JAKARTA – Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Wahiduddin Adam menegaskan bahwa rancangan undang-undang (RUU) santet dimaksudkan untuk melindungi setiap warga negara, yang didasarkan terhadap terjadinya tindakan anarkisme yang diduga sebagai pelaku santet. RUU ini sudah dimulai pengusulannnya sejak 40 tahun silam sekaligus sebagai jawaban terhadap kegelisahan masyarakat atas ketidakmampuan aparat keamanan untuk menindaklanjuti laporan-laporan tindak pidana yang berbasis santet, mistik.
“Jadi, RUU ini ada landasan filosofisnya, yang dianut adalah kepentingan individu, korban dan masyarakat umum. Juga ada alur historisnya. Di mana kita prihatin dengan aparat hukum yang tidak mampu menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut. Karena RUU santet ini sebagai sesuatu yang positif. Apalagi RUU ini sudah 40 tahun berjalan dan sekarang baru sampai di DPR RI,” tandas Wahiduddin dalam dialog Santet dan RUU KUHP yang digelar oleh Fraksi Gerindra bersama Permadi dan ahli hukum pidana, Roni Nitibaskara, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa, (2/4).
Hanya saja, penyusunan RUU Santet tersebut diharapkan melibatkan berbagai pihak yang benar-benar mengerti soal santet itu sendiri. Sebab, tanpa melibatkan pelaku santet, hampir bisa dipastikan undang-undang yang dihasilkan nantinya tidak akan efektif, apalagi memuaskan kepentingan masyarakat luas. Sementara santet ini sudah ada sejak jaman jahiliah. “Santet itu tetap ada, bertambah banyak, bahkan kalangan elit pun kini sudah mengenal santet,” tambah Pemerhati Supranatural, Permadi.
Meskipun ada pasal yang menyinggung perbuatan santet itu tidak bisa diterapkan dengan baik di lapangan kata Permadi, hal itu disebabkan karena produk perundangan-undangan itu sendiri tidak tepat. “Rumusnya salah semua, karena tidak disusun oleh orang yang mengerti santet. Masak jika saya mengaku bisa santet terus mau dihukum jika menolong orang yang kena santet. Sedangkan tukang santetnya dihakimi massa?” katanya..
Roni Nitibaskara berpendapat di masyarakat sangat banyak kasus penganiayaan maupun pengeroyokan yang didasarkan pada tuduhan melakukan santet. Bahkan tidak sedikit terjadi isu melakukan santet dijadikan alat untuk melakukan pembusukan karakter terhadap seseorang. “Faktanya banyak orang yang dikeroyok lantaran dituduh santet. Santet adalah tingkah laku yang tidak disukai oleh masyarakat,” kata Roni.
Sejauh itu katanya, kasus santet tersebut terjadi bukan saja di Indonesia, tapi di seluruh dunia termasuk negara maju sekalipun. “Beberapa pakar supranatural dari luar negeri melakukan penelitiannya di Indoesia, seperti di Papua, Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan daerah yang lain,” kata Roni. (gardo)