DALAM sebuah film pendek Indonesia, saya lupa judulnya, mungkin maksudnya sekedar sindiran. Ada suatu dialog antara seorang wanita muda yang berpenampilan miskin dan kumuh dengan seorang ustadz atau kiai. Wanita itu memprotes sang Ustadz dengan mengeraskan suaranya, dengan nada yang agak tinggi dan dengan wajah seperti orang yang menunjukkan kemarahannya.
Wanita itu mengatakan antara lain; Ustadz, kenapa kalau berdakwah hanya dari masjid ke masjid saja, mereka itu memang jamaah yang sudah beriman dan berilmu, tapi kami yang bertempat tinggal di bawah kolong jembatan ini, kenapa tidak didatangi! (sambil menunjuk dengan telunjuknya ke lokasi tempat tinggal mereka, sambil meneteskan air mata), kami kan juga saudara muslim yang memerlukan dakwah juga, tapi kami tidak punya apa-apa lanjutnya.
ACARA silaturrahim Da’i Al Washliyah sudah di ambang pintu,Insya Allah dimulai 20-23 Mei 2013 di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Mari kita sukseskan dan dukung bersama acara tersebut. Tentu saat ini para pihak terkait sedang bersiap-siap dalam kesibukan yang tinggi untuk menyukseskan acara penting ini, tidak hanya dilakukan oleh panitia pelaksana saja, melainkan juga di antara peserta yang akan hadir, tidak sekedar datang sebagai peserta penggembira saja, tetapi sudah mempersiapkan bahan tertulis berupa pandangan maupun usulan yang ingin disampaikan dalam forum, berdasarkan ilmu dan pengalaman yang dimiliki masing-masing selama berda’wah.
Para peserta tentunya ingin memberikan pandangan dan usulannya, tentang konsep strategi dan metode dakwah kontemporer masa kini dan masa mendatang, ditampilkan secara tepat sasaran dalam dakwah Al Washliyah. Selain itu, akan menyarankan tentang sarana dakwah yang modern dan maju, termasuk kegiatan publikasi dakwah, yang disebar secara luas melalui media cetak maupun elektronik dan media sosial lainnya. Melakukan evaluasi tentang hal-hal yang positif maupun negatif, tidak lupa turut memperhatikan kehidupan dan kesejahteraan para da’i, dan juga mengkritisi kegiatan dakwah Al Washliyah yang dilaksanakan selama ini, dibarengi dengan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan.
SEKADAR SUMBANG SARAN
Seperti diungkapkan dalam kata pendahulu di atas, selain mereka yang tinggal di bawah jembatan, masih banyak komunitas muslim lain yang belum tersentuh oleh dunia dakwah Islam. Mereka saudara kita yang memerlukan sentuhan dakwah, tapi da’i agak jarang mendatangi mereka. Kalau dakwah yang dilakukan di masjid-masjid atau di kampus, para Ustadz/ustadzah dalam posisi diundang, difasilitasi dengan transportasi dan diberi honor oleh panitia pelaksana, dakwah seperti itu dapat dilakukan secara sendiri-sendiri.
Bagi komunitas yang tidak terjangkau oleh dakwah, mereka biasanya tidak punya inisiatif untuk mengundang para Da’i, mereka kaum dhu’afa yang perlu didatangi secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama oleh para da’i, atas inisiatif dan fasilitas sendiri dengan segala perjuangan dan pengorbanan. Jika diperlukan dapat mengajak masyarakat untuk sama-sama memberi dukungan financial, untuk kesuksesannya, sebagai wujud dari tanggung jawab bersama umat Islam dalam meluaskan syiar Islam.
Kegiatan dakwah sehari-hari yang dilakukan para Da’i secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dari masjid ke masjid, biasanya dihadiri hanya beberapa orang saja. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun orangnya itu lagi, itu lagi. Mereka yang suka hadir mengaji ke masjid atau majlis taklim, sudah secara otomatis menjadi aktifis pengajian, namun jumlahnya sangat terbatas, dibanding jumlah umat Islam keseluruhan yang berada di sekitar mereka, apa lagi di ibukota Jakarta. Kalau begitu yang lainnya bagaimana?.
Kalaupun ada semarak dakwah yang dilakukan di luar masjid seperti di Radio dan di TV, umumnya yang mendengar orang-orang yang rajin mengaji ke masjid juga. Dengan demikian berarti masih banyak ruang kosong yang belum tergarap oleh para da’i di dalam kegiatan dakwahnya. Demikian pernah diungkapkan dalam satu seminar dakwah, sebagai hasil penelitian dari lembaga dakwah tertentu.
Suatu kegiatan yang baik sekali untuk dilakukan secara bersama oleh grup Da’i Al Washliyah di daerah masing-masing di seluruh Indonesia, apakah dilakukan seminggu sekali atau sebulan sekali, dengan cara turun bersama ke daerah-daerah dan komunitas-komunitas masyarakat yang jarang bahkan di antaranya tidak pernah terjamah oleh dakwah Islam antara lain; orang-orang yang tidak memiliki rumah dan tinggal di bawah kolong jembatan, anak-anak jalanan, anak-anak yang putus sekolah karena kemiskinan, orang-orang yang sedang sakit di rumah sakit, orang yang berada di penjara, orang yang berada di rumah jompo, anak-anak yatim, orang yang berada di lokasi pelacuran, anak muda seniman jalanan, anak-anak gaul, preman, dll. Selain itu ada juga yang berada di daerah terpencil perlu terus dilakukan da’wah sesuai kemampuan.
Saya pernah terkagum melihat seorang teman dekat, dia orang India beragama Hindu, seorang dokter ahli kulit yang terkenal di daerahnya. Waktu itu saya sedang bertugas di Mumbai, India. Suatu hari dia mengajak saya untuk menyaksikan kegiatannya dilakukan seminggu sekali ke daerah orang miskin. Katanya dalam seminggu ada tujuh hari, enam hari dia gunakan untuk bekerja mencari duit melakukan praktek dokternya, dan satu hari sengaja waktunya dia abdikan untuk mengobati orang miskin tanpa bayaran, padahal sekali berobat bayarnya mahal sekali karena dia dokter ahli yang terkenal.
Seandainya kalangan Da’i Al Washliyah dapat melakukan hal yang sama seperti dokter kulit tersebut, untuk melakukan kegiatan dakwah Islam sekali dalam sebulan, ke daerah yang tidak terjangkau atau jarang tersentuh oleh dakwah Islam secara umum, alangkah mulianya kegiatan itu. Banyak sekali umat yang belum tergarap oleh dakwah sebab kemiskinan, atau karena keengganan mereka untuk bergabung mengikuti kegiatan dakwah yang biasa dilakukan secara umum. Mereka menunggu kita.
Selamat bersilaturrahim
Wassalam
Penulis- Abdul Mun’im, Ritonga, SH.MH.
Ass. Mungkin, yang Abangda H. Mun’im
maksud adalah : Film Drama Religi “Emak ingin Naik Haji”. inilah dilemma kita
sebagai Da’i di Indonesia. Terkadang kita seperti Obor, terang ditengah
kegelapan, namun temaram dan gelap di pangkal tanah. “Senang dan sulit” adalah
dua ujian bertolak belakang yang akan selalu dihadapi para Da’i dalam hal
konsistensi di jalan da’wah. “Rongrongan keluarga, kedengkian sesama muslim,
hadangan, kekejian dan makar orang-orang kafir, penguasa yang dzalim, dan masih
banyak lagi. Ingin berda’wah, namun tidak mau menghadapi kesulitan, tentu
mustahil. Dan manusiawi juga rasanya, jika
banyak diantara kita yang enggan dan menghindari kesulitan. Da’i juga manusia,
tak luput dari salah dan dosa.
—muhammad zein nurdin–