JAKARTA – Sebagaimana diketahui, Pasal 40 UU No.41/2004 tentang Wakaf mengamanatkan bahwa tanah wakaf dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Semangat dari pasal ini adalah melindungi aset wakaf dari kemungkinan penyalahgunaan wakaf oleh siapapun, sehingga tidak terjadi penurunan nilai terhadap aset wakaf baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Namun demikian, larangan untuk “dialihkan dalam bentuk pengalihan lainnya” tersebut dapat dikecualikan apabila tanah yang telah diwakafkan akan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah, dengan syarat tanah wakaf ditukar dengan tanah pengganti yang memiliki manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan tanah wakaf semula.
Berkaitan dengan ruislah tanah wakaf itu, cukup banyak masyarakat yang hingga saat ini masih belum mengetahui bagaimana sebetulnya prosedur pelaksanaan ruislah tanah wakaf.
Kepala Seksi Mutasi Harta Benda Wakaf, Kementerian Agama, H.Hamim,S,Ag, M.Ag menguraikan prosedur teknis pelaksanaan ruislah (tukar-guling-red) tanah wakaf sebagai berikut:
Pertama, Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri Agama melalui KUA dengan menjelaskan alasan ruislah; Kedua, KUA meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Kementerian Agama tingkat Kabupaten/Kota; Ketiga, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota kemudian membentuk Tim Penilai Kelayakan dan Selanjutnya Bupati/Walikota setempat membuat SK; Keempat, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari Tim Penilai kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi yang selanjutnya diteruskan kepada Menteri Agama; Kelima, Setelah semua prosedur benar dan sesuai aturan, maka Menteri Agama menerbitkan surat izin Ruislah setelah mendapat pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Hamim mengingatkan, bahwa tidak semua tanah wakaf dapat dengan bebas diruislah. Terdapat beberapa ketentuan umum yang harus diketahui oleh nazhir sebelum melakukan ruislah, yaitu (a) perubahan status hak atas tanah wakaf dilarang kecuali dengan izin tertulis Menteri Agama berdasarkan pertimbangan BWI; (b) izin tersebut didasarkan karena adanya Rencana Umum Tata Ruang, tanah tidak dapat digunakan sesuai ikrar wakaf, dan karena keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak; (c) tanah penukar memiliki sertifikat yang sah dan nilai serta manfaatnya minimal sama dengan tanah wakaf; (d) nilai dan manfaat tanah pengganti ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi Tim Penilai yang anggotanya terdiri dari aparat Pemda, Badan Pertanahan, MUI, Kantor Kemenag Kab/Kota dan Nazhir yang bersangkutan.
(bimasIslam/esbeem)