JAKARTA – DPR RI dalam pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang sedang digodok di Panja JPH DPR, dan akan segera disahkan dalam akhir masa sidang 2013 ini, justru untuk mengokohkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa sekaligus sertifikat halal. Hanya saja sebelum memutuskan fatwa tersebut, MUI diminta melakukan rapat duperluas dengan melibatkan berbagai ulama NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain yang memang kompeten untuk memutuskan fatwa.
“Mengokohkan peran MUI itu bukan berarti mengabaikan ulama NU. Siapa yang tidak kenal dengan KH. Sahal Mahfuhz, KH. Ma’ruf Amin, dan KH. Ali Mustofa Ya’qub? Semua itu itu kan ulama NU. Jadi, tak benar, kalau mengokohkan MUI tidak mengakomodir ulama yang lain,” tandas Ketua Panja RUU JPH H. Jazuli Juwaini dalam diskusi RUU JPH bersama Direktur LP POM MUI H. Lukman Hakim di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (28/5/2013).
Selain itu untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian halal lahir-bathin, syariah dan akidah kepada konsumen, khususnya umat Islam. RUU ini hanya memberi ruang kepada masyarakat untuk membentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang bisa dilakukan swasta, yang teknis dan prosedurnya akan diatur. “LPH ini hanya sebagai pemeriksa, tapi untuk fatwa halal tetap oleh MUI dengan rapat diperluas tersebut. Sehingga sertifikat halal pun tetap melalui MUI,” ujarnya.
LPH itu bukan lembaga yang menetapkan dan mengeluarkan fatwa dan sertifikat halal, melainkan sebatas sebagai pemeriksa. “Nah, pentingnya membuka LPH ke masyarakat ini sebagai antisipasi agar MUI tidak dianggap memonopoli sertifikasi halal. Namun, tetap melibatkan MUI termasuk auditornya. Jadi, ini bukan masalah bisnis, melainkan bagaimana memperbanyak pelayanan kepada masyarakat konsumen,” tegas Jazuli lagi.
“Harus diketahui peran MUI sudah 24 tahun dalam mensertfikasi halal itu. Selama itu pula, para ulama yang terlibat dalam memutuskan fatwa halal-haram itu dari seluruh ormas Islam khususnya NU, Muhammadiyah dan lain-lain. Bahwa dengan satu lembaga sertifikasi itu untuk menyatukan umat. Tapi, kalau lebih dari satu lembaga, hal itu bisa menyulut konflik di tengah masyarakat, karena di satu sisi ada yang memfatwakan halal, dan di sisi lain ada yang memfatwakan haram. Itu jelas akan menimbulkan kebingungan dan konflik di masyarakat,” tambah politisi PKS ini.
RUU JPH ini sudah dibahas pada periode DPR sebelumnya (2004-2009), tapi belum selesai. Tapi, setelah mencermati perkembangan zaman, agar masyarakat tidak bingung, maka pembahasan RUU JPH ini dilanjutkan.
Lukman membantah jika ada motive bisnis dalam sertifikasi halal MUI selama ini. Sebab sejak 24 tahun silam ketika MUI dipimpin oleh alm. KH. Hasan Basri, melalui alm. Menag Tarmizi Taher, mendapat instruksi dari alm. Presiden Soeharto, untuk memberikan ketenangan kepada umat di tengah kebingungan adanya isu babi dalam suatu makanan, dan kosmetika. “Satu contoh produk mie saja, yang setiap tahunnya senilai Rp 2 miliar/tahun, biaya sertifikasinya kurang dari satu persen. Kecil sekali. Tak ada unsur bisnis,” katanya.
Menurut Lukman, kalau DPR RI menghendaki lembaga sertifikasi halal MUI itu dibawah Kemenag RI, namun bagi MUI sendiri karena lembaga ini menyangkut banyak kementerian, dan luar negeri, maka seharusnya di bawah Presiden RI. “Ada Kementerian agama, Kemendag, Kemenkes, Kemenlu dan lain-lain, juga dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI), maka tepat jika lembaga sertifikat itu langsung di bawah Presiden RI. Kalau hanya di bawah Kemenag, kurang kuat,” ungkapnya. (gardo)