DA`I biasa disebut di masyarakat Indonesia sebagai penceramah, pendakwah atau seorang ustaz yang menyampaikan dakwah kepada umatnya dengan berceramah. Namun pada intinya “Da’wah” itu adalah mengajak umat untuk menuju hidayah syari’at Allah yaitu Islam yang sesuai dengan tuntnan Alqur’an dan Sunnah.
Kata da’i dalam bahasa Arab berasal dari kalimat : da’a- yad’u-du’aa’an-da’wan ( دَعَا – يَدْعُـو – دُعَاءً – و دَعْـوًى) yang berarti memanggil, mengajak. Sedangkan Daa’i atau Adda’I jama’ dari Du’aat (دَاعٍ – الداعِى ج دُعاةٌ) atau Daa’iyah bentuk pluralnya Daa’iyaat (داعيـة ج داعيات) bermakna menyeru, yang memanggil, yang mengajak orang-orang masuk agama atau mazhabnya.
Sedangkan Da’wah (دَعْوَةٌ) bermakna mengundang kenduri atau makan. Du’a (دُعاء ج أُدعِـيَّـة) bermakna Do’a, menyeru, meminta. (Muhammad Idris Almarbawi, lahir tahun 1313H di Masfalah Makkah Almukarramah). Hakikat lapangan dakwah yang sesungguhnya tidak semata-mata sebagai seorang da’i (pendakwah) atau penceramah. Lebih luas konteks lapangan dakwah yang sesungguhnya adalah seluruh aspek kehidupan yang meliputi politik, pendidikan, ekonomi, budaya, seni dan sastra, sosial, meliter, Agama, tekhnologi, peradaban, dlsb. Jika diperkecil lapangan dakwah itu ibarat sebuah negara atau sebuah pemerintahan yang dikelola oleh rakyat dan para pemimpinnya. Jika lebih dikerucutkan kembali lapangan dakwah itu adalah gerakan organisasi terkhusus ormas-ormas Islam yang bergerak dibidang pendidikan, Agama, sosial, ekonomi, dsb.
Maka siapapun yang mengelola negara atau organisasi dapat dikatakan sebagai “Da’i”. Lantas apa peranan da’i dimata umatnya? Baik buruknya sebuah negara atau organisasi akan dilihat sejauh mana peranan da’i yang mengelola atau berperan didalamnya. Kita tidak terlalu jauh untuk mengupas makna da’i secara luas. Dalam tulisan ini saya akan lebih mengkerucutkan kembali kepada peranan da’i yaitu sosok pendakwah atau penceramah agama dimata umatnya sesuai dengan agenda yang akan digodok di Tugu Tani Puncak Bogor yang Insya-Allah akan diadakan pada 20-21 Mei 2013.
Peranan Pendakwah
Peranan, kepribadian, karakter, ketokohan dan fungsi pendakwah di tengah-tengah umat adalah salah satu yang terpenting dalam membentuk karakter umat yang berkembang di Indonesia dari sejak zaman para ulama sebagai perintis awal dalam perkembangan Islam di Nusantara seperti Syeikh Hamzah Al Fansuri sekitar abad ke-15/16M yang lahir di Sumatera Utara (dalam riwayat yang rajih), Syeikh Abdur Rauf Bin Ali Al Fansuri, 1583 – 1660 M lahir di Barus Sumut, ahli Fikih/Tafsir Syeikh Samsuddin As Sumatrani bin Abdullah As Sumatrani wafat 1039H/1630M atau 1661M (asal Sumatera Utara, menurut riwayat yang rajih. Sunan Bonang pernah berguru kepada beliau ), Syekh Abdul Wahab Rokan asal Riau (1230-1345H/1811-1926M), dll sampai berdirinya ormas Islam Al Jam’iyatul Washliyah pada tahun 1930 yang memiliki tokoh-tokoh penting berkharismatik dalam berdakwah, disegani oleh kawan dan lawannya seperti Syekh Ja’far Hasan Almakki (1883-1950), Syekh Muhammad Yunus Almakki (1889-1950), Syekh Abdurrahman Syihab (1910 – 1955), Syekh Ismail Banda Alazhari, Tuan Guru Syekh Al Haj Arsyad Thalib Lubis (1908-1972), dll.
Kita tidak dapat menafikan para ulama terdahulu mampu mewariskan karakter kepribadian dan metodologi dakwa yang kuat dan berakar yang terus dihormati dan dibanggakan dan menjadi catatan tinta emas dalam perjalanan sejarah Indonesia sampai sekarang yang harus benar-benar kita jadikan contoh suri tauladan yang tidak dapat kita abaikan begitu saja. Karena ketokohan dan sosok keperibadian sang pendakwah akan menjadi anutan dan kekuatan besar bagi umatnya, jika pendakwah itu benar-benar memiliki integritas, kesabaran, kualitas, etika akhlak dan istiqamah dalam mengembangkan syari’at Islam ditengah-tengah umatnya, negara dan bangsanya. Diantara karakter pendakwah yang harus dimiliki disamping sifat-sifat di atas diantaranya sebagai berikut:
a.Benteng Diri
Para da’i harus memiliki benteng diri. Benteng diri yang dimaksud adalah harus memiliki amalan-amalan yang dapat memperkuat mental secara lahiriyah dan secara ruhiyah (bathiniyah) seperti tidak boleh lepas atau meninggalkan amalan-amalan sunnah apalagi meremehkannya seperti Shalat Tahajjud, puasa sunat, mengamalkan zikir-zikir, selawat dan do’a-do’a yang Ma’tsur (yang ada di dalam Alqur’an dan yang di ajarkan oleh Rasulullah Saw) atau yang diajaran oleh para wali, ulama-ulama shalih yang murni semata-mata karena Allah Swt. Namun berhati-hati mendapat atau memperoleh amalan yang berasal dari orang-orang yang mengatasnamakan guru seperitual, Kiyai, Kie, Eang, Mursyid, dsb yang menggunakan kekuatan-kekuatan ghaib lainnya seperti Jin dan Setan.
Benteng diri ini bermaksud agar para pendakwah dapat melindungi diri, keluarga dan umatnya dari segala bentuk macam fitnah. Sama ada fitnah itu datangnya dari kebodohan dan kelemahan diri sendiri, golongan manusia yang munafiq atau fitnah kejahatan yang datangnya dari golongan manusia, Jin dan Setan. Karena tantangan bagi para pendakwah dari sejak zaman Rasulullah Saw, para sahabat sampai sekarang, bahkan sampai kiamat adalah fitnah-fitnah sebagaimana disebut di atas. Orang yang memiliki benteng diri sebagaimana di sebut di atas, ia akan selalu dalam naungan dan lindungan juga akan mendapat petunjuk kepada jalan yang Allah Swt redhai. Sebagaimana Allah Swt menyebutkan di dalam Alqur’an:
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ {سورة فصلت [41] : 36}
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fus-Shilat [41] : 36)
Lalu Allah Swt memberikan penawar bagi siapa saja yang mendapat gangguan baik yang datangnya dari sifat buruk dirinya sendiri, orang lain, orang munafiq maupun Jin dan Setan sebagaimana Allah Swt berfirman:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا . وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً . هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلاَئِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا . تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلاَمٌ وَأَعَدَّ لَهُمْ أَجْرًا كَرِيمًا . (سورة الأحزاب [33] : 41-44)
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka” (QS. Alahdzab [33] : 41-44).
Benteng diri bukan untuk ria, pamer, atau mencari keuntungan dunia semata. Amalan itu semua harus murni ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan menjernihkan ma’rifat kepada sang Ilahi. Karena benteng diri atau amalan-amalan yang murni ikhlas karena Allah semata, amalan tersebut akan memancarkan nur kebaikan sesuai dengan thabi’at, amal, perilaku dan hati bagi seseorang yang mengamalkannya. Semangkin bersih hati dan prilaku diri sang pangamal, maka semangkin baik pula nur yang diperoleh dirinya, namun jika semangkin jelek amal perbuatan dan kotor hatinya, maka amalan-amalan tersebut akan semangkin jauh pula dari hidayah dan nur yang akan diperolehnya. Berbeda dengan orang yang memakai kekuatan, kharisma, dll yang bersumber dari alam ghaib selain dari Allah Swt. Maka semua yang diperolehnya itu akan tetap terus melekat pada dirinya meskipun dia fasik, hati dan perbuatannya kotor atau jauh dari Allah Swt. Sebagaimana Alqur’an menyebutkan sebagai berikut:
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ . وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ {سورة الزخرف [43] :36-37}
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS. Az-Zukhruf [43] : 36-37)
Lalu Allah SWT mengatakan di dalam ayat lain sebagai berikut :
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَءَاهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي مَن يَشَآءُ فَلاَ تُذْهِبْ نَفْسَكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ {سورة فاطر [35] : 8}
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. Faathir [35] : 8)
Amalan-amalan yang dijadikan sebagai benteng diri sebagaimana di sebut di atas harus diamalkan secara kontiniyu dan terus menerus, minimal dilakukan setiap selesai melakukan Shalat Fardhu lima waktu. Jika tidak memiliki waktu yang lapang dapat dilakukan sambil berjalan, dikenderaan, bekerja atau diqadha pada waktu-waktu yang lapang.
b.Firasat
Seorang pendakwah harus memiliki ilmu firasat. Kata firasat dalam bahasa Arab disebut juga dengan Alhissu Albaathini (الحس الباطني ; Hunch ; Firasat) atau Syu’uur Alqalbi (شعور القلب ; Presentiment ; Firasat). Ilmu firasat dapat diperoleh dari berbagai macam jalan seperti dapat diperoleh dari ilmu filsafat, ilmu jiwa, seni satra, dlsb. Ilmu firasat ini berfungsi agar para pendakwah dapat mengetahui ketika ingin atau sedang menyampaikan dakwahnya apakah orang lain mudah menerimanya, senang, bosan, mengantuk, tidak paham, pendengar berpura-pura paham, tidak suka, membosankan karena waktunya terlalu lama, terlalu cepat, atau orang tidak suka materi yang kita sampaikan, dlsb. Ilmu firasa juga dapat berfungsi untuk mengontrol muru’ah kita agar tidak terjerumus dari jebakan-jebakan orang-orang yang munafiq, dengki dan hasad kepada diri kita.
c.Berwawasan Luas dan Aktual
Kondisi waktu, tempat dan zaman akan menjadi tolok ukur bagi pendakwah untuk mensesuaikan kondisi permasalahan umatnya yang meliputi tatanan sosial, budaya, tekhnologi, dan globalisasi. Pendakwah jika tidak aktif dan konsen terhadap perkembangan waktu dan perkembangan globalisasi akan mengalami benturan dan hambatan dalam memberikan solusi kepada umatnya. Kondisi riel tatanan sosial dan globalisasi yang terus semangkin berkembang mau tidak mau, suka atau tidak suka para da’i akan dihadapkan kepada umatnya mampu atau tidak untuk memecahkannya.
Berwawasan luas dan konsen terhadap kondisi dan berita-berita aktual para da’i harus dapat lebih bayak menggunakan waktu untuk membaca dan melihat perkembangan. Jika kualitas membaca lemah maka hasil yang diperoleh dari sosok sang da’i atau pendakwah akan menjadi lemah pula. Dinegara-negara yang ilmu pengetahuan agamanya sudah berkembang pesat di masyarakatnya seperti di Timur Tengah seorang da’i atau pendakwah kedudukannya sama dengan seorang ulama, intelektual atau pemikir, sebagai contoh seorang da’i yang tersohor yang sudah tidak asing di dunia internasional seperti Syekh Sya’rawi, Dr. Yusuf Qardhawi, Prof.Dr. Zaglul, dll.
Apa yang terjadi saat ini di Indonesia seorang da’i atau pendakwah lebih banyak yang tampil di masyarakat atau media baik elektronik atau Teleisi yang kemampuan ilmu agamanya masih minim hanya lebih menonjolkan kelakar, jingkrak-jingkrak, seloroh, lawak dan intertainya. Terkadang sudah tidak dapat dibedakan mana acara dakwah mana acara lawakan mereka sudah tidak peduli muru’ahnya dianggap rendah.
d.Menghormati Seluruh Ulama
Secara harfiah aneh memang, kenapa ada anjuran seorang pendakwah harus menghormati seluruh para ulama, bukankah seorang da’I adalah cermin seorang ulama? Sepantasnya anjuran ini untuk umat atau orang awam bukan untuk para da’i. Anjuran kepada sang pendakwah dalam tulisan ini sangat jarang terjadi dinegara-negara Muslim lainnya. Tetapi kita tidak dapat menutup mata atau mengenyampingkan persoalan yang dianggap remeh seperti ini.
Kita semua merasa sangat perihatin terhadap budaya rendah ini. Masih ada kita jumpai dibeberapa wilayah di Indonesia ini bahwa budaya rasa hormat yang berkembang di masyarakat terhadap para ulama masih kurang mendapat tempat. Bahkan tidak sedikit diantara mereka sesama pendawah, sesama ustadz, sesama ulama saling mencari kesalahan satu sama lain. Mereka beralasan ulama sekarang tidak sama dengan ulama terdahulu, jadi pantas saja tidak perlu dihormati. Argumentasi ini sangat tidak mendasar dan tidak wajar. Sangat banyak Alqur’an menceritakan dari zaman para Rasul sebelum Islam sampai masa Rasulullah Muhammad Saw, para sahabat bahkan sampai kiamat tetap ada orang-orang yang munafiq yang gemar mencari-cari atau menuduh para ulama itu buruk dan jelek dimata mereka. Jika sifat keji ini terdapat pada orang-orang yang munafiq memang sudah wajar, tetapi jika sifat-sifat keji ini diadopsi oleh para pendakwah atau seorang ustaz, alangkah nistanya. Na’udzubillah min Dzalik.
Ingin menonjolkan dirinya yang paling lebih hebat dari yang lainnya. Naif memang, hanya gara-gara perbedaan dalam memahami literlek, baris, I’rab bahasa Arab saling merendahkan. Belum lagi karena berbeda pemikiran, partai, organisasi, pemahaman, malah saling menghumbar aib. Budaya rendah seperti ini harus dibuang jauh-jauh. Kunci keberhasilan dalam membina umat, sipendakwah harus mampu memberi contoh kepribadian kepada umatnya untuk saling menghormati, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, apa lagi kesalahan sesama pendakwah atau sesama ustaz. Di dalam Alqur’an sangat banyak ancaman dan laknat Allah Swt bagi orang yang suka menuduh dan mencari aib orang lain terlebih aib para ulama. Sebagaimana Allah Swt berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِينًا . وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا {سورة الأحزاب [33] : 57-58}
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya (termasuk para ulama shaleh). Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata .”(QS. Alahdzab [33] : 57-58)
Jika ada ulama Suu’ (Ulama jahat) biarkan Allah yang memberi hukuman kepadanya di dunia dan akhirat, dan jika kesalahan ulama itu pada perkara pidana laporkan kepada penegak hukum agar dapat dihukum dengan seadil-adilnya. Jangan jadikan kesalahan itu semua menjadi buah bibir kita untuk kita jadikan senjata dan permainan sesama kita untuk saling merendahkan dan saling menghinakan. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang terlepas dari salah, lupa dan dosa terkecuali Rasulullah Saw yang Ma’shum (terlepas dari lupa, salah dan dosa). Bahkan sepuluh sahabat Radhiallah Ta’ala ‘Anhum Azma’in (1. Abu Bakar Shiddiq, 2. Umar bin Khattab, 3. Utsman bin Affan, 4. Ali bin Abi Thalib, 5. Sa’id bin Abi Waqqash, 6. Sa’id bin Zaid Amru bin Nufail, 7.Thalhah bin Ubaidillah, 8. Zubair bin Awwam, 9. Abdurrahman bin Auf, dan 10.Abu Ubaidah Amir bin Aljarrah) yang sudah dijamin oleh Rasulullah Saw langsung masuk surga saja, masih diterpa fitnah dan perlakuan kezaliman oleh orang-orang yang munafiq. Jangan sampai para pendakwah kita hancur terjebak dalam kubangan kemunafikan dirinya sendiri dan umatnya. Semoga tidak. Wallahua’lam. Munajat Rasulullah Saw dalam makna do’anya:
اللهم أَلِّـف على الخير قلوبنا , وأصلح ذات بيننا , واهدنا سبل السلام وجنبنا الفواهش و الفتن , ما ظهر منها وما بطن.
KH. Ovied.R
Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia] Hp: 021.406.208.33/ 088.885.818.84. Email: dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com Facebook: Buya Ovied