JAKARTA – Kesehatan para kaum miskin di negeri ini banyak yang tidak ditangani dokter di rumah sakit (RS) di Jakarta. Begitu juga dengan derah lainnya. Kenyataan itu bisa terjadi lantaran pemerintah tidak memiliki komitmen yang baik, untuk mengatasi rakyat miskin yang sakit, sehingga banyak yang meninggal.
Padahal pada 1 Janurai 2014 program jaminan sosial melalui Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan dilaksanakan. Melihat kondisi yang ada, DPR khawatir pelaksanaannya akan semrawut jika infrastruktur, dokter, obat-obatan, anggaran, dan sosialisasinya tidak siap.
“BPJS ini bagus, tapi persiapannya harus cepat. Kalau tidak, maka RS akan kewalahan, dan tak mustahil akan terjadi seperti di Jakarta, di mana ada RS yang mengundurkan diri. Padahal, itu tak boleh karena melanggar UU No.44/2009 tentang RS,” tandas Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Irgan Chairul Mahfiz dalam dialog ‘Tolak KJS dan nasib BPJS’ bersama anggota Komisi IX DPR Rike Diah Pitaloka, Poempida Hidayatullah (FPG), dan Huzna Zahir dari YLKI di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (23/5/2013).
Irgan menhatakan, pemerintah dan DPR harus mematangkan sistem BPJS tersebut, termasuk besaran premi-pembayaran ke RS oleh setiap pasien, sumber daya manusia, infrastruktur, obat-obatan dan sebagainya. “Semua itu harus cepat, karena hitungannya tahunan, bukan lima tahunan. BPJS ini suatu keharusan sebagai kehendak negara. Jadi, banyak hal yang harus diperhatikan negara. Bukan hanya pencitraan, melainkan harus direalisasikan,” papar politisi PPP meyakinkan.
Sementara untuk anggaran yang dialokasikan dalam bidan kesehatan, hanya 2,07 % dari APBN atau sekitar Rp 31,2 triliun, jauh dibanding pendidikan yang 20 %. Semestinya 5 % atau sekitar Rp 75 triliun.
“Pada prinsipnya RS dan dokter harus bernagkat dari ideologi dan nasionalisme agar benar-benar untuk rakyat. Pemerintah harus merubah kebijakan dari konsumtif seperti BLT, Balsem, Bansos, dan sebagainya,” kata Irgan lagi.
Rieke menegaskan jika usapa mengatasi rakyat sakit di Indoensia dibutuhkan kesamaan ideologi dan nasionalisme, bahwa membantu dan mengabdi kepada rakyat itu khususnya dalam menangani kesehatan itu sebagai amanat pendiri bangsa ini. dan, BPJS (Badan Penyelenggera Jaminan Sosial) ini sebagai salah satu solusinya, yang perlu komitmen pemerintah. Karena itu tugas DPR bukan saja menggolkan BPJS, melainkan harus mendorong bagaimana program itu dijalankan oleh pemerintah.
“Persoalannya mau atau tidak? Jangan selalu beralasan masalah dana, karena Aceh Darussalam dengan program yang sama dengan premi Rp 17.000,-, Pemda Purwakarta, dan Jakarta, sendiri bisa. Rumah Sakit pun tak perlu takut, karena tetap dibayar, dan itu tak akan membuat RS bangkrut,” tegasnya.
Untuk itu Oneng mempertanyakan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang pernah menyatakan agar masalah rumah sakit tersebut diserahkan ke sistem pasar. “Kalau diserahkan ke sistem pasar, lalu bagaimana komitmen dan kewajiban pemerintah dalam membantu kesehatan rakyat? Jadi, negara harus hadir, dan wajib menyelesaikan masalah ini dengan melakukan efisiensi dengan alokasi anggaran yang lain,” ungkap mantan Cagub Jawa Barat itu.
Sejauh itu Poempida menyayangkan Menteri Kesehatan (Menkes) yang sampai hari tidak terbuka terhadap data-data yang dibutuhkan DPR, terkait penyakit apa saja yang mayoritas diderita rakyat, obat apa saja yang banyak dibutuhkan, berapa dana yang diperlukan, dan sebagainya harus dilakukan dengan transparan. “Komisi IX DPR optimis BPJS ini akan terlaksana, dan hanya berbeda persepsi dengan pemerintah dalam pelaksanaan Januari 2014nanti,” katanya.
Menurut Huzna Zahir, program Kartu Jakarta Sehat (KJS) maupun BPJS ini berlaku untuk semua orang, termasuk rakyat yang tidak bekerja. Maka wajar jika program KJS membludak, karena selama ini rakyat takut mendatangi rumah sakit, akibat dibayangi biaya yang mahal. “Tapi, berbicara kesehatan itu tak berdiri-sendiri, melainkan terkait dan perlu kerjasama dengan banyak pihak, dan pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur semua itu,” ujarnya. (gardo)