BerandaFatwa & KonsultasiSumbangan Untuk Pesantren Atau Yayasan Antara Subhat Dan Haram

Sumbangan Untuk Pesantren Atau Yayasan Antara Subhat Dan Haram

Oleh: Ovied

Di Indonesia belum ada lembaga yang benar-benar berkompeten yang mengatur, mengelola atau menaungi dan yang bertanggung jawab tentang waqaf, infak, Zakat, sedekah, wasiat, hebah, dan hadiah yang bersifat untuk kepentingan umat seperti untuk pembangunan Pesantren, Yayasan, Perguruan (pendidikan) termasuk keuangan Mesjid yang ada diseluruh Indonesia. Meskipun undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang “Pengelolaan Zakat” oleh Kementrian Agama-RI sudah disahkan oleh DPR-RI, namun lembaga Zakat Indonesia belum mampu menjangkau atau mengawasi seluruh Pesantren, Yayasan, Perguruan atau Mesjid-mesjid, lembaga-lembaga waqaf, dll di seluruh Indonesia.

Hampir di seluruh Indonesia dana atau keuangan yang didapat dari hasil sumbangan masyarakat tersebut dikelola oleh perorangan, keluarga, panitia atau kepengurusan yang transparansinya masih sangat diragukan. Sehingga cara-cara seperti ini tidak sedikit kita jumpai sumbangan (wajib atau sunat) umat tersebut di atas dikuasai orang-orang dan kelompok tertentu untuk memperkaya diri sendiri, keluarga atau kepengurusannya. Bahkan ada yang menggunakan keuangan Mesjid dijadikan Money Londry (pencucian uang) seperti memutar keuangan Mesjid, Pesantren, Yayasan, dll untuk bisnis, pinjam meminjam, dlsb yang keuntungannya diambil secara peribadi atau kelompok tertentu.

Keinginan umat Islam untuk bersedekah itu sangat baik, Allah dan Rasulnya memerintahkan betapa baiknya untuk berinfak, bersdekah, berwaqaf, berwasiat, menghebahkan, dan menghadiahkan. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

” يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ {10} تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {11} يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ {12} ” (الصف [61] : 10-12)

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? 11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. 12. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. As-Shaf [61] : 10-12)

Syari’at Islam juga mewajibkan untuk berzakat kepada orang-orang yang memiliki harta yang sudah sampai Nishab (kadar dan ukuran harta yang wajib untuk dizakati) dan Haulnya (waktu wajib mengeluarkan zakat) setelah dikurangi kewajiban-kewajiban yang harus dibayar seperti pajak, nafkah kepada keluarga, hutang, dll. Wajibnya Zakat yang harus dikeluarkan oleh umat Islam, Alqur’an menyatakan sebagai berikut:

” خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ” {التوبة [9] : 103}

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihka dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] : 103)

Namun jika sumbangan (sedekah wajib/sunat) milik umat seperti waqaf, zakat, sumbangan untuk Pesantren, Yayasan, perguruan, dll disalah gunakan oleh pihak-pihak atau kelompok tertentu untuk mencari keuntungan atau memperkaya pribadi, keluarga, kelompok tertentu yang bersifat bathil maka ini hukumnya adalah “Haram” dan “Keji”, sebagaimana Allah Swt berfirman:

” … وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّاكَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ ” {161} (ال عمران [3] : 159-161)

“Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan harta umat), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.(QS. Alimran [3] : 159-161)

Sebelum kita mengangkat lebih jauh tentang subhat atau Haramnya sumbangan untuk Pesantren atau Yayasan, dll disini penulis mengkoperatifkan sedikit tentang tindak pidana masalah keuangan dalam hukum Negara. Jika kita berbicara tentang keuangan pemerintahan yang dapat dijerat sebagai tindak pidana koropsi maka kita dapat melihat peraturan pemerintah Indonesia tentang tindak pidana koropsi sebagaimana terdapat dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan:

(1) Melawan hukum, memperkaya diri orang/ badan lain yang merugikan keuangan/ perekonomian negara. (Pasal 2)
(2) Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/ kedudukan yang dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara. (Pasal 3).
(3) Kelompok delik penyuapan. (Pasal 5, 6 dan 11).
(4) Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10)
(5) Delik pemerasan dalam jabatan. (Pasal 12).
(6) Delik yang berkaitan dengan pemborongan. (Pasal 7)
(7) Delik gratifikasi (Pasal 12B dan 12C).

Undang-undang di atas lebih menitik beratkan kepada kerugian Negara (yang mengelola harta umat) dan orang yang memiliki hubungan jabatan terhadap birokrasi pemerintahan. Sedangkan sumbangan yang bersifat peribadi kepada orang tertentu atau kepada kelompok tertentu yang berasal dari harta umat pemerintah belum mengaturnya dengan kuat, konsisten dan mapan, sehingga sampai sekarang harta umat yang mengalir ke Pesantren-pesantren, Yayasan, Perguruan, dll belum ada lembaga yang mengontrolnya secara khusus.

Sehingga tidak sedikit kita jumpai di Indonesia kekayaan yang berasal dari umat diwariskan seperti harta peribadi, kekuasaan dan kepengurusan yang mengelolanya bersifat KKN. Malah setelah jatuh ketangan ahliwarisnya jadi bahan rebutan keluarga yang akhirnya tanah waqaf dan sumbangan umat jadi hak miliki peribadi, menumpuk kekayaan dari uang umat hanya untuk kekuasaan dan kekayaan keluarga dan anak keturunannya lalu memproklamirkan sosok keperibadiannya sebagai seorang tokoh umat yang memiliki Pesantren, Yayasan atau Perguruan yang terbesar atau modern dan maju se-Indonesia. Na’udzubillahimin Dzalik.

Kelihatan sederhana dalam mengelola uang umat yang tujuannya untuk kegiatan Agama. Seseorang baik itu yang berasal dari tokoh agama, atau orang-orang yang diberi kepercayaan dalam mengelola uang umat sebagian tidak jarang kita lihat mereka itu amanah dan jujur dan tidak menggunakan untuk memperkaya diri sendiri. Tetapi jika seorang tokoh atau orang yang mendapat kekepercayaan tersebut sudah wafat atau meninggal dunia ahli waris seperti anak, menantu, cucu, cicit dan keluarga mereka dapat memicu konflik baru dalam perebutan tahta kekuasaan dalam pengelolaannya.

Disinilah yang menyebabkan banyak Pesantren atau Yayasan di Indonesia yang dulunya dipegang oleh tangan pertama berdiri besar dan megah namun setelah sampai ke anak, menantu, cucu dlsb malah mencadi hancur berantakan. Walaupun ada yang masih bertahan atau semangkin berkembang pesat tetapi mereka terjebak dalam kubangan subhat kekuasaan, dalam mengelola keuangan, dan kepemilikan bahkan tidak sedikit terjerat dalam kubangan kebathilan yang Haram karena menjadikan harta umat untuk menumpuk kekayaan peribadi, keluarga dan keroni-keroninya.

Disinilah pemerintah dan ormas Islam atau lembaga MUI pusat harus memperikan perhatian penuh untuk dapat memberikan solusi agar dapat mendirikan lembaga yang berkompeten dibawah kontrol pemerintah untuk mengontrol semua lembaga-lembaga yang ada di Indonesia yang assetnya besumber dari harta umat seperti Pesantren, Yayasan, Perguruan, Mesjid-mesjid, dll. Lembaga yang berkompeten tersebut bertujuan sebagai kontrol dalam mengaudit keuangan dan asset yang berasal dari umat dan lembaga tersebut juga harus mampu memberikan koridor payung hukum dan sangsinya secara jelas dan tegas.

Intinya secara personal seseorang tidak boleh menerima dengan alasan apapun untuk mengelola uang umat jika seseorang tersebut tidak dapat betanggung jawab dengan persaratan-persaratan diantaranya sebagai berikut:

1. Pengelola harus membentuk lembaga panitia yang independen yang melibatkan tokoh masyarakat, dan lembaga pemerintahan yang berkompeten atau ormas Islam sebagai kontrol yang dapat mengaudit keuang dan asset secara transparan dan memiliki otoritas mengambil alih jika diperlukan untuk kemaslahatan umat.
2. Pengelola harus murni menjadikan seluruh asset kekayaan umat yang ada sebagai waqaf umat (seperti Pesantren, Yayasan, dll) yang tidak boleh diwariskan kepada anak, dan keluarganya secara kepemilikan peribadi. Ahli waris hanya berhak memiliki otoritas sebagai pengelola bukan memiliki apalagi menguasai.
3. Untuk jabatan dalam pengelolaan ahli waris berhak memiliki andil peran didalamnya jika mereka memiliki kemampuan dalam mengelolanya. Namun jika tidak memiliki kemampuan dalam mengelolanya maka otoritas tersebut harus diberikan kepada yang ahlinya meskipun orang tersebut bukan ahli warisnya atau dikembalikan kepada otoritas lembaga panitia yang indipenden sebagaimana poin pertama di atas.
4. Seluruh asset umat tidak boleh dijadikan bisnis atau Money Londry (pencucian uang) dalam bentuk apapun terkecuali keuntungannya murni untuk umat ataun lembaga waqaf yang dikelola.
5. Badan kepengurusan hanya berhak menerima gaji atau remunerasi baik bulanan atau tunjangan yang sudah diatur oleh lembaga panitia yang indipenden sebagaimana yang termaktub pada poin pertama di atas.

Jika persaratan di atas tidak dapat dipenuhi maka harta umat tersebut (Pesantren, Yayasan, Perguruan, dll) harus dikembalikan kepada lembaga yang berkompeten seperti pemerintah, ormas Islam atau lembaga MUI pusat. Siapa saja yang memberikan Waqaf, infak, Zakat, sedekah, wasiat, hebah, dan hadiah yang disumbangkan untuk Pesantren, Yayasan, dll jika tidak dapat dikelola sebagaimana persaratan di atas maka hukumnya bagi yang mengelola adalah “Haram dan Bathil”. Dan bagi donator yang menyumbangkan hartanya, hukumnya adalah “Haram” jika sipenyumbang ikhlas bahwa harta sumbangannya dijadikan hak milik oleh pengelolanya maka hukum sedekahnya atau sumbangannya adalah “Subhat”.

Penulis sejak tahun 2005 sampai 2013 sudah tujuh kali pernah diberi kepercayaan dan disodorkan oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk mengelola pendidikan pesantren atau yayasan, namun ketika penulis meminta agar tanah tersebut harus dikeluarkan sertifikat waqafnya oleh lembaga pemerintah yang berkompeten dan tidak boleh mengambil keuntungan peribadi yang berlebihan, mereka semuanya tidak siap. Maka sayapun akhirnya menolak tawaran dan amanah yang mereka janjikan. Karena yang kita khawatirkan setelah diperjuangkan sampai berkembang dan maju, hasilnya hanya dijadikan untuk memperkaya peribadi, anak dan keluarganya semata, Na’udzubillah Mindzalik.

Ulama-ulama Al Washliyah dahulu dari sebelum kemerdekaan tidak ada yang memiliki pesantren. Bukan berarti mereka tidak mampu mendirikan pesanteren, dan bukan berarti mereka tidak mau meminta atau menggerakkan para donator-donatur kaya bahkan tidak sedikit mereka memiliki hubungan dekat dengan para dermawan dan pemerintahan Arab dan Timur Tengah. Tetapi mereka berfikir jauh kedepan, karena khawatir anak dan keluarga mereka jatuh dan terjebak dalam kubangan konflik, percekcokan juga harta yang subhat dan Haram. Keulamaan mereka sudah tidak dirgukan lagi. Mereka semasa hidupnya sudah dikenal sebagai sosok ulama yang amanah, jujur, dan adil. Namun mereka khawatir apakah mereka bisa menjamin amanah tersebut dapat dijalankan dengan baik oleh ahli warisnya seperti anak, menantu, cucu dan penerusnya. Mereka tidak bisa menjamin itu semuanya.

Dengan demikian mereka konsisten dan teguh hanya sebagai ulama yang pendidik umatnya melalui, Mesjid ke Mesjid, kampung ke kampung, madrasah-madrasah yang dikelola oleh ormas Islam atau pemerintah dan mereka terus berjuang sampai akhir hayatnya sebagai penggerak ormas Islam lewat sosok keperibadian yang beretika Akhlaq, kreasi, keilmuan, karya tulis, dan fatwa-fatwanya yang sudah kita rasakan sampai sekarang ini. Dari sekarang dan sampai kapanpun semoga ormas Islam Al Washliyah terus berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan dan diamanahkan oleh para pendiri dan para ulama-ulama kita yang shaleh, Amin. Wallahua’lam Bis-Shawab.

Penulis: Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia] Hp: 021.406.208.33/ 088.885.818.84. Email: dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com Facebook : Buya Ovied

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille