JAKARTA – Revisi UU Migas yang masih dibahas oleh Komisi VII DPR RI akan membuat lembaga dengan menejemen operasional baru berdasarkan UU menggantikan PT. Pertamina, maupun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sehingga baik eksplorasi, distribusi, penjualan dan pembelian minyak dan gas (Migas) pada tahun 2014 mendatang, langsung ditangani oleh lembaga baru tersebut. Dengan lembaga baru itu, maka tata kelola Migas tak akan dipengaruhi oleh kepentingan politik, dan presiden terpilih yang berkuasa. Karena itu DPR RI meminta respon masyarakat untuk tata kelola Migas negara ke depan harus melibatkan DPR RI.
“Pengelola Migas melalui revisi UU Migas ini bukan lagi SKK Migas, PT Pertamina dan lainnya. Lembaga baru ini berdasarkan UU. Tapi, bentuknya bagaimana, DPR menunggu respon masyarakat, agar pengelolaan Migas lebih baik untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” tandas anggota Komisi VII FPG DPR RI Bobby Adityo Rizaldi dalam diskusi Revisi UU Migas bersama pengamat Migas Kurtubi, dan pakar tata negara Irman Putrasidin Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (10/9/2013).
Lembaga baru pengelola Migas tersebut akan mulai berlaku pada 2014. Karena itu, DPR RI akan bekerja keras untuk menuntaskan revisi UU Migas tersebut masa sidang sekarang ini sampai akhir Desember 2014. Dengan demikian, maka lembaga baru tersebut tak akan dipengaruhi oleh pergantian kepemimpinan nasional, dan tak akan dijadikan kepentingan politik oleh partai politik tertentu yang berkuas, karena harus berhadapan dengan UU. “Dengan lembaga baru pengelola Migas ini dalam kontrak-kontrak Migas yang baru harus melibatkan DPR RI,” tegas Bobby.
Kurtubi menegaskan jika pengelolaan Migas selama ini merugikan negara dan sebaliknya menguntungkan asing. “Soal harga yang diserahkan ke pasar dunia saja sudah melanggar putusan MK (Mahkamah Konstitusi) karena UU Migas yang mengatur itu sudah dicabut. Karena itu kalau Menteri Keuangan terbitkan PMK (Peraturan Menteri Keuangan), itu melanggar UU Migas. Kalau itu diteruskan, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa diimpeachment, karena membiarkan menterinya melanggar UU,” ungkapnya.
Selama ini lanjut Kurtubi, perusahaan asing yang mengeksplorasi Migas sebelum membagi hasil dengan negara, mereka sudah menggunkan ke perusahaan lain sperti British Petroleum (BP) dll. Padahal, yang berhak mengagunkan kekayaan bumi ini adalah rakyat, dan negara berdasarkan pasal 12 (3) UU Migas karena 100 persen Migas itu milik rakyat. “Ini semua karena semuanya mau dibawa ke liberalisasi Migas nasional diserahkan ke mekanisme pasar, lalu kuasa pertambangannya diserahkan ke pelaku usaha asing. Anehnya, putusan MK masih dilanggar oleh BP Migas, ini kan pelanggaran konstitusi,” pungkasnya.
Dengan begitu maka menurut Irman Putrasidin, Presiden SBY bisa dimintai pertanggungjawaban atas BP Migas tersebut. Karena itu dia mengusulkan dengan lembaga baru pengelola Migas nanti, seharusnya harga BBM juga harus ditetapkan dengan UU, agar pemerintah tak seenaknya menaikkan harga BBM. “BP Migas selama ini menjadi alat pemerintah untuk melakukan kontrak karya dengan pihak asing, yang justru merugikan negara,” katanya kecewa. (am/gardo)