JAKARTA – Budayawan Betawi Ridwan Saidi meminta AM Fatwa yang menggagas usulan Jl. Soeharto menggantikan Jl. Medan Merdeka Barat sebaiknya menyerah kalau terbukti ditolak masyarakat. Tidak usah ngotot menyatakan sebagai politisi, mengingat Jl. Medan Merdeka Barat dan semua jalan-jalan di Ibu Kota Negara ini memiliki peradaban sejarah, yang tak mudah dirubah-rubah. Selain itu jalan-jalan di Jakarta ini memiliki spiritualitas yang tinggi, sehingga jangan main-main.
“Jalan-jalan di Jakarta ini memiliki sejarah peradaban dan spiritualititas yang tinggi. Jadi, jangan mentang-mentang sebagai politisi lalu menyatakan akan berjalan terus. Kalau terbukti idenya ditolak keras masyarakat, ya menyerahlah. Itu soportif namanya. Jangan ngotot mau jalan terus,” tandas Ridwan Saidi dalam diskusi jalan di Jakarta bersama sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dan AM Fatwa di Gedung DPD/DPR RI Jakarta, Rabu (11/10/2013).
Oleh sebab itu lanjut Ridwan, sebaiknya AM Fatwa rendah hati bahwa Betawi berikut jalan-jalannya memiliki sejarah peradaban panjang dan spritualitas sendiri. “Ini masalah peradaban, bukan politik. Tapi, kalau kuat silakan iseng-iseng melawan Jl. Medan Merdeka Barat. Jadi, jangan sampai masalah perubahan jalan itu dibawa presiden, cukup gubernur. Seolah-olah itu sebagai perjuangan politik. Tidak benar itu,” katanya. Sebelumnya AM Fatwa dan Tim 17 yang dibentuk secara informal mengusulkan perubahan Jalan di Jakarta. Diantaranya ada Jl. Soekarno, Jl. Hatta, Jl. Soeharto, dan Jl. Ali Sadikin.
Menurut Asvi Warman Adam untuk Jl. Soekarno dan Jl. Hatta memang tidak masalah, tapi begitu masuk Jl. Soeharto, mayoritas masyarakat menolak. “Khusus untuk Jl. Soeharto ini mengundang kontroversi. Maka AM fatwa harus bisa membedakan antara rehabilitasi dengan rekonsiliasi. AM Fatwa mungkin sudah rekonsiliasi dengan Soeharto, tapi Pertisi 50 belum. Karena itu Jl. Soeharto itu harus ditunda, belum waktunya,” ujarnya.
Diakui Asvi Warman Adam, jika munculnya rekonsiliasi tersebut semula dari langkah mantan Ketua MPR RI alm. Taufik Kiemas yang akan rehabilitasi TAP MPR RI 1967 bagaimana menyelesaikan persoalan. Sejauh itu katanya, Jl. Soekarno memang belum ada, meski Jl. Revolusi sudah banyak. “Bahkan ada Jl. Tuparev (tujuh pahlawan revolusi). Jadi, saya mendukung rekonsiliasi, namun berbeda dengan rehabilitasi. Untuk itu, Jl. Soeharto itu harus ditunda sampai rakyat menerima,” tegasnya. (am/gardo)