SEPERTI yang dibaca dalam berita website kabarwashliyah.com beberapa waktu lalu bahwa Ketua PB Al Washliyah Koordinator Bidang Dakwah, H. Masyhuril Khamis, menyatakan Majelis Dakwah PB Al Washliyah akan mengadakan Silaturrahim Nasional Da’i Al Washliyah dalam waktu dekat.
Saya membayangkan betapa pentingnya forum silaturrahim para da’i untuk membahas berbagai hal terkait dengan dakwah yang dilakukan oleh kalangan Al Washliyah, seperti; meninjau kondisi dan kualitas para da’i, kondisi jamaah sebagai objek dakwah, materi dakwah yang diberikan, metode dakwah yang digunakan, evaluasi dampak dan hasil dari ajaran dakwah yang diajarkan, dakwah kontemporer dsb.
Semoga acara silaturrahim para Da’i tersebut sukses dengan dihadiri banyak peserta dan membuahkan hasil yang bermanfaat untuk Syiar Islam.
Tulisan ini dibuat sekedar untuk ikut meramaikan acara temu Da’i Al Washliyah, mengungkapkan tentang pengalaman dakwah saya bersama kawan-kawan dengan Al Washliyah ke daerah pedalaman, Tanah Karo, Sumatera Utara, lebih dari 30 tahun yang lalu untuk mengenang kembali semangat berdakwah pada masa itu.
Tulisan ini juga ditujukan kepada rekan-rekan alumni Kursus Kader Dakwah Al Washliyah periode sebelum maupun sesudah tahun 1977 yang memiliki kenangan yang sama. Semoga dapat membangkitkan kembali ingatan saat berdakwah tempo dulu. Mungkin cerita ini ada lebih kurangnya karena ditulis berdasarkan ingatan yang sudah lama tersimpan.
INDAHNYA KENANGAN ITU
Ini kisah nyata dari sebuah perjalanan dakwah yang dialami secara pribadi maupun bersama-sama dengan rekan-rekan lannya, ada rasa kenikmatan sendiri untuk menceritakannya kembali. Dalam kisah perjalanan itu ada rasa ngeri, tapi ada pula rasa keindahan di balik ceritanya. Jika dikilas balik peristiwanya dapat dibayangkan bagaikan sebuah film seri atau sebuah sinetron dakwah namun peristiwanya sungguh-sungguh terjadi.
Walau peristiwanya sudah lama berlalu, namun hingga saat ini masih tersimpan ingatan dan kenangan yang dalam, bahkan masih mempunyai ikatan batin yang kuat dengan masyarakat maupun dengan kampung Siberteng (membaca kedua huruf e pada kata siberteng seperti membaca huruf e pada kata “denah”). Kampung dimana saya dan kawan-kawan menjalani bagian dari masa remaja ikut terjun berdakwah pertama sekali bersama rombongan Dakwah Al Washliyah ke daerah pedalaman sekitar tahun 1976-1977. Perjalanan dakwah ini banyak menyimpan kesan, kenangan dan kisah menarik tentang adat istiadat setempat, cerita lucu tentang keislaman mereka, kehidupan sehari-hari penduduk dan pemikiran kita tentang lanjutan dakwah di sana.
Kampung Siberteng adalah suatu kampung kecil, dahulu posisinya masih terpencil dari Kota Brastagi, Sumatera Utara, jaraknya lebih kurang 60 sampai 70 Km dari Kota Medan. Letak kampungnya berada di daerah pegunungan yang sejuk seperti Puncak Bogor, Jawa Barat, jika angin berhembus melintasi tubuh terasa nikmat sejuknya, pemandangan di sekelilingnya indah dihiasi pegunungan hijau yang terlihat dari kejauhan, awan yang bergerak di langit kadang berwarna putih dan kadang berwarna abu-abu gelap membuat suasana lingkungan alam semakin indah seperti terlihat pada lukisan di atas kanvas. Terlihat kebun sayur dan buah-buahan yang subur bewarna warni merah dan hijau, sawah yang membentang terlihat menguning dari ketinggian bukit bagaikan hamparan permadani dan hutan lebat yang hijau dapat memberikan inspirasi bila memandangnya.
Masyarakatnya ramah-tamah, lugu layaknya orang desa di pedalaman yang agak terisolir dari keramaian kota, pada saat itu ada kenangan yang besar dengan masyarakatnya, terasa suasana hangat dan akrab dengan orang desa di mana pada saat itu lebih dari tujuh puluh orang masyarakat setempat kami Islamkan. Meskipun kampungnya di pedalaman menurut orang setempat desa itu cukup dikenal di sekitarnya karena sebelumnya Buya Hamka pernah datang ke kampung itu berdakwah sambil mendirikan sebuah masjid kecil dan mengislamkan ratusan orang Karo.
Belakangan ini saya masih menyempatkan diri beberapa kali berkunjung ke kampung Siberteng bersama isteri dan anak-anak jika sedang bertandang ke Berastagi atau Kabanjahe. Meski sudah lama waktu berselang dan saya sudah melanglang buana ke berbagai negara, namun orang kampung itu masih kuat ingatannya maupun kesannya terhadap grup dakwah kami walau misi dakwah yang datang sesudah itu silih berganti. Kedekatan batin masih kuat dan hangat bahkan masih saling mengenang, merindukan dan selalu menceritakan kepada orang lain kesan yang pernah terjadi. Ada seorang nande (ibu) yang kebetulan bertemu saat kami berkunjung ke Siberteng mengingatkan kepada saya mengatkan; “kan kam yang mengislamkan saya waktu dulu” (kam artinya anda), Saya agak tersentak mendengarnya.
KURSUS DAKWAH PB AL WASHLIYAH SEKITAR PERIDE 1976-1977
Saya sudah ikut menjadi peserta Kursus Kader Da’wah yang diadakan oleh PB Al Washliyah sejak tahun 1976, Sebagai penanggung jawab pelaksanaannya Almarhum Bapak Haji Harun Amin Nasution (beliau mantan anggota DPRD Sumut dan DPR RI). Kegiatan kursus dakwah waktu itu cukup aktif, setiap setahun sekali MPDI PB Al Washliyah mengadakan kursus dakwah di Kantor PB Al Washliyah Jl Sisingamangaraja Medan, lokasinya di depan Makam Pahlawan kota Medan, sekarang menjadi Kantor PW Al Washliyah Sumatera Utara. Hasil dari kursus dakwah tersebut besar sekali, pada saat itu banyak didapati para kadernya tampil menjadi pendakwah sesuai ukuran kemampuan masing-masing. Mungkin kegiatan seperti ini perlu dilanjutkan di setiap Pimpinan Daerah Al Washliyah di seluruh Indonesia untuk kegiatan dakwah berkelanjutan dan mencetak da’i-da’i muda Al Washliyah.
Setiap setahun sekali kursus dakwah menerima kader-kader baru baik yang ada di kota Medan maupun daerah di sekitarnya. Untuk kegiatan prakteknya pada bulan Ramadhan para peserta diterjunkan untuk berdakwah ke dearah pedalaman Tanah Karo yang keadaannya pada waktu itu masih seram, jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Seru, lucu dan terasa kagum dengan segala kelebihan dan kekurangannya jika mengenang apa yang dialami saat pertama diterjunkan berdakwah ke daerah pedalaman tersebut.
Alhamdulillah mengikuti Kursus dakwah para peserta mendapatkan ilmu dan pengalaman yang cukup berharga dan tinggi nilainya dalam kehidupan sehari-hari dan untuk masa depan. Hikmahnya besar sekali, hasilnya diantaranya hingga saat ini saya masih tampil menjadi juru dakwah dapat mengisi ceramah-ceramah maupun khutbah dari tempat satu ke tempat lain dan dari masjid satu ke masjid yang lain dimana saja berada di dalam dan luar negeri. Untuk melengkapi ilmu dan keterampilan dakwah tentu kita harus menambah ilmu agama yang mau diajarkan seperti belajar di madrasah, mengikuti berbagai ceramah-ceramah agama, aktif di berbagai organisasi Islam, dsb.
Pelajaran dakwah yang diberikan pada waktu itu utamanya ilmu retotika dan metode dakwah ditambah dengan praktek berpidato di depan umum dan beberapa ilmu tentang keislaman. Ilmu pidato itu sangat bermanfaat tidak hanya untuk berdakwah, tapi juga untuk segala keperluan di masyarakat termasuk untuk melengkapi keterampilan menopang kebutuhan kerja dan pelengkap diri tampil dalam dunia kepemimpinan.
Setelah mengikuti kursus, semua peserta diberi sertifikat dan sertifikat itu masih utuh tersimpan dalam kumpulan file saya menjadi kenang-kenangan yang sangat berharga. Mendapatkan sertifikat Kursus dakwah pada saat itu senang sekali karena sebentar lagi akan diikutkan untuk terjun berdakwah ke daerah pedalaman Tanah Karo pada bulan Ramadhan.
KEBERANGKATAN MISI DAKWAH AL WASHLIYAH KE TANAH KARO
Setelah mendapatkan sertifikat mengikuti kursus dakwah, peserta segera diterjunkan ke daerah pedalaman diantaranya ke Tanah Karo. Waktu itu peserta dakwah masih muda-muda, umumnya aktif di lingkungan masjid masing-masing. Keikhlasan berjihad dan berkorban saat itu tinggi sekali, tidak memikirkan ada tidaknya dana untuk berdakwah dan rela berkorban apa yang bisa diberikan. Sarana komunikasi dan transportasi saat itu masih agak sulit, dana kurang mencukupi, anggota komunitas dakwah ini keadaan ekonominya rata-rata rendah sehingga biasa dan rela berdakwah dengan cara bersakit-sakit.
Perasaan Senang sewaktu akan diberangkatkan berdakwah naik dua buah bus besar dengan rombongan sekitar 100 orang bagaikan ingin pergi rekreasi bersama sambil berjihad fi sabilillah. Sepanjang jalan mulai dari Jalan Sisingamangaraja Medan, terus menuju Kota Kabanjahe melewati beberapa kota dengan jalan yang berliku-liku mendaki gunung menuju Brastagi, para peserta di dalam bus dalam keadaan suka ria dan riang gembira menyanyikan lagu-lagu nasyid dan lagu-lagu perjuangan Al Washliyah yang diajarkan di arena pengkaderan, cukup terhibur dan terkesan.
Sesampainya di Madrasah Al Washliyah Kabanjahe waktu sudah sore hari, semua peserta turun membawa tas pakaian masing-masing dan menginap semalam. Saat berada di Madrasah, persediaan air sangat terbatas hanya ada sedikit sisa tampungan air hujan dalam bak besar, mau mandi rasanya sejuk menggigil. Malam itu disajikan makan malam sederhana oleh panitia dalam suasana gembira sambil buka puasa, enaknya menyantap makanan dalam keadaan dingin dan lapar.
Beberapa saat sesudah makan malam, shalat Isa dan shalat Terawih, semua peserta dikumpulkan dan dibagi ke dalam beberapa grup, tiap satu grup terdiri dari tiga maksimal empat orang. Ada grup yang diterjunkan ke kampung-kampung di wilayah Kecamatan Simpang Empat, Kabanjahe dan ada yang ke daerah Barus Jahe. Kami satu grup ada tiga orang dan saya diangkat menjadi ketua grup, anggota lainnya yang satu pria Sdr. Usman dan satu lagi wanita Sdri Ida. Saat tengah malam semua peserta tidur beristirahat dan dini hari semua sudah bangun kembali untuk makan sahur dan shalat subuh.
LIKU-LIKU MENUJU KAMPUNG SIBERTENG
Pada besok harinya beberapa grup diberangkatkan dengan minibus ke daerah masing-masing. Kami diturunkan di daerah tiga Jumpa (simpang tiga). Dari situ kami berjalan kaki masuk ke pedalaman melalui beberapa kampung menuju kampung Siberteng. Kami berjalan perlahan sambil memikul tas masing-masing yang berisi pakaian bekal untuk beberapa minggu.
Pada saat itu kami berdakwah tidak dibekali uang maupun persediaan makanan, kami hanya dibekali nama kampung dan nama orang yang mau didatangi sebagai ketua Islam di kampung itu, yaitu Bapak Soe Barus, belakangan baru kami tahu bahwa beliau adalah seorang guru sekolah dan PNS di Brastagi. Tidak sempat terfikir oleh kami kalau akhirnya makanan kami selama berdakwah di kampung itu akan menjadi beban orang kampung tempat kami berdakwah. Kami hanya berbekal semangat jihad dan tawakkal alallah (Allah Karim).
Sambil menenteng tas yang sedikit agak berat untuk bekal pakaian selama dua minggu itu, kami terus jalan bertiga dengan penuh semangat dan riang gembira menuju kampung Siberteng. Semakin ke dalam, suasananya semakin seram dan mencekam, asing buat kami yang lahir dan besar di kota Medan, tak satupun diantara kami pernah berjalan-jalan ke daerah Karo tersebut, apalagi masuk ke pedalaman dengan udara yang cukup sejuk menggigit, sepi tak terlihat ada orang.
Menuju Desa Siberteng hanya ada jalan kecil tak beraspal. Tidak ada kenderaan yang melintas, kami tidak tahu seberapa jauh akan melewati jalan turun naik gunung waktu itu. Tidak ada penjelasan yang jelas kami terima, setahu kami memang belum pernah ada rombongan pendakwah Al Washliyah yang datang ke daerah itu sebelumnya. Semakin ke dalam keadaan semakin seram terus mendekati gunung dengan pepohonan yang lebat turun naik gunung, masih belum terlihat rumah orang saat kami sudah semakin masuk jauh ke dalam. Setelah beberapa jam kami berjalan, akhirnya didapati sebuah kampung namun jalan ke kampung itu masuk ke dalam belok dari jalan utama.
Jalan kami teruskan, setelah ditemui ada orang di sawah kami bertanya, dimana Kampung Siberteng. Setelah mendapat penjelasan jalan diteruskan masih melewati beberapa kampung lagi. Di jalan yang dilewati ada ditemui sawah, ada semak belukar, ada juga melewati pohon bambu dekat sungai kecil. Ada beberapa sungai yang dilintasi airnya jernih dan deras, sebagian sungai itu ada jembatan dan sebagaian lagi tidak ada tapi masih bisa diseberangi walau pakaian sedikit basah.
Sebenarnya terfikir juga oleh kami saat itu bagaimana kalau tiba-tiba ada binatang buas seperti harimah atau ular menyerang atau kami ditangkap oleh orang jahat, bersama kami ada seorang wanita, tapi saat itu tidak mungkin kami kembali dan tidak ada pilihan lain kecuali jalan terus menuju tempat yang dituju dengan tekad jihad dan tawakkal alallah.
Ada beberapa sungai yang kami lalui berfungsi untuk tempat mandi dan menyuci pakaian penduduk kampung yang dilintasi, pada sore hari ada beberapa orang sedang mandi di Sungai, menurut kebiasaan orang setempat mereka mandi melepas busana tanpa sehelai benang di tubuhnya, ada tempat mandi khusus untuk kelompok wanita dan ada tempat khusus untuk pria yang tempat mandinya berbeda-beda, ada yang di hulu dan ada yang di hilir, setiap orang yang melintas di jalan yang ada sungainya harus memberi isyarat agar mereka yang mandi membuat persiapan, terutama ditempat pemandian wanita jika lelaki mau melintas harus memberi isyarat suara, jika sudah ada kode baru boleh melintas. Mandi itu ada aturan adatnya seperti jika mertua sedang mandi di hulu maka menantu tidak boleh mandi di hilirnya.
Sewaktu kami bertemu lagi dengan satu dua orang di ladang berikutnya, kami bertanya lagi dimana kampung Siberteng, selalu jawabnya terus saja ikuti jalan lurus dan mereka sarankan agar kami cepat berjalan supaya tidak kemalaman. Kamipun mulai gelisah bagaimana kalau lewat di malam yang gelap. Ukuran jarak tempuh yang sering dipakai disana yaitu “sebatang rokok” atau dua tiga batang rokok yang lagi dihisap.
Waktu perjalanan sudah semakin sore, hujan turun rintik-rintik namun kami masih belum tiba ditempat, rasa takut semakin mencekam. Menjelang maghrib kami bertanya lagi di mana kampung Siberteng. Ada yang bilang sebatang dua batang rokok lagi sudah sampai. Akhirnya kami tiba ditempat yang dituju saat azan Maghrib, saat tiba kami langsung diguyur hujan deras sampai membasahi pakaian dan tidak punya persediaan payung. Kami tidak tahu berapa Kilometer kami berjalan, tapi saat itu ditempuh sekitar 5 sampai 6 jam dengan jalan kaki.
BEBERAPA KESAN INDAH DI KAMPUNG SIBERTENG
Setibanya di Kampung Siberteng, kami saksikan keadaan kampung saat itu sepi sekali, umumnya orang ada di dalam rumah dan dua tiga orang ada duduk-duduk di kedai kopi kedinginan sambil jongkok dengan menggunakan kain sarung menutupi kepala sampai ke tubuhnya, yang terlihat hanya mukanya. Kami mencoba untuk bertanya kepada orang yang ada di kedai kopi tersebut dengan bahasa Indonesia, “dimana rumah bapak Soe Barus?”. Diantara mereka ada yang mengerti bahasa Indonesia dengan ramahnya kembali bertanya “Kam Islam ya?”, lalu ia mengatakan “Kalau Bapak Soe Barus lagi di Brastagi mengajar, kam saya bawa ke rumah Bapak Sadu Barus saja ya, dia juga wakil ketua Islam di kampung ini”.
Sesampainya di rumah itu Bapak Sadu Barus ternyata tidak ada di tempat karena masih di ladang, tapi kami disuruh saja masuk karena pintu karena tidak dikunci. Setelah kami masuk tak lama Bapak Sadu Barus datang menyusul, ternyata mereka di kampung itu tidak tahu kalau kami akan datang karena tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu.
Sudah lewat waktu Azan Magrib, Bapak sadu Barus dengan ramahnya menyapa dan bertanya; “apa kam sudah buka puasa?, kami tidak tahu kalau kam akan datang kemari, jadi kami tidak siap apa-apa lah, tapi jangan hawatir, kam masak saja apa yang ada di dapur itu ya” (beliau menuturkan kata-katanya menggunakan bahasa Indonesia dengan intonasi bahasa Karo yang enak didengar). Diantara kami ada yang membawa sebotol teh manis, itu saja yang kami minum untuk buka puasa. Pada saat itu kami masih ada rasa enggan untuk memasak makanan karena belum tahu apakah keluarga tersebut sudah mengerti tentang hukum Islam, sehingga peralatan masakan di rumah itu suci atau bekas daging babi belum disamak. Kami juga belum kenal dengan tuan rumah sehingga segan untuk menanyakan hal itu.
Malam semakin gelap dan hujan semakin lebat, karena sudah sangat lelah berjalan seharian, setelah Shalat Maghrib dan Shalat Isya, kamipun tertidur lelap. Kami tidur diantara tumpukan jagung yang menggunung karena tuan rumah baru saja panen jagung, syukur masih terpisah tempat laki-laki dan wanita, dinding rumah dan lantainya terbuat dari kayu, jadi tidak terlalu dingin di dalam ruangan. Karena rumahnya tinggi bertiang, maka di bawahnya masih berkeliaran ternak babi. Ketika kami bangun tengah malam, kami hanya Shalat Tahajjud, tapi tidak makan sahur karena tidak ada makanan, namun demikian kami tetap melanjutkan puasa. Ada sedikit air yang hanya kami pakai untuk minum dan mengambil wudhuk Shalat Subuh.
Besok paginya kami ingin ke sungai mandi dan menyamak peralatan masakan di rumah itu, tapi kami masih merasa takut dengan babi yang saat itu bebas berkeliaran di halaman rumah. Syukur kami ditemani anak-anak kampung yang tidak pergi sekolah dan tidak ikut ke sawah. Ternyata turun ke sungai untuk mendapatkan air posisinya agak curam menurun sampai kira-kira 170 anak tangga, pagi itu cuaca masih sangat dingin.
Selama di sana kami setiap hari turun ke sungai sambil mengambil air dipikul ke atas untuk keperluan wudhuk dll. Kami sudah terbiasa banyak menggunakan air, tapi mereka di kampung itu hemat air karena sulitnya mendapatkan air, harus turun kelembah yang agak dalam. Ada diantara mereka yang menyediakan bak air di rumahnya untuk menampung air hujan, tapi jumlahnya sangat terbatas.
Anak-anak yang biasa mengiringi kami ke sungai, hari demi hari bertambah jumlahnya, mereka mendapatkan kesan tersendiri. Jika kami ke sungai turun bersama mereka terasa ada suasana lain, sambil bernyanyi bersama mereka memegang tangan kami saat menurun agar jangan jatuh dan mendorong kami dari belakang saat mendaki agar tidak terlalu lelah dan mereka yang membantu memikul air yang dibawa dari Sungai. Di sungai kami selalu memandikan anak-anak itu dengan sabun wangi yang sangat menyenangkan mereka karena badannya jadi wangi dan kami bersihi kerak-kerak yang melekat di tubuhnya.
Anak-anak itu terkesan sekali akan kehadiran kami. Sekitar tahun 2006 ada seorang Pemuda Karo, mahasiswa di Bandung menelpon saya, setelah ia mengenalkan diri ia mengatakan bahwa orang tuanya bercerita banyak tentang kami waktu dakwah ke kampungnya di Karo dan mereka juga ikut merasakan adanya kedekatan dan persaudaraan dari cerita-cerita itu. Sewaktu kami datang berdakwah, pemuda itu belum lahir. Ia hanya banyak mendengar cerita-cerita dari bapak dan ibunya. Waktu itu Ia meneruskan pesan ayahnya agar saya bersedia untuk mewakili ayahnya ikut mengantarkannya meminang anak gadis yang ingin dinikahinya di Jakarta.
Ada kisah lain yang indah dikenang pada masa dakwah itu. Suatu hari saya didekati oleh seorang nande-nande (nenek-nenek) berperawakan bersih dan tampil berwibawa, ada sirih tersumpal di bibirnya. Pada saat itu saya diberinya satu sumpit kecil beras dia serahkan begitu saja dengan wajah gembira dan tersenyum, karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Tak lama saya bertanya kepada orang yang ada didekat saya apa maksud penyerahan beras itu. Orang tersebut mengatakan itu tandanya anda diakui sebagai anaknya. Diterima datang ke kampung ini dan anda selama di sini, Insya Allah dijaga dan aman.
CERITA-CERITA MENARIK SAAT BERDAKWAH
Ketika kami datang ke kampung Siberteng, meskipun tidak ada pemberitahuan sebelumnya, namun mereka dengan senang hati menerima kehadiran kami walau tidak ada persiapan. Bahan makanan kami selama berada di daerah itu sudah mereka siapkan. Pada saat kami berdakwah, pada umumnya di kampung itu tidak banyak orang yang mengerti bahasa Indonesia, sekarang sudah berbeda karena anak-anak sudah bersekolah sehingga hampir semuanya orang di kampung itu sudah bisa berbahasa Indonesia, termasuk orangtuanya. Mereka sudah tidak lagi terisolir dari keramaian kota dan sudah ada orang yang bolak balik kerja dari kampung ke Kota Brastagi atau Kabanjahe, sudah ada transportasi lokal dan di antara anaknya sudah ada yag sekolah ke Medan, Jakarta, Bandung dan kota lainnya di Indonesia.
Saat kami berdakwah ada salah seorang di kampung itu yang tampil sebagai penterjemah yang selalu menterjemahkan apa yang kami katakan saat menjelaskan tentang Islam kepada masyarakat, dan saat menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. Kami bertiga tak satupun bisa berbahasa Karo, tapi kami dapat menyanyikan dua tiga lagu karo. Kami ajarkan kepada mereka tentang Tauhid, Fiqh, sejarah Islam, membaca Qur’an, shalat berjamaah, mengambil wudhuk, cara bersuci dsb, dalam bentuk yang sangat sederhana agar mudah dimengerti.
Sewaktu bercerita-cerita dengan orang setempat, ada diantara mereka yang sambil bergurau mengatakan bahwa Orang Karo itu sesungguhnya dekat sekali dengan budaya dan ajaran Islam. Jangan-jangan kata Karo itu juga berasal dari kata Kairo katanya sambil tersenyum. Perhatikanlah lanjutnya, anak-anak lelaki yang lahir di Karo semuanya dikhitan (sunat Rasul), perhatikan juga Ibu-ibu yang pergi ke ladang disini, semuanya pakai tutup kepala, selain itu banyak orang Karo yang menggunakan ayat Al Qur’an, kalau mengobati orang sakit walau dia tidak tahu artinya, selalu dimulai dengan kata bismillah ditutup dengan kata Alhamdulillah.
Ada lagi seorang kakek bertanya kepada kami. Bagaimana cara menyamak badan jika terkena sentuhan babi atau anjing?. Selama ini kalau dia menyamak badannya yang terkena babi dia buka bajunya lalu berguling-guling di pasir di pinggir sungai, setelah itu ia mandi membersihkan seluruh badannya di Sungai. Kami semua tertawa mendengarnya lalu kami beri penjelasan bagaimana cara bersuci dari najis tersebut yang sesungguhnya.
Di antara mereka ada yang mengatakan, “Kami suka menerima kedatangan tamu siapapun orangnya, jika ada pendakwah Islam yang datang kami akan menyambutnya dan bergabung dan jika datang missi Kristen kami juga menyambutnya dan ikut datang menghadiri acaranya”. Tapi bagi mereka yang sudah kuat Islamnya, biasanya mereka tetap bertahan tidak hadir jika datang misi Kristen. Orang Karo terkenal ramah dan baik dalam menerima setiap orang yang datang ke kampungnya, akan dihormati seperti tamu agung, itu juga yang sangat membantu para da’i yang datang berdakwah ke sana.
Ada juga diantara mereka yang mengatakan bahwa meskipun diantara kami ada yang sudah lebih 30 tahun masuk Islam, namun masih memelihara babi walaupun kami tahu sesungguhnya itu haram dan dilarang. Tapi bagaimana keadaan kami disini?. Coba bayangkan lanjutnya, harga sapi/kerbau mahal, sedangkan anaknya hanya dua ekor yang lahir dalam dua atau tiga tahun, lalu membesarkannya juga memakan waktu lama, hasil susunya sedikit, kotorannya untuk dijadikan pupuk juga sedikit, sedangkan kami butuh pupuk yang banyak untuk menanam sayur dan buah-buahan. Kalau babi lebih menguntungkan, modalnya murah, dalam beberapa bulan saja sudah melahirkan berpuluh-puluh ekor anak. Kotorannya banyak dapat dipakai untuk pupuk tanaman, sedangkan babinya dapat dijual. Kalau kami beralih ke ternak sapi, harus ada yang membantu modal lebih besar. Mendengar penjelasan itu sulit juga bagi kami menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi waktu itu.
RAMAI-RAMAI ORANG KAMPUNG SIBERTENG MASUK ISLAM
Suatu hari pada saat kami berdakwah, seorang jamaah yang hadir bertanya, “Orangtua saya belum masuk Islam apakah saya boleh mendoakannya agar dia juga masuk sorga bersama saya?”. Setelah dijelaskan tidak bisa karena orang tuanya belum beriman namun dinasehatkan agar ia tetap bergaul kepada orangtuanya sebagaimana sopan santun anak kepada orang tua, dsb. Lalu orang tersebut mengatakan, “Kam jangan pulang dulu ya sebelum ibu saya masuk Islam, rumahnya agak jauh dari kampung ini, saya mau menjeput dia lebih dahulu dan saya akan mengajak saudara-saudara yang lainnya agar mereka disyahadatkan masuk Islam bersama-sama”.
Pada hari yang direncanakan banyak sekali orang yang berkumpul lalu disyahadatkan satu persatu untuk memeluk agama Islam termasuk orang tua yang didatangkan tersebut. Pada dasarnya mereka di Tanah Karo yang belum memeluk agama mudah sekali untuk menerima Islam menjadi agama mereka, karena Islam banyak sesuai dengan adat istiadatnya, akan tetapi masih sedikit misi Dakwah Islam yang datang kesana untuk mengislamkan mereka yang belum beragama.
Untuk membuat suasana meriah dan daya tarik yang mempesona saat berdakwah, hampir semua grup dakwah yang diterjunkan membuat inisiatif membuat kreasi acara di tempatnya masing-masing. Ada yang ikut bekerja di sawah dan di ladang dan ada yang main drama dll.
Untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat, pada siang hari di saat orang kampung semua pergi ke ladang untuk mengurus kebun masing-masing, sekali-sekali kami juga ikut keladang melihat mereka dan ikut bekerja sedikit-sedikit membersihkan rumput. Kesempatan bertandang ke ladang tersebut kami gunakan untuk berbicara-bicara tentang apa saja yang dapat disampaikan sehingga walau waktunya sangat singkat tapi dapat menambah akrabnya hubungan kami dengan orang setempat.
Dakwah secara umum hanya dapat dilakukan pada malam hari setelah mereka beristirahat pulang dari ladang masing-masing.
Dalam kesempatan terakhir, grup kami sempat mengarang cerita secara singkat satu penampilan drama yang diolah dan dimainkan sendiri ceritanya. Meskipun dalam penampilannya menggunakan bahasa Indonesia yang kurang dipahami orang setempat dan ceritanya sangat sederhana, namun dari gerak gerik kami para pengunjung kelihatannya dapat menerka-nerka apa maksudnya. Mereka terlihat ikut tertawa gembira ketika menyaksikan drama itu, mungkin juga karena waktu itu sangat kurang hiburan maka acara drama seperti itu menjadi terkesan dan menjadi kenangan.
Pada acara penampilan drama itu sambil mengadakan acara perpisahan, masyarakat setempat mengundang orang sekampung dan saudara mereka di kampung lain untuk hadir. Untuk menghormati kami yang mendapat simpati dari masyarakat, mereka menyembelih seekor kambing untuk dihidangkan pada acara pesta perpisahan malam terakhir kami di sana. Kambing dimasak dengan kelapa parut yang agak banyak garamnya menyesuaikan dengan udara dingin untuk dimakan bersama, gulai dimasukkan ke dalam ember lalu dibagi-bagi kepada orang yang sudah duduk menunggu.
Di balik rasa gembira itu, ada timbul rasa sedih yang mendalam, suasana akrab yang telah terbina karena keterbatasan waktu akhirnya pupus juga karena kami harus segera meninggalkan kampung tersebut untuk kembali ke daerah asal. Terbayang kesedihan yang mendalam setelah kembali dari arena dakwah itu. Di dalam pikiran terbetik suatu pertanyaan “siapa yang akan meneruskan dakwah di kampung itu setelah sepeninggal kami?”, tentu jawabnya tidak ada yang meneruskan, entah kapan ada lagi missi dakwah yang turun ke daerah itu tidak ada yang tahu.
Perpisahan dari malam sampai pagi keberangkatan meninggalkan kampung mengundang kesedihan yang mendalam, tidak hanya kami yang menitikkan air mata, Bapak-bapak, ibu-ibu, nenek-nenek, kakek kakek, terutama anak-anak asuh yang selalu bersama kami naik turun gunung mengambil air sambil bernyanyi bersama juga ikut bersedih. Mata mereka berkaca-kaca tidak kuat menahan tangisnya ketika kami mengatakan besok hari kami akan kembali, selamat tinggal semuanya !.
KISAH DALAM PERJALANAN PULANG
Meski kami sudah merasa betah dan dekat dengan orang setempat, kemesraan itu akhirnya berlalu juga, waktu jugalah yang memisahkannya. Kami pamit pulang dilepas ramai-ramai oleh orang sekampung dengan kesedihan yang mendalam. Waktu itu mereka usahakan mencari beberapa buah sepeda motor untuk mengantar kami pulang karena bawaan semakin banyak. Mereka menitipkan oleh-oleh hasil panen berupa buah-buahan terutama jeruk, alpukat, markisa, terong batak,dll. Ada sayur-sayuran seperti kol, jipang, wartel, tomat, tebu dll. Masing-masing orang dibekali sampai sesanggupnya membawa paling bisa dibawa satu kantong beras.
Saat berpisah mereka menitipkan suatu pesan yang bagus sekali antara lain; “Kalau ada hal-hal yang baik dari kampung ini kam boleh ceritakan kepada orang lain, tetapi jika ada hal-hal yang buruk, tinggalkan cerita itu di kampung ini saja. Karena memang begitulah adanya kami disini”. Lambaian tangan mereka sekampung saat melepas kami menjadi kenangan abadi bersemi di dalam hati.
Saat berpisah kami menyarankan kepada ketua Islam dari Siberteng agar suatu saat mereka dapat datang ke Medan, Sumatera Utara, akan dibuat acara penyambutan yang hangat dan pengumpulan dana untuk kegiatan Islam di kampungnya. Suatu hari mereka datang ke Medan dan dibuat acara penyambutan yang hangat dengan acara upah-upah adat di Medan dan dikumpulkan sejumlah dana untuk membantu kegiatan Islam di kampung mereka. Mungkin itu yang membuat ingatan mereka tidak putus kepada grup dakwah kami.
Ketika berkumpul dan bertemu kembali dengan teman-teman yang datang dari berbagai kampung di Kabanjahe, rasa gembira kembali muncul menepis rasa sedih meninggalkan kampung Siberteng. Senang masing-masing menceritakan pengalamannya selama berdakwah, ada suka dukanya, tapi semuanya bergembira. Di Kabanjahe masih dibuat acara perpisahan dengan Muspida setempat.
Kepingin dakwah lagi? Itulah yang terlontar dalam hati masing-masing peserta, karena itu masih banyak diantara anggota yang meneruskan ikut kursus dakwah pada gelombang berikutnya dan ikut lagi berdakwah ke Karo, karena menyimpan kenangan yang indah.
KENANGAN LAIN YANG TIDAK TERLUPAKAN
Tahun berikutnya, saya terpilih jadi ketua koordinator dakwah untuk diterjunkan kembali menjalankan missi dakwah ke Tanah Karo. Ada beberapa kenangan yang tak terlupakan ketika menjadi penanggungjawab membawa rombongan dakwah hampir seratus orang pesertanya.
Suatu hari saat rombongan tiba di Kabanjahe, di sebuah toko saat saya membeli film untuk kamera, ada dua orang pemuda mendekat lalu menyenggol saya, kedua pemuda itu tidak diketahui darimana asalnya, namun saat itu tidak disadari tiba-tiba datang rasa curiga, setelah beberapa saat diperiksa dompet ternyata sudah tidak ada dan kedua pemuda itu sudah menghilang.
Di dalam dompet itu ada sedikit uang untuk persediaan selama kegiatan dakwah berlangsung tapi jumlahnya juga masih tidak mencukupi, berat dugaan saya saat itu kemungkinan kedua pemuda itulah yang mengambil dompetnya.
Setelah peristiwa itu terjadi, segera saya kembali ke Medan untuk mencari dana, saya temui Almarhum Bapak Haji Harun Amin sebagai Ketua Majelis Penyiaran Dakwah Islam (MPDI) PB Al Washliyah. Seperti biasanya beliau selalu menyambut tamunya dengan senyum khasnya apapun masalah yang dikemukakan, membuat kita selalu mempunyai harapan baik padanya, sifat beliau tidak pernah mengecewakan harapan orang jika ia bisa memenuhinya. Setelah diceritakan peristiwanya seperti biasanya beliau segera mengambil kertas kop DPR nya lalu membuat memo yang isinya lebih kurang “agar yang bersangkutan dibantu untuk mencari dana dakwah”. Beliau memberikan memo itu kepada saya sebagai modal sambil mengatakan’ dana kita tidak ada, tapi minta cari kemana saja sehingga kebutuhan dana dapat segera diatasi, nanti saya cari jalan lain untuk membantunya. Dengan berbagai upaya yang dilakukan akhirnya kami dapat mengatasi secara bersama-sama keperluan dakwah sampai kami kembali ke tempat.
Peristiwa lain yang tidak kalah serunya terjadi saat diadakan perpisahan akhir kegiatan dakwah, seperti biasanya semua peserta dikumpulkan di suatu tempat di Kampung ketika itu di desa “Law Kawar” Kecamatan Simpang Empat, Kabanjahe. Mungkin karena para peserta kelelahan, sudah lama meninggalkan keluarga, badan pegal-pegal dan capek, menghadapi suasana lain di luar rumah selama beberapa hari, cuaca dingin yang ekstrim, lama berpisah dengan keluarga dll, maka dalam suasana seperti itu saat perpisahan selalu ada diantara peserta yang jatuh pingsan. Biasanya terjadi pada peserta wanita, jika satu kena yang lain jika ingin membantu bisa terpengaruh jadi terbawa pingsan juga.
Pada saat kejadian itu ada empat orang wanita yang pingsan secara beruntun dalam waktu bersamaan. Dalam suasana seperti itu biasanya ada saja orang setempat yang datang ikut membantu untuk mengembalikan kesadaran peserta yang pingsan tersebut. Alhamdulillah hal itu segera dapat diatasi.
BERKUNJUNG KEMBALI UNTUK BERNOSTALGIA
Kenangan indah dan kemesraan itu ingin dikenang kembali. Indahnya kenangan bersama keluarga saat saya datang lagi kekampung Siberteng untuk bernostalgia. Kami memetik langsung buah jeruk dan membongkar sendiri buah kentang yang masih di dalam tanah gembur di kebun penduduk. Alam sekitarnya masih terasa sejuk dan segar seperti dulu. Anak-anak bersorak-sorak bergembira sambil berlari-lari berebut buah jeruk yang rimbun sampai memberati dahannya yang rebah ke tanah, mereka berlomba-lomba menggali kentang yang masih tertimbun di dalam tanah gembur yang subur, rasanya bahagia sekali. Itulah mungkin sifat kampungnya orang kota kalau sedang ke kampung.
Senang dan gembira sekali rasanya mengenang napak tilas sejarah perjalanan dan pengalaman saya dan teman-teman seangkatan waktu itu ketika mengikuti Kursus Kader Dakwah Al Washliyah dan praktek dakwah ke daerah pedalaman di akhir kursus. Waktu itu usia masih muda belia sekitar 16 atau 17 tahun bersama rekan-rekan lain yang sama mudanya dan semangatnya untuk berdakwah.
Walau kampungnya terpencil, namun masjid kecil yang berdiri di pinggir jalan yang dibangun Buya Hamka dahulu masih terawat dan berdiri kokoh hingga saat ini. Keadaan kampungnya sekarang masih tidak banyak perobahan, hanya ada beberapa tambahan bangunan. Masih kelihatan rumah adat asli yang pernah kami masuki saat berdakwah dulu, namun rumah itu tinggal satu dua sudah tidak dapat didiami lagi karena sudah terlalu tua. Di dalam rumah adat itu dahulu terdapat banyak kamar untuk tempat tinggal beberapa keluarga besar di dalamnya.
Kedai kopi yang kami singgahi pertama dulu, masih tetap ada. Tidak banyak perubahan, demikian juga ruangan bangunan luas yang terdiri dari tiang yang diberi atap seng disebut los tempat kami berdakwah dan main drama masih ada berdiri kokoh seperti dulu digunakan untuk membuat kerajinan tangan seperti keranjang dll. Perbedaan yang paling mencolok dulu dengan sekarang adalah jalan ke kampung itu. Kalau dahulu untuk mencapai kampung itu hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan kecil atau dengan sepeda motor melewati tanah becek dan lobang-lobang yang dalam, tetapi sekarang sudah bisa dilewati dengan kenderaan roda empat dan jalannya beraspal.
Demikian kisah yang dapat dituturkan dalam rangka menyongsong Silaturrahim Da’i Al Washliyah, tentu terasa jauh berbeda situasi dan kondisi dakwah, zaman dulu dengan dakwah kontemporer masa kini sudah dengan dukungan sarana komunikasi dan transportasi yang canggih dan dukungan dana yang lebih baik. Selamat bersilaturrahim, semoga Allah meridhoi apa yang kita kerjalkan. *
Penulis- H.Abdul Mun’im Ritonga, SH.MH
*Alumni peserta Kursus Kader Dakwah MPDI PB Al Washliyah periode 1976-1977.