INI barangkali “curhat” dari banyak kader organisasi (IPA dan HIMMAH) di Sumatera Utara, yang sering jadi bahan diskusi, tapi sangat terbatas melahirkan suatu solusi.
Sebagai organisasi keagamaan Islam yang menurut Chalidjah Hasan merupakan organisasi terbesar di Sumatera Utara, Al Washliyah memikulkan amanah kepada kelompok pelajar dan mahasiswa untuk terus melakukan proses melahirkan generasi baru dalam setiap waktu, untuk selanjutnya proses tersebut disebut dengan ‘kaderisasi”.
Dalam pasal 15 AD Al Washliyah disebutkan bahwa Al Washliyah mempunyai organisasi-organisasi bagian yang diantaranya adalah Ikatan Pelajar Al Washliyah (IPA) dan Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH). Keduanya sering dikatakan sebagai laboratorium kader Al Washliyah.
Mari kita lihat defenisi laboratorium menurut pendapat ahli, laboratorium biasanya dibuat untuk memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut secara terkendali (Anonim, 2007).
Menurut Sukarso (2005), laboratorium ialah suatu tempat dimana dilakukan kegiatan kerja untuk menghasilkan sesuatu.
Sementara defenisi kader adalah orang atau kumpulan orang yang dibina oleh suatu lembaga kepengurusan dalam sebuah organisasi, baik sipil maupun militer, yang berfungsi sebagai ‘pemihak’ dan atau membantu tugas dan fungsi pokok organisasi tersebut (wikipedia).
Jika kesepahaman kita sama soal laboratorium kader adalah tempat dimana dilakukan kegiatan organisasi dalam rangka pembinaan yang berfungsi sebagai ‘pemihak’ dan atau membantu tugas pokok organisasi, maka jika teori tersebut di dekatkan dengan Al Washliyah sebagai sebuah lembaga, seharusnya orang-orang yang dipersiapkan menempati posisi dan diberi peran strategis
dalam membangun dan mengembangkan organisasi adalah mereka yang dilahirkan lewat laboratorium kader.
Di IPA dan di HIMMAH dikenal istilah Latihan Kader Dasar (LKD), Latihan Kader Menengah (LKM) dan Latihan Kader Instruktur (LKI) yang telah disepakai menjadi jenjang kaderisasi formal sekaligus model perekrutan anggota organisasi. Model ini selanjutnya juga menjadi instrument bagi proses regenerasi yang secara periodik harus terus berganti.
Proses kaderisasi di dua organisasi otonom Al Washliyah hingga hari ini terus berlangsung, meskipun dalam jumlah penyelenggaraan yang sedikit dan peserta yang juga semakin sedikit, jika dibandingkan tahun-tahun terdahulu (menurut para alumni/senioren), namun regulasi organisasi soal perekrutan kader tetap konsisten dijalankan (meskipun ada perubahan pada
materi) setidaknya untuk Sumatera Utara sebagai tempat kelahiran, tumbuh dan berkembangnya organisasi, dengan memberi pengecualian pada wilayah lain di luar Sumatera Utara, yang karena banyak faktor belum dapat diterapkan.
Menurut Lerry Grainer (1970) bahwa model pengembangan organisasi salah satunya adalah pendelegasian, pada tahap pendelegasian, manajer tingkat bawah mempunyai otonomi yang lebih besar dalam menjalankan aktivitas unit kerjanya, sedangkan top manajemen lebih berkonsentrasi pada perencanaan strategis jangka panjang. Lantas, ketika kader telah lahir dari
proses kaderisasi yang secara teoritik adalah ‘pemihak’ organisasi, harusnya kepada mereka diberikan pendelegasian yang lebih besar untuk berkembang, agar proses kaderisasi organisasi mencapai tujuannya.
Faktanya, dengan jumlah lembaga pendidikan dan lembaga lainnya yang sesungguhnya mampu menampung para ‘pemihak’ organisasi dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimilikinya untuk mengaplikasikan tugas kekaderannya ternyata tidak bersahabat, rumah besar organisasi sepertinya menjadi rumah kecil bagi para kader, atau malah mungkin para kader sudah tidak punya rumah lagi di organisasi ? sehingga rumah ini diisi oleh kader organisasi lain yang tidak lahir dari laboratorium kader.
Atau mungkin ke depan IPA dan HIMMAH tidak perlu lagi repot-repot untuk melaksanakan kaderisasi, karena meskipun kelak akan terlahir sebagai kader atau ‘pemihak’, belum tentu memiliki kesempatan sebagai ‘delegator’ bagi pengembangan organisasi.
Saya sengaja menuliskan ‘curhatan’ ini, agar semua pemangku amanah organisasi bisa membaca sekaligus melaksanakan Amanat ART Al Washliyah Pasal 3 ayat 5 tentang Hak Anggota, bahwa setiap anggota berhak mendapat prioritas untuk menempati posisi tertentu di setiap amal usaha Al Washliyah.
Jika Anggota yang dalam defenisi ART Pasal 1 ayat 1 disebutkan sebagai WNI yang beragama Islam, menyetujui AD/ART Al Washliyah dan terdaftar pada pimpinan Al Washliyah, apatah lagi kader, yang masuk menjadi anggota organisasi dengan melewati proses kaderisasi dalam laboratorium kader, baik itu LKD, LKM maupun LKI, harusnya kepada mereka sebagai ‘pemihak’ organisasi diberikan apresiasi yang lebih besar.
Dedi Iskandar Batubara
Penulis adalah,
Ketua PW IPA Sumut 1998-2007
Wakil Ketua PK HIMMAH UISU 2000-2001
Sahabat Dedi Batubara
http://www.facebook.com/pages/Sahabat-Dedi-Batubara/462700353802998?ref=ts&fref=ts