JAKARTA – Indonesia negeri yang dikarunia dengan sumber daya mineral yang besar seharusnya memiliki perusahaan BUMN kelas dunia. Negara-negara yang kaya mineral seperti Brazil, terbukti telah berhasil menghasilkan perusahaan kelas dunia seperti Vale, yang awalnya adalah BUMN di Brazil yang bernama CVRD. Perusahaan tambang Codelco dari Chile menjelma menjadi raksasa tambang dunia.
Sayangnya, hal itu tidak bisa di ikuti oleh perusahaan yang ada di Indonesia. Nasib ini sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh perusahaan tambang BUMN nasional seperti PT. Aneka Tambang (Antam Tbk) yang masih terkesan “jago kandang”.
“Padahal dengan potensi sumber daya dan cadangan yang besar, Antam yang kinerja keuangannya relatif cukup baik, seharusnya bisa mengkonversikan segala keunggulan yang dimiliki untuk menjadi perusahaan tambang kelas dunia,” terang Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat Pro Rakyat (LSM Pro Rakyat) Barlian. SE, dalam Rilisnya yang di sampaikan kepada wartawan di Jakarta, Senin (22/4/2013).
Menurut Bralian, dari segi kinerja keuangan, Antam tetap membukukan profitabilitas ditengah volatilitas harga komoditas mineral dunia di tahun 2012. Laba bersih yang konsolidasi di tahun 2012 tercatat sebesar Rp. 2,99 triliun atau naik sekitar 55,25% dari tahun 2011 sebesar Rp. 1,93 triliun.
“Sejalan dengan itu, laba bersih per saham dasar perseroan meningkat menjadi Rp. 314 per lembar saham dibandingkan Rp. 202 per saham di 2011. Di lain sisi kinerja penjualan emiten berkode ANTM itu pada periode Januari-Desember 2012 tercatat hanya meningkat dengan margin minim 1%,” bebernya.
Meskipun indikator keuangan relatif baik, kata Barlian, sejatinya Antam bisa meningkatkan kinerja keuangan dengan mengkapitalisasi asset-asset yang dimiliki. Tidak terlihat teroboson signifikan dalam melakukan hedging untuk mengantisipasi harga komoditas mineral yang fluktuatif.
“Dalam periode kepemimpinan Alwin Syah Loebis, dapat dikatakan Antam menyia-nyiakan beberapa peluang pengembangan usaha. “Opportunity Loss” itu dilihat dari gagalnya Antam “mengkapitalisasi” proyek bijih nikel di Buli Maluku Utara. Persaingan Antam dalam perebutan asset tambang timbal-seng PT Dairi Prima Mineral menunjukkan masih lemahnya perusahaan pelat merah tersebut dalam persaingan usaha,” urainya.
Barlian mengatakan, Antam seharusnya bisa memaksimalkan kinerja mereka di beberapa tambang dimana Antam memiliki penyertaan saham seperti di Weda Bay Nickel, Vale Eksplorasi, Nusa Halmahera Minerals (NHM) dll.
“Gebrakan Antam barulah dilakukan di akhir 2012 dengan meningkatkan kepemilikan sahamnya di NHM sebesar 7.5% sehingga menguasai 25% sedangkan sisanya dimiliki oleh Newcrest. Aksi korporasi seperti yang baru dilakukan di NHM seharusnya bisa lebih aktif dilakukan di tahun-tahun sebelumnya,” kata Barlian.
Meskipun dikenal sebagai perusahaan “pelat merah” yang seharusnya memiliki “privilege” dalam mendapatkan perizinan baik ditingkat pusat maupun daerah, namun Antam terlihat “kedodoran” dalam segi perizinan. Antam merupakan salah satu perusahaan yang dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Tipikor atas dugaan penyalahgunaan hutan.
“Izin kehutanan perusahaan BUMN tersebut di dinas kehutanan Jambi hingga saat ini masih bermasalah. Proyek smelter nikel di Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara bahkan menimbulkan masalah tumpang tindih perizinan dengan pemda setempat. Beberapa contoh diatas menunjukkan bagaimana lemahnya kinerja manajemen Antam di beberapa tahun terakhir ini,” tandasnya.
Sebagai perusahaan BUMN, kata Barlian, dengan potensi cadangan mineral yang besar seharusnya Antam sudah memulai mengepakkan sayap mencari potensi di beberapa negara tetangga. Ekspansi yang akan dilakukan di Myanmar terbilang masih setengah hati. Sebenarnya banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Antam khususnya dalam mengantisipasi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Dengan keunggulan pengalaman, diversifikasi asset, dan sumber daya manusia Antam sudah selayaknya menjadi pemain utama di wilayah asia tenggara.
Melihat fakta-fakta di atas sungguh disayangkan apabila Antam tidak dapat berkembang menjadi perusahaan kelas dunia. Paling tidak di periode 3-6 tahun ke depan Antam bisa meningkatkan kinerja secara signifikan untuk mencapai misi menjadi perusahaan kelas dunia. CVRD di Brazil hanya membutuhkan 10 tahun sejak privatisasi untuk menjadi perusahaan pertambangan terbesar nomor 2 didunia di bawah BHP Biliton.
“Pimpinan Antam berikutnya perlu mencanangkan misi tersebut. Oleh karena itu Antam harus berhati-hati dalam memilih nakhoda baru di RUPS tanggal 30 April 2013. Sudah saatnya Kementerian BUMN sebagai “principal” mempertimbangkan pimpinan yang memiliki visi panjang, pengalaman internasional, dan kelebihan-kelebihan yang dibutuhkan untuk membawa Antam menjadi perusahaan kebanggaan bangsa,” harapnya. (ry/gardo)