai sejarah perjuangan bangsa sendiri,” ujarnya.
Untuk itu pula menurut Widodo Umar, benda sejarah tersebut tidak dikategorikan sebagai obyek vital. Beda halnya dengan PT. Freeport, di mana setiap ada masalah selalu menjadi perhatian serius pemerintah, dan bahkan sampai terjadi penembakan dan menimbulkan korban jiwa. “Maka tata kelola pengamanan benda bersejarah itu harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk mensinergika Satpam, Kepolisian maupun TNI,” sarannya.
Selain itu kata Didied, perlunya revisi UU perlindungan benda cagar budaya, karena dalam UU yang ada belum diatur jelas dari soal pengamanan, kepemilikan, dan benda-benda yang dinilai sebagai peninggalan sejarah budaya bangsa tersebut. “Ada pasal yang menjelaskan benda itu dianggap sebagai cagar budaya kalau sudah berusia lebih dari 50 tahun, dan anehnya perorangan bisa memiliki benda bersejarah dimaksud. Jadi, saat ini perlu revisi UU tersebut berikut anggaran pengamana yang diperlukan,” ungkapnya. (am/gardo)
Teks: Diskusi “Pencurian Artefak” di bersama kriminolog UI Bambang Widodo Umar, dan dari forum penyelamatan aset dan harta negara Didied Mahaswara di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (20/9/2013).