JAKARTA – Gosekan konflik dalam Pemilihan Umum 2014 akan bisa memanas. Untuk itu, Daftar Pemilih Tetap (DPT) akan menjadi salah satu isupenting pada pemilu 2014 mendatang. Itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memastikan DPT itu valid.
Demikian disampaikan peneliti dari Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi dalam Diskusi Politik Pemilu 2014 yang digelar Komunitas Jurnalis Peduli Pemilu (KJPP) bertajuk “Membedah Antisipasi Konflik Antar Parpol Pemilu 2014”, di Jakarta, Jumat (26/7/2013).
“Dari survei sekarang, semua parpol dan calon presiden tidak ada yang menonjol. Ketika semua parpol punya kesempatan dan ruang kompetisi yang sama, maka kompeitisi akan semakin panas. Gesekan politik makin kuat,” kata Veri.
Dia berpendapat, pemilu 2014 momentum pergantian rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “SBY jelas tidak bisa menjabat untuk ketiga kalinya, sudah harus berhenti. Itu satu hal yang bisa menyebabkan pemilu lebih menarik. Ruang kompetisi jadi sempit,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, politikus PDI Perjuangan Sudiyatmiko Aribowo mengatakan, pertarungan di internal parpol lebih berbahaya ketimbang beda partai. “Masing-masing calon anggota legislatif satu partai justru bisa picu konflik,” katanya.Untuk itu kata dia, parpol harus solid menyatukan kader yang diusung sebagai caleg.
Menurutnya, ketidakakuratan DPS hanyalah konflik antar parpol dan penyelenggara. Proses penyelesaiannya pun mudah karena ada lembaga-lembaga yang berwenang.”Konflik jelang kampanye bisa diketahuilah. Sekarang ini sudah banyak mekanisme penyelesaian. Kalau kecurangan suara bisa ke Bawaslu. Sedangkan perselihan hasil pemilu, ke Mahkamah Konstitusi,” kata Veri.
Direktur Eksekutif Institute Titian Perdamaian (ITP), Mohamad Miqdad menilai pada Pemilu 2014 mendatang, konflik yang timbul akan lebih tinggi ketimbang pemilu sebelumnya.
Menurut Miqdad hal tersebut terjadi karena struktur dasar dari konflik-konflik di masa lalu belum terselesaikan. Ditambah pula dengan hadirnya orang-orang kuat lokal yang memolitisasi kelompok-kelompok rentan dan marginal.
“Banyak konflik yang tidak ada penyelesaianya. Misalnya soal tata kuasa dan tata kelola agraria, masalah pendidikan, ketimpangan, dan lain-lain. Nah politik itu menjadi momentum untuk perseteruan segala hal,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, dengan kondisi semacam ini, kemungkinan besar konflik akan terulang di masa depan. Konflik menjadi mungkin terjadi, ketika penyelenggaraan Pemilu itu tidak dikelola dengan baik.
“Saya membayangkan dengan demokrasi sekarang ini yang prosedural dan simbolis, masih mungkin sekali konflik pemilu itu besar di pemilu akan datang,” katanya. (gardo)