JAKARTA – Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia(MUI) menyelenggarakan Halaqah Nasional tentang kemungkinan pergantian acuan waktu dunia dari Greenwicht Mean Time (GMT) menjadi waktu Mecca Mean Time (MMT). Acara itu diselenggarakan berkaitan dengan keinginan pemerintah Arab Saudi untuk memindahkan pusat waktu dunia dari Inggris ke Makkah.
Halaqah Nasional tentang waktu Makkah (MMT) yang diselenggarakan di Gedung MUI Pusat, Jakarta, dihadiri utusan dari kedubes Arab Saudi Dr.Mas’ud bin Sa’ad Al-Khomidi, Peneliti Senior Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof.Dr.Thomas Djamluddin serta sejumlah pengurus pusat MUI antara lain, Tengku Zulkarnain, MA, Prof. Dr. Muhammad Amin dan Dr. H. Ahmad Izzudin, M.Ag.
Selama ini, dunia internasional hanya mengenal satu standar waktu yakni jam yang dihitung dari bujur 0 derajat yang melewati Observatorium Greenwich di inggris (GMT). Standar inilah yang ingin ditantang Makkah. Pemerintah Arab Saudi berharap jam Menara Makkah ini menjadi acuan 1,5 miliar muslim di dunia.
Menurut Prof.Dr.Thomas Djamluddin, gagasan yang menjadikan Makkah sebagai acuan zona waktu umat muslim di dunia, setelah dibangunnya jam besar yang berada di Masjidil Haram, Kota Makkah diharapkan menjadi acuan zona waktu. Keinginan besar yang membutuhkan kesepakatan yang tidak mudah itu nantinyadiharapkan akan membangun semangat untuk mempersatukan umat Islam di seluruh dunia.
Ketua Umum PP Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat MUI Dr. H. Din Syamsuddin dan Ketua Umum PBNU Dr. KH. Said Aqil Siraj menyambut baik hasrat pemerintah Arab Saudi itu. Din berpendapat bahwa hal itu merupakan ide baik dan boleh-boleh saja. Tetapi tentu, perlu ada kesepakatan dari sejumlah pihak tentang pergeseran pusat waktu dunia ini, termasuk kesepakatan negara-negara di belahan dunia lain yang mengikuti acuan GMT. “Sikap pemerintah Indonesia juga perlu diambil melalui pertemuan khusus untuk membicarakan hal ini. Nanti kita bicarakan bersama pemerintah,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama, Rohadi juga menyambut baik dan menyatakan akan mendiskusikannya terlebih dulu dengan berbagai pihak terkait. “Ini memang tema menarik. Nanti kita akan saya usulkan ke Sekjen agar dibuat semacam seminar tentang hal tersebut,” katanya sambil menambahkan bahwa pembangunan menara jam raksasa di Kota Mekkah tersebut positif bagi umat Islam. Terutama untuk membangun soliditas kaum muslimin di seluruh dunia.
Namun, ada hal penting yang harus diperhatikan terkait pembuatan jam tersebut, yaitu soal pembangunan akhlak. Jangan sampai sensasi tentang gedung tertinggi kedua di dunia tersebut sebatas seremonial saja. Tidak hanya itu, pemerintah Arab Saudi juga disarankan untuk melakukan pertemuan lintas negara agar mencapai sebuah kesepakatan. Rohadi meyakini, hal tersebut tidak akan berjalan mulus, khususnya dari negara-negara Barat. “Karena ini perubahan drastis dari negara Barat ke Timur Tengah,” tegasnya.
Jam Hijriyah
Sementara itu, pakar astronomi ITB Moedji Raharto menyarankan agar MMT nantinya dijadikan jam hijriyah. Usaha pemerintah Arab Saudi untuk menggeser pusat waktu dunia ke Makkah memang bukan perkara mudah. Hal yang bisa dilakukan sekarang adalah dengan menjadikan jam raksasa tersebut sebagai acuan waktu hijriah terlebih dahulu.
“Sekarang kan baru ada penanggalan hijriah, kenapa tidak dibuat saja semacam penyatuan waktu untuk jam hijriah,” kata Moedji Raharto sambil mengakui bahwa butuh usaha besar untuk menjadikan Makkah seperti Greenwich Mean Time (GMT). Sebab, negara-negara lain yang terlanjur menggunakan acuan waktu di wilayah tenggara London tersebut akan melakukan penyesuaian besar-besaran.
Alternatif lain yang bisa dilakukan pemerintah Arab Saudi, menurut Moedji adalah menjadikan menara kedua terbesar di dunia tersebut sebagai simbol Islam selain Ka’bah. Tujuannya, lebih ke arah penyatuan semangat emosional umat muslim di seluruh dunia. “Barangkali itu bisa lebih pada penyatuan umat muslim dan sebagai simbol umat Islam selain haji. Begitu kita lihat jam itu, kita bisa melihat Makkah bagaimana,” paparnya.
Moeji yang juga mantan kepala Observatorium Bosscha ini juga menyarankan agar pemerintah Arab Saudi mengajukan konsep yang jelas terlebih dulu soal penyeragaman waktu hijriah ini. Termasuk kaitannya dengan penggunaan waktu berdasarkan matahari. “Kalau sudah ada, terus bagaimana set up-nya. Saya sendiri belum tahu apa yang ditawarkan konsepnya oleh Makkah. Selama ini kan sudah ada penggunaan waktu matahari,” paparnya.
Menara Jam Raksasa
Seperti diketahui, pemerintah Arab Saudi membangun menara jam lima kali lebih besar dibandingkan Big Ben di London, Inggris. Meski bangunannya belum sepenuhnya rampung, jam raksasa yang terletak di puncak menara Abraj Al-Bait itu sudah mulai berdetak. Menara jam ini berbentuk kubus empat sisi. Diameter jam mencapai 40 meter, mengalahkan jam terbesar sebelumnya yang menjadi atap Cevahir Mall di Turki yang hanya dengan diameter 35 meter. Waktu yang digunakan oleh jam tersebut adalah Arabia Standard Time, tiga jam lebih dulu jika dibandingkan dengan GMT.
Sejak 125 tahun lalu, GMT telah disepakati sebagai wilayah yang dijadikan ukuran awal waktu dunia karena dilalui titik nol derajat. Penentuan titik ini penting untuk mempermudah ukuran waktu perjalanan dan komunikasi antar-negara. Bagi Arab Saudi, Makkah dianggap lebih tepat sebagai episentrum dunia. Kota suci umat muslim tersebut diklaim sebagai wilayah tanpa kekuatan magnetik oleh peneliti Mesir seperti Abdel-Baset al-Sayyed. Artinya, jarum kompas tidak bergerak saat di Makkah.
Dengan adanya waktu dan sistem kalender sendiri, masalah-masalah yang biasanya terjadi pada penentuan waktu seperti 1 Ramadan atau 1 Syawal, tidak akan terjadi lagi. Dengan adanya perubahan permulaan titik ‘nol’-nya ini, maka umat Islam akan mempunyai waktunya tersendiri dan melengkapi almanak hijriah umat Islam. (muionline/esbeem)