JAKARTA – Menyadari tata kelola negara selama ini bersumber dari partai politik (parpol), di mana penyelenggara negara lebih banyak ditentukan oleh parpol baik presiden, wapres, kementerian, legislatif, kepala daerah dari pusat sampai daerah, maka parpol harus dibenahi. Benahi dari kaderisasi, pendidikan politik, termasuk biaya kampanye yang selama ini sangat besar, dan mahal. Hal itu membuka peluang pejabat tidak taat konstitusi, koruptif, kolutif, dan nepotis, maka suda saatnya tata kelola negara tersebut dimulai dari parpol.
“Kalau parpol itu sudah baik, memiliki etika, pendidikan politik yang memadai, tak ada money politics, tak ada serangan fajar, tidak perang spanduk dan iklan-iklan yang bertebaran di media dan di tengah masyarakat, di mana rakyat sudah tahu mana partai dan pemimpin yang layak dipilih, maka diharapkan tata kelola negara akan baik dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara,” tandas tenaga profesional Lemhanas Syafran Sofyan dalam dialog “Tata ulang sistem ketatanegaraan’ di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (12/6/2013).
Apakah harus amandemen UUD 1945 lagi? “Amandemen UUD itu pun jangan sampai merubah pembukaan dan pertahankan NKRI. Artinya harus benar-benar untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini. Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini akan tetap utuh, kalau tata kelola negara dan penyelenggaranya negara ini mementingkan rakyat dan negara,” katanya meyakinkan. Selain Syafran hadir juga Ketua FPD MPR RI Ja’far Hafsah, anggota DPD RI Abdul Aziz Kahar Muzakkar, mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Kautsar, dan Ketua DPP Nasdem Taufik Basari.
Lemhanas mengakui jika dalam kajian akademiknya, perlu penyempurnaan aturan misalnya dalam hal pemberantasan korupsi, penegakan hukum, kebebasan berkekspresi, penegakan HAM, perbaikan parpol, perlunya kesamaan wewenang DPR dan DPD RI, sistem presidensial, dan singkronisasi antar lembaga tinggi negara. “Selain untuk kepentingan rakyat dan negara, semua langkah perbaikan itu agar menuju terwujudnya masyarakat sipil yang maju, dan beradab atau civil society,” tambah Syafran.
Ja’far Hafsah, Abdul Aziz Kaharmuzakkar, dan Taufik Basari sepakat dengan langkah tersebut. Karena itu kata Ja’far, semua lembaga tinggi negara harus melakukan singkronisasi antar lembaga tinggi negara dimaksud. Termasuk di dalamnya mempertegas sistem presidensil, amandemen UUD 1945, parpol dan sebagainya. “Seharusnya dalam sistem presidensil sekarang ini, presiden dalam menjalankan kebijakannya tidak terganggu dengan partai dan DPR RI. Juga kewenangan antara DPD dan DPR,” sambung Abdul Aziz.
Kautsar menegaskan jika semua tata kelola negara tersebut harus benar-benar dijalankan dengan menegemen untuk kepetningan rakyat dan negara demi utuhnya NKRI. Seperti otonomi daerah yang ditujukan untuk melayani rakyat lebih baik, ternyata menumbuhkan raja-raja kecil di daerah. “Kewenangan kepala daerah seharusnya tetap dikenalikan pemerintah pusat bekerjasama dengan gubernur, dan gubernur membawahi bupati dan wali kota. Ini negara kepulauan terbesar, maka tata kelola negara pusat harus kuat,” ujarnya. (gardo)