BerandaKabar WashliyahPP No. 99 Tahun 2012 Dinilai Peraturan Yang Kurang Tepat

PP No. 99 Tahun 2012 Dinilai Peraturan Yang Kurang Tepat

JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI FPPP Ahmad Yani mendesak Wakil Kementerian Hukum dan HAM Denny Indrayana kembali sebagai aktifis LSM daripada menjadi Wamen, karena sejak menjadi Wamen justru menjadi masalah dengan penerbitan PP No.99 tahun 2012 tentang pemberian remisi. Di mana seorang nara pidana (Napi) akan sulit bahkan tak akan mendapat remisi. Denny masih berpikiran ‘penjara’ bagi Napi dan bukannya sebagai lembaga binaan. Secara tidak langsung Denny telah menjerumuskan Presiden SBY.

“Selama ini kehadiran Denny sebagai Wamen justru menambah masalah dan tak pernah menyelesaikan masalah. Dia ini masih berpikiran bahwa Napi itu harus dipenjara, dan bukannya dibina. Karena itu sebaiknya Presiden SBY mengembalikan Denny ke habitatnya di LSM, dan bukannya sebagai Wamen,” tandas Ahmad Yani dalam diskusi ‘Kerusuhan Lapas Tanjung Gusta, Siapa Bertanggungjawab?” bersama mantan Menkum dan HAM Patrialias Akbar dan Anton Medan di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (18/7/2013).

Yani menilai PP No.99/2012 ini sangat memprihatinkan karena bertentangan dengan UU dan aturan lain yang mengatur soal Napi, dan Lapas karena mereduksi-menabrak aturan di atasnya. Untuk itu harus dirubah atau dicabut, dan kalau tidak maka pemerintah harus mengembalikan Lapas seperti penjara di masa kolonial, di mana tak ada binaan bagi Napi, juga tak ada remisi, tak ada asimilasi, tak ada cuti bersyarat, tak ada bebas bersyarat, tak ada cuti menjelang bebas dan sebagainya.

Lebih memprihatinkan lagi lanjut Yani, Presiden SBY tak tahu masalahnya ketika menandatangani PP No.99 tersebut, sementara kasus kaburnya Napi di Lapas Tanjung Gusta itu diantaranya akibat PP ini. “Jadi, Denny senagaja atau tidak, justru akan menjerumuskan Presiden SBY dengan memberi racun-racun yang menabrak UU dan menyesatkan pemerintah. Langkah itu kan sama dengan mempermalukan Presiden SBY sendiri,” tambahnya.

Selain itu diakui Yani, jika terjadi over kapasitas di hampir seluruh Lapas di Indonesia. “Tidak seimbang antara Napi yang masuk dan yang keluar. Untuk itu maka dibutuhkan dana yang cukup untuk memperbaiki dan membangun Lapas agar memadai dan layak bagi Napi. Ditambah lagi dengan petugas Lapas yang tidak berkualitas dan gaji kecil, maka akan makin berantakan di kemudian hari,” tuturnya.

Mantan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkum dan HAM) Patrialis Akbar menilai apa yang terjadi dengan kaburnya Napi di Lapas Tanjung Gusta, Medan akibat para napi sudah putus asa dengan kondisi Lapas yang tidak memadai dan tidak layak. Ditambah lagi mereka juga putus asa dengan PP No.99 tahun 2012 karena tak akan mendapat remisi baik menjelang hari raya Idul Fitri 1434 H maupun pada 17 Agustus 2013 mendatang, sehingga mereka memilih kabur.

“Mereka kabur karena putus asa tak akan dapat remisi dan akibat kondisi Lapas yak over kapasitas, dan tak layak. Padahal, Napi itu sama dengan kita semua yang harus diperlakukan secara manusiawi. Tak ada diskriminasi. Apalagi air, makan, WC, kamar tidur, listrik dan sebagainya bermasalah dan tak layak,” tegas Patrialis.

Untuk itu mantan politisi PAN ini berharap Komisi III DPR RI komunikasi dengan Menkum dan HAM Amir Syamsuddin untuk merevisi PP No.99 tahun 2012 tersebut, disamping tak punya aturan peralihan kapan berlakunya tidak jelas, dan apalagi berlaku surut. “Ini mengerikan bagi Napi terutama menjelang Idul Fitri dan 17 Agustus 2013 ini. Juga pentingnya perbaikan-perbaikan Lapas agar layak dan memadai bagi Napi itu sendiri,” ujarnya.

Menurut Patrialis semua Napi itu berhak mendapat remisi, pengurangan pidana, pengurangan hukuman, asimilasi, cuti, dan bebas. Dalam kasus Napi Narkoba misalnya, kalau tak terlibat jaringan pengedar internasional atau justice collaborator, maka semuanya berhak mendapat remisi. “Yang tak dapat remisi itu kalau terlibat justice collaborator. Seharusnya menteri yang datang itu ke Lapas itu mnyelesaikan masalah dan membina Napi, dan bukan marah-marah,” tambahnya.

Faktanya lanjut Patrialis, hanya akibat administrasi yang buruk, Napi yang seharusnya keluar dalam satu, dua, dan tiga bulan ke depan ternyata tertunda. Selain itu katanya, anggaran perbaikan Lapas itu tidak dari APBN-P, juga tidak dilelas, melainkan dengan sistem multiyears, tak berlaku setahun, tapi minimal lima tahun agar perbaikan pembangunan Lapas itu tak tertunda. Kalau menunggu APBN-P, selama belum diputus, maka rencana perbaikan itu akan tertunda,” pungkasnya.

Mantan Napi yang terkenal dengan sebutan Anton Medan menyebut kehadiran Wamen Denny Indrayana di Lapas itu sama dengan malaikat adzab, yaitu malaikat penyiksa, karena kadatangannya di Lapas menjadi masalah bagi para Napi. Malaikat adzab tersebut sebutan para Napi, karena kedatangan Denny ke Lapas justru membuat masalah baru, dan tak menyelesaikan masalah. Sedangkan sebutan malaikat rahmat sebutan bagi petugas Lapas, karena selalu melayani dengan baik terhadap para Napi.

“Jadi, PP No.99 tahun 2012 yang tak memberi remisi bagi Napi, perilaku Denny yang marah-marah, bahkan menempeleng petugas Lapas maupun Napi, dan Lapas yang over kapasitas, maka itulah yang menjadikan para Napi itu melawan dan kabur. Padahal, pada tanggal 3 Juli 2013 itu saya sudah melapor ke Pak Suaib di Lapas Tanjung Gusta, dan juga Wamen Denny, tapi Denny tak merespon,” tandas Anton Medan.

Anton Medan sendiri sebagai mantan Napi pernah menghuni 14 Lapas selama 18 tahun 7 bulan sejak tahun 1976. Sehingga mengetahui kondisi 476 Lapas se-Indonesia, karena masih terus komunikasi dengan teman-temannya yang menjadi Napi. “Sayangnya, ketika saya memberi tahu Pak Denny, beliau bilang berbuka bersama di Istana Negara. Padahal, persoalan itu bukan saja di Lapas Tanung Gusta, melainkan di seluruh Lapas. Selain over Kapasitas, kondisi keseluruhan juga tak layak,” katanya mengingatkan.

Untuk itu, selain melakukan perbaikan-pembangunan Lapas, pemerintah juga harus mencabut PP. No.99 tahun 2012 tersebut karena para Napi yang seharusnya mendapatkan remisi, malah tertunda. “Dengan PP itu, Napi yang harus mendapat remisi harus mempunyai surat bukan sebagai justice collaborator. Apalagi Napi narkoba tak dapat remisi,” tambahnya.

Selain itu Anton merasa heran, sebanyak 12 petugas Lapas harus menjaga 2.000 Napi. “Itu kan jelas salah. Maka Denny mesti jujur bahwa kondisi Lapas, petugas, dan PP itu tidak memadai dan salah. Banyak kasus perceraian dan keluarganya berantakan akibat tak ada remisi. Jadi, sebaiknya Denny itu mundur saja,” pungkas pimpinan Pesantren Attaibin, Jakarta itu. (mn/gardo)

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille