JAKARTA – Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dinilai sangat tidak layak dipertahankan. Sebab, PP ini sangat mudah disalahgunakan dan diperdagangkan.
Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, PP tersebut sangat mudah untuk disalahgunakan oleh pihak yang berwenang melaksanakan PP ini, yakni oleh oknum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukham).
Menurutnya, yang paling rawan disalahgunakan dalam PP tersebut adalah pasal 34 tentang mengatur tata cara mendapatkan remisi, pasal 36 tentang tata cara mendapatkan asimilasi, pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, dan pasal 43 tentang pembebasan bersyarat. Pasal-pasal ini diberlakukan pada terpidana kasus korupsi, narkoba dan terorisme.
“Sudah bukan rahasia lagi bahwa remisi dalam praktiknya ibarat barang dagangan. Ekstrimnya, Anda mau dapat remisi? Berani bayar berapa?,” kata Bambang, Minggu (14//7/2013)
Dikatakan Bambang, model pertanyaan seperti itu sudah barang tentu hanya layak dialamatkan kepada terpidana kasus korupsi dan terpidana kasus narkoba. Mengapa? Dia menjelaskan, karena diasumsikan bahwa para terpidana dua kasus ini masih kaya raya dengan pemilikan jumlah uang yang masih sangat besar.
“Para terpidana dua kasus ini berani bayar berapa saja untuk mendapatkan keringanan hukuman mereka,” ujarnya.
Dia pun mencontohkan seperti halnya pemberian grasi untuk Meirika Franola alias Ola, terpidana mati dalam kasus narkoba, demikian geramnya sehingga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) waktu itu, Mahfud M.D menduga kuat jaringan mafia narkoba sudah berhasil menembus Istana Negara.
“Proses untuk mendapatkan grasi itu pasti cukup panjang. Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan rekan-rekan Ola agar rekomendasi grasi itu bisa sampai ke meja presiden?,” imbuhnya. Artinya, selain bisa diperdagangkan, PP terseebut juga bisa dijadikan alat untuk memeras. “Maka, belajar dari kasus grasi untuk Ola. PP ini sebaiknya dibatalkan agar tidak lagi terjadi ekses di kemudian hari,” sambungnya.
Politisi Partai Golkar ini melanjutkan, sejak masih digagas oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, ide pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, kasus narkoba dan kasus terorisme sudah mengundang perdebatan. “Juga abnormal karena semula digunakan kata moratorium remisi,” tandasnya. (gardo)