JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y. Thohari mengkhawatirkan terjadinya pembangkangan sipil terhadap UU Ormas yang telah disahkan oleh DPR RI beberapa waktu lalu ini. Kalau itu terjadinya maka dirinya membayangkan apa yang terjadi di Mesir dan Turki, yang mampu menggulingkan presiden meski dipilih langsung oleh rakyat. Ternyata sebagai pemenang pemilu, sebuah pemerintahan tak boleh membuat kebijakan semaunya tanpa partisipasi rakyat, termasuk kelompok-kelompok yang menentang.
“Yang kita khawatirkan dengan UU Ormas ini terjadi pembangkangan sipil, karena banyak kalangan yang menolak terhadap UU Ormas ini. Itu artinya meski presiden dan DPR sebagai hasil pemilu yang demokratis dan sebagai pemenang, tetap tak boleh membuat kebijakan tanpa melibatkan partisipasi rakyat, termasuk yang menentang,” tandas Hajrijanto dalam diskusi ‘UU Ormas, Pembangkangan Sipil” bersama pengamat politik Fachry Ali, dan Romo Benny Susetyo dari Koalisi Kebebasan Berserikat di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (15/7/2013).
Tapi, lanjut politisi Golkar ini setelah mengetahui langsung dari Pak Romo Benny yang mewakili kelompok-kelompok yang meolak UU Ormas itu, ternyata yang akan dilakukan bukan pembangkangan sipil, melainkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Langkah itu tepat, karena sebuah UU memang tak boleh bertentangan dengan konstitusi-UUD 1945 itu sendiri,” tambahnya.
Romo melihat semangat dari UU Ormas itu hanya sebagai bentuk kekhawatiran dan ketakutan pemerintah dan DPR RI terhadap ormas yang kritis selama ini. Padahal terkait kekerasan, anarkisme, terorisme, makar, sparatisme, dan sebagainya sudah diatur dalam KUHP dan UU Terorisme itu sendiri. Selain itu dia curiga, UU Ormas ini untuk kepentingan pemilu 2014, di mana satu dua tiga orang bisa membentuk ormas semacam sepeda ontel, lalu mendaftar ke Kemendagri, dan kemudian bisa mendapat anggaran Rp 40 juta. “Saya melihat urgensi UU ini tak jelas dan bahkan tak ada,” katanya.
Juga mengenai pengaturan tranparansi dana termasuk dana asing. Pasal ini menurut Romo, sebagai antisipasi terhadap ormas yang kritis seperti ICW, Walhi dan sebagainya, yang menerima bantuan dana asing bisa ‘dibunuh’, dan ini bisa mematikan demokrasi. “Bahkan media yang kritis tak bisa bebas lagi, jika tak mampu melaporkan dana secara transparan. Untuk itu kami bersama NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, dll tetap menolah UU Ormas ini dan menggugat ke MK. Semoga MK tetap independen,” tegas Romo.
Fachry Ali juga bingung melihat dibentuknya UU Ormas ini, karena dinilai tak mempunyai pijakan kebangsaan yang jelas, antara untuk kepentingan rakyat, kapitalis, atau penguasa sendiri. “Saya bingung dengan UU ini, terlebih mengabaikan NU, Muhammadiyah, PGI, KWI dan lainnya. Apakah ini sebagai kegamangan demokrasi? Kalau khawatir dengan FPI, HTI, dan gerakan Abu Bakar Ba’asyir, maka UU ini tak tepat. Jangankan negara, Romo Benny juga takut dengan FPI,” tuturnya sambil tertawa.
Apalagi kata Fachry, mengabaikan suara NU dan Muhammadiyah, di mana kedua organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia itu sudah lahir sebelum Indonesia merdeka. Ditambah lagi kedua ormas keagamaan itu tak tergantung pada negara, baik secara ekonomi maupun politik. “NU dan Muhammadiyah sudah mampu mengorganisir dirinya, tanpa keterlibatan pemerintah dan DPR. Jadi, UU Ormas ini tanpa pijakan, konsep, dan tujuan yang jelas. Untuk itu pula saya menolak UU Ormas ini,” katanya. (am/gardo)