JAKARTA – Apatisme rakyat terhadap partai politik (Paprol) sekarang ini, akibat parpol bermental feodal. Feodalisme itulah yang diantaranya melahirkan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN. Kalau 15 tahun lalu KKN itu dijadikan alat politik untuk menjatuhkan Orde Baru (Orba), tapi setalah 15 tahun reformasi ternyata sama saja, hanya beda istilah dari KKN menjadi KKD, yaitu korupsi, kongkalikong, dan dinasti politik. Karena itu kita harus berani menghancurkan feodalisme, yang menjadikan politik dan demokrasi menjadi mahal tersebut.
“Sejak reformasi ekspektasi dan harapan rakyat sangat besar kepada partai untuk memperjuangkan aspirasinya. Ketika itu diingkari, dan malah banyaknya parpol melakukan korupsi secara bersama-sama, ditambah lagi dengan penyimpangan moral, maka rakyat makin apatis,” tandas Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y. Tohari dalam dialog pilar negera ‘Mengatasi apatisme publik terhadap partai politik’ bersama pengamat politik CSIS J. Kristiadi, dan pakar hukum tata negara Irman Putrasidin di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (27/5/2013).
Feodalisme itu lanjut Hajrijanto, saat ini malah untuk melanggengkan kekuasaan, sehingga feodalisme itu tumbuh di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan demikian, yang menjadikan rakyat apatis, cuek, bahkan pesimis dan sinisme terhadap partai tersebut akibat KKD. Karena itu, feodalisme itu harus dibongkar-dihancurkan dengan kerja-kerja kultural. “PKI berhasil menghancurkan feodalisme dengan membangun politik dan demokrasi yang lebih egaliter-sederhana dan merakyat,” ujarnya.
Ketua DPP Partai Golkar itu menyarankan untuk memberantas feodalisme parpol dan apatisme rakyat terhadap parpol tersebut, partai harus melakukan langkah dan kerja-kerja nyata dengan mengembangkan egalitarianisme. “Memang itu membutuhkan waktu dan kerja keras dan kerja budaya yang panjang. Kita tak boleh putus asa dalam membangun karakter bangsa ini-nation caracter building, memang membutuhkan waktu yang lama,” katanya.
Selain itu diakui Hajrijanto, membangun parpol itu memang susah, maka wajar kalau ada usulan parpol dibiayai oleh negara (APBN), agar parpol benar-benar menjadi organisasi kader, yang diharapkan melahirkan pemimpin. “Kalau saja sebesar 1 persen alokasi dana parpol dari APBN Rp 1.600 triliun, maka berarti Rp 16 triliun. Dan, kalau terbukti melakukan korupsi, maka parpol itu harus dibubarkan,” katanya. (gardo)