BerandaOpiniInovasi Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Inovasi Pendidikan Islam Muhammad Abduh

A. PENDAHULUAN. Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.

Di dunia Islam ia terkenal dengan pembaharuannya di bidang keagamaan. Dialah yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al- Qur’an dan Assunnah as Sahihah. Ia juga terkenal dengan pembaharuannya di bidang pergerakan (politik), dimana ia bersama Jamaluddin Al-Afgani menerbitkan majalah al ‘Urwatul Wutsqa di Paris. Lewat majalah inilah ia menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.

Di samping ia terkenal sebagai pembaharu di bidang keagamaan dan pergerakan (politik), Ia juga dikenal sebagai pembaharu di bidang pendidikan Islam, dimana ia pernah menjabat sebagai syekh atau Rektor Universitas Al Azhar di Mesir. Pada masa menjabat sebagai rektor inilah ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam. Dia yakin bahwa apabila Al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum muslim akan membaik. Menurutnya, apabila A-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan didalamnya pun harus dibenahi.

Kurikulumnya diperluas, mencakup sebagian ilmu-ilmu modern, sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di Eropa serta menjadi mercu suar dan pelita bagi kaum muslim pada zaman modern.

Menurutnya, ada dua pilihan untuk Al-Azhar: maju atau hancur sama sekali.

B. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M di sebuah desa pertanian di lembah sungai Nil. Beliau berasal dari keluarga yang berperekonomian menengah. Ayahnya, Abduh Hasan Khairullah adalah, seorang keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir. Sedangkan ibunya adalah seorang keturunan Arab yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga Umar Bin Khattab,
khalifah kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Kedua keluarga orangtua Muhammad Abduh sudah lama tinggal di desa dekat Tanta, tetapi pada akhir masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha mereka terpaksa pindah karena dibebani pajak yang tinggi oleh pegawai-pegawai Muhammad Ali Pasha.

Dalam masa setahun orang tua Muhammad Abduh dikatakan berkali- kali pindah. Hingga akhirnya menetap di desa Mahalla Nasr. Pada masa itu Muhammad Abduh masih dalam ayunan dan gendongan ibunya. Muhammad Abduh lahir dan besar dalam lingkungan desa dibawah asuhan ibu babak yang mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.

Pendidikan dasar Muhammad Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca dan menulis serta ilmu-ilmu keislaman. Selanjutnya ia belajar menghafal A-Qur’an di bawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun Muhammad Abduh berhasil menghafal Al-Qur’an dengan sempurna.

Selanjutnya, dalam usia 15 tahun ia dikirim ayahnya ke madrasah al-Ahmadi di Tanta untuk belajar ilmu agama. Namun metode yang dikembangkan disini sangat membosankannya. Ia merasa tidak memperoleh apa-apa dari madrasah ini dan meninggalkan Tanta untuk pulang ke kampung.

Setahun berikutnya, dalam usia 16 tahun Muhammad Abduh dikawinkan orangtuanya. Namun demikian ayahnya tetap mengharapkannya untuk melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Tanta. Namun ia tidak pergi ke Tanta, melainkan ke sebuah desa bernama Kanisah Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Di sini ia bertemu dengan Syekh Darwisy, seorang penganut tarikat Syadziliya yang mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam. Syekh Darwisylah yang mengubah hidup Muhammad Abduh dari seorang yang frustasi
pada sekolah menjadi seorang yang haus ilmu.

Syekh Darwisy selalu mengajak Muhammad Abduh berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul, menelaah suatu kitab, lalu menguraikan maksudnya. Cara-cara seperti ini membuat Muhammad Abduh merasa puas dan semakin bersemangat untuk terus belajar.

Setelah mendapat sentuhan dari syekh Darwisy, akhirnya ia kembali ke Tanta untuk meneruskan pelajaran. Setelah tamat dari Tanta, ia masuk ke Universitas Al-Azhar guna melanjutkan jenjang pendidikannya. Disini pun ia kembali kecewa, karena metode pelajarannya sama dengan yang ia dapat di Thanta. Maka, ia pun mencari guru di luar Al-Azhar. Disinilah ia belajar ilmu-
ilmu non agama yang tidak ia dapatkan dari Al-Azhar. Seperti matematika dan logika yang ia dapatkan dari Syekh Hasan At-Thawil. Filsafat ia dapatkan dari Jamaluddin Al-Afghani, yang ia rasakan sebagai guru paling berkesan.

Sewaktu Muhammad Abduh masih belajar di A-Azhar, Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Di sinilah buat pertama kali Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani, ketika ia bersama mahasiswa lain berkunjung ke penginapan Al-Afghani di dekat AlAzhar. Beberapa pertanyaan dan cara Al-Afghani menjelaskan membuat Abduh sangat terkesan.

Dan ketika Al-Afghani datang lagi di tahun 1871 M, untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh menjadi muridnya yang paling setia. Ia mulai belajar filsafat di bawah pimpinan Al-Afghani. Di masa ini ia telah mulai menulis karangan-karangan untuk harian Al-Ahram yang pada waktu itu baru saja didirikan. Di tahun 1877 M studynya selesai di Al-Azhar dengan mendapat
gelaran Alim. Ia mengembangkan ilmunya dengan mulai mengajar di al-Azhar, kemudian di Daar Al Ulum, disamping juga mengajar dirumahnya sendiri dengan mengajarkan buku tentang akhlak berjudul Tahdzib Al Akhlaq karangan Ibnu Miskaway, muqaddimah karangan Ibnu Khaldun History of Civilization in Europe yang sudah diterjemahkan oleh Al Thahthawi.

Hal ini membuktikan bahwa ia mencintai dunia pendidikan, sehingga ia memilih bidang pendidikan sebagai media pengabdian ilmunya dan sekaligus menjadikan bidang pendidikan sebagai tempatnya melontarkan ide-ide pembaharuannya. Dinamika ide-ide pembaharuannya yang demikian dinamis seringkali bertentangan dengan kebijakan penguasa pada waktu itu. Untuk itu,
dalam menghembuskan ide-idenya seringkali ia berhadapan dengan berbagai fitnahan yang mengakibatkan ia dihukum.

Diantara konsekuensi ini, dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang menangkap dan membuangnya ke luar negeri karena diindikasikan penguasa ketika itu sebagai salah satu tokoh yang ikut dalam Revolusi Urabi Pasha pada tahun 1882. Pada tahun 1884, ia diminta oleh Al Afghani untuk datang ke Paris dan bersama-sama menerbitkan majalah Al Urwat Al Wusqa. Pada tahun 1885, ia pergi ke Beirut dan mengajar disana. Akhirnya atas bantuan temannya ia kemudian diizinkan pulang ke Kairo. Disini ia kemudian diangkat sebagai hakim.

Pada tahun 1894 ia menjadi anggota Majlis Al A’la Al Azhar dan telah banyak memberikan kontribusi bagi pembaharuan di Mesir (Al Azhar) dan dunia Islam pada umumnya. Kemudian pada tahun 1899 ia diangkat sebagai Mufti Mesir dan jabatannya ini diemban sampai akhir hayatnya, Ia kemudian meninggal pada tahun 1905 dalam usia kurang lebih 56 tahun.

C. Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh

Sebagai seorang pembaharu (modernis), ide dan pemikiran Abduh mencakup dalam berbagai bidang. Menurut Al-Bahiy, pemikiran Abduh meliputi Segi politik dan kebangsaan, social kemasyarakatan, pendidikan, serta akidah dan keyakinan. Walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun bila diteliti dalam menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitikberatkan
(concern) pada bidang pendidikan.

1. Pembaharuan Di bidang Pendidikan

Diantara penjelasan dan historis berikut :

a. Sistem dan struktur lembaga Pendidikan

Muhammad Abduh melihat bahwa semenjak kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku di seluruh dunia Islam umumnya dan di Al-Azhar khususnya lebih bercorak dualisme (artinya: pendidikan madrasah yang menolak pelajaran-pelajaran umum dan pendidikan modern berbasis Barat yang tidak mengajarkan ilmu agama). Bila diteliti secara seksama, corak pendidikan yang demikian lebih banyak dampak negatifnya dalam dunia pendidikan. Abduh berusaha menghapus dikotomi ini.

Dengan melakukan lintas disiplin ilmu antar kurikulum madrasah dan sekolah, maka jurang pemisah antara golongan ulama dan ilmuwan modern akan dapat diperkecil. Pembaharuan pendidikan ini dilakukan dengan menata kembali struktur pendidikan di Al-Azhar, kemudian di sejumlah institusi pendidikan lain yang berada di Thanta, Dassuq, Dimyat dan Iskandariyah. Abduh
berharap, melalui upayanya melakukan pembaharuan di lembaga pendidikan Al-Azhar, maka pendidikan di dunia Islam akan mengikutinya. Sebab menurut pertimbangannya, Al-Azhar merupakan lambang dan panutan pendidikan Islam di Mesir secara khusus dan dunia Islam secara umum.

b. Kurikulum

Kurikulum Al-Azhar

Kurikulum perguruan tinggi Al-Azhar disesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini ia memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum Al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar out putnya dapat menjadi ulama modern.

Kurikulum Sekolah Dasar

Ia beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama (Islam) merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa keperibadian muslim, rakyat Mesir
akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap hidup yang baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.

Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruaan

Ia mendirikan sekolah menengah pemerintahan untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh merasa perlu untuk memasukkan beberapa materi, khususnya pendidikan agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Dengan tujuan agar lahir tenaga-tenaga ahli yang berwawasan keagamaan.

Di madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan Al-Azhar, Abduh mengajarkan Ilmu Mantiq, Falsafah dan Tauhid. Sedangkan selama ini Al-Azhar memandang Ilmu Mantiq dan Falsafah itu sebagai barang haram.

c. Metode

Muhammad abduh mengubah cara memperoleh ilmu dari metode hafalan kepada metode rasional atau pemahaman. Disamping menghafal
sesuatu, siswa juga harus memahami tentang materi yang dihafalnya. Ia juga menghidupkan kembali metode munazharah dalam memahami pengetahuan  dan menjauhkan metode taklid buta terhadap ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa Al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya merupakan ilmu yang tidak berkembang menjadi
ilmu yang berkembang yang dapat digunakan untuk menterjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahas Arab.

Selain itu Abduh juga telah membuat sebuah metode yang sistematis dalam menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan kepada lima prinsip, yaitu;

1. Menyesuaikan peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan nash-nash Al-Qur’an.
2. Menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan.
3. Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat.
4. Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran.
5. Tidak melalikan peristiwa-peristiwa sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat yang turun pada waktu itu.

Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh di bidang pendidikan tidak berjalan mulus. Terutama usahanya untuk menghapuskan dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, mendapat tantangan keras dari guru-guru besar di Al-Azhar. Mereka menganggap bahwa pendidikan agama-lah yang utama untuk dipelajari, sementara pendidikan umum itu haram dan tak layak untuk dipelajari.

2. Pembaharuan di Bidang Sosial Keagamaan

Menurut Muhammad Abduh sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah faham jumud (beku, statis) yang terdapat di kalangan umat Islam. Karena faham jumud inilah umat Islam tidak mau berfikir dinamis untuk mencapai kemajuan. Karena umat Islam bersifat statis dan berbegang teguh pada tradisi, sehingga merasa tidak memerlukan perubahan. Untuk mencerahkan umat Islam
dari kejumudan itu, Muhammad abduh menerbitkan majalah al-Manar. Yang mana penerbitan majalah ini diteruskan oleh muridnya yaitu Rasyid Ridha yang kemudian menjadi Tafsir Al-Manar.

Adapun ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh pada bidang keagamaan adalah :

• Untuk mendobrak kebekuan ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran- ajaran Islam yang sesungguhnya (Al-Qur’an dan Sunnah) dan membersihkan segala macam bentuk bid’ah dan khurafat. Umat Islam harus berani membuka pintu ijtihad untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi.

Mereka harus melakukan interpretas ulang terhadap pendapat-pendapat ulama masa lalu. Pendapat ulama tidaklah mutlak benar dan mengikat.

Menurut Abduh ajaran Islam terbagi dua, yaitu masalah ibadah yang tidak banyak memerlukan ijtihad dan masalah muamalah (sosial kemasyarakatan) yang menjadi lapangan ijtihad. Untuk masalah yang kedua ini umat Islam tidak perlu mempertahankan pendapat ulama masa lalu, apabila tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Pintu ijtihad harus dibuka seluas-luasnya terhadap
masalah ini.

• Akal mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. “Agama adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”. Dari akal akan terungkap misteri alam semesta yang diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Hanya dengan ketinggian akal dan ilmu manusia mampu mendudukkan dirinya sebagai makhluk yang tunduk dan berbakti kepada sang pencipta.

• Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula ilmu pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam.

3. Pembaharuan di Bidang Politik

Selain mengajar, Abduh juga aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin Al-Afghani dalam menentang penguasa Khedevi Taufiq. Akibatnya, Abduh dibuang ke luar Kairo setelah sebelumnya pada tahun 1879 Jamaluddin Al-Afghani disusir dari Mesir. Namun setahun kemudian Abduh diizinkan kembali ke kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar al-Waqa’I
al- Mishriyah. Abduh tidak hanya memuat berita-berita perkembangan terkini Mesir, tetapi juga artikel-artikel tentang sosial, politik, pendidikan, hukum, kebudayaan dan agama. Dibawah kepemimpinan Abduh surat kabar ini sangat berpengaruh dalam membentuik opini publik, terutama semangat nasionelisme Mesir dan penentangan terhadap penguasaan Mesir atas Inggris. Selain itu, penguasa Mesir ketika itu sudah sangat jauh dalam kebijakan yang sangat pro-Inggris.

Kondisi demikian membangkitkan semangat nasionalisme Abduh untuk menanamkan kebenciannya pada Inggris. Ia ikut mendukung gerakan pemberontakan kaum nasionalis Mesir dibawah pimpinan Urabi Pasha. Namun pemberontakan ini gagal dan akibatnya Abduh diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Dalam keadaan demikian, Abduh memperoleh undangan dari Jamaluddin Al-Afghani untuk bergabung bersamanya di Paris.

Mereka menggerakkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-Urwah al-Wutsqa (tali yang kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam melepaskan mereka dari perpecahan dan cengkraman bangsa-bangsa Barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal dengan nama yang sama dengan organisasinya. Jurnal ini bertujuan menggerakkan umat Islam. Namun jurnal ini hanya bertahan delapan bulan dan organasisa pun bubar. Ia pun kembali ke Beirut dan menjadi guru di sana. Selain itu Ia juga menyampaikan berbagai ceramah. Salah satu hasil ceramanya di Beirut yang dibukukan adalah Risalah al- Tauhid.

Adapun ide-ide pembaruan Abduh di bidang politik antara lain sebagai berikut:

Dalam hal kekuasaan, Abduh memandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Karena menurutnya, tanpa adanya konstitusi, maka akan timbul kesewenang-wenangan. Untuk itu Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan dengan memegang prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.

• Dalam program Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya, ditegaskan bahwa Partai Nasional adalah partai politik, bukan partai agama. Yang mana keaggotaannya terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mazhab, termasuk orang kristen dan yahudi. Partai ini didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu saudara, dan hak-hak mereka dalam politik dan hukum sama.

• Menurut Abduh, kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat. Karena itu, Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak despotic dan tidak adil.

D. Perlawanan Terhadap Taklid

Mengenai perlawanan terhadap taklid, ditegaskan Abduh bahwa eksistensi taklid tidak bisa dipertahankan, bahkan harus diperangi. Hal ini disebabkan karena sikap taklid merupakan penyebab umat Islam menjadi mundur. Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan dan mempertahankan sikap taklid tersebut. Taklid juga menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, system pendidikan dan sebagainya. Abduh menegaskan bahwa sikap taklid itu sangat bertentangan dengan tabiat dan ciri Islam itu sendiri. Bahkan katanya, Al-Qur’an dan Hadis melarang umat Islam bersikap taklid.

Untuk memerangi sikap taklid ini, Abduh berusaha menghidupkan kembali khazanah buku-buku lama. Abduh seperti dinukilkan al-Bahiy, mengatakan sebagai berikut : “jika kita mengkaji kembali buku-buku sebelum kemandekan Islam, berarti kita telah maju selangkah untuk memperbaiki buku- buku fikih. Selama kita masih terikat kepada ungkapan-ungkapan dalam buku
mutaakhirin yang beredar dan kita memahami agama hanya dari buku itu, berarti kebodohan kita makin bertambah”.
Untuk mengghidupkan kembali buku-buku berharga yang selama telah hilang dari peredaran, pada tahun 1900 M abduh mendirikan suatu perhimpunan nama jam’iyat al-Ihya-i-al-Kutub al-‘Arabiyah (Perhimpunan menghidupkan buku-buku Arab). Perhimpunan ini langsung diketuai oleh Muhammad Abduh dan mendapat bantuan penuh dari Syekh Muhammad Mahmud asy-syinqithiy, seorang ahli bahasa Arab yang terkenal luas dan mendalam ilmunya. Perhimpunan ini berusaha untuk mencetak kembali kitab Al-Mudawwanah susunan Imam Malik, sebuah kita fikih bernilai tinggi yang hampir tidak dikenal umatnya lagi.

E. Penutup

Dengan seluruh aktivitasnya ini, Muhammad Abduh bisa telah mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan dan
keterbelakangan. Ia adalah seorang mujtahid sekaligus mujaddid pada masanya.

Diantara wawasan intelektualnya yang sampai saat ini masih dirasakan dan dikaji oleh umat Islam adalah Risalah al-Tauhid. Sementara itu, kumpulan pidato- pidato, pikiran-pikiran dan ceramah-ceramahnya telah ditulis oleh seorang muridnya yang bernama Rasyid Ridha, bertajuk Tafsir Al-Manar.

Pendapat Muhammad Abduh terebut di Mesir sendiri mendapat sambutan dari sejumlah tokoh pembaharu. Murid-muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasan tersebut melalui majalah al- Manar dan Tafsir al-Manar. Kemudian Kasim Amin dengan bukunya Tahrir al- Mar’ah, Farid Wajdi dengan buku Dairat al- Ma’arif, Syekh Thahtawi Jauhari melalui karangannya
Al- Taj al- Marshuh bi al- Jawahir al- Qur’an wan al- Ulum. Demikian pula dikatakan selanjutnya seperti Husein Haykal, Abbas Mahmud al-Akkad. Ibrahim A. Kadir al- Mazin. Mustafa Abd al- Raziq, dan Sa’ad Zaglul, bapak kemerdekaan Mesir.

Bahkan menurun Harun Nasution selanjutnya, karangan Muhammad Abduh sendiri banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, bahasa Turki dan bahasa Indonesia. Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:

1. Reformasi pendidikan
2. Mendirikan lembaga dan yayasan sosial
3. Mendirikan sekolah pemikiran

Kiprah panjang karirnya berakhir ketika Sang Khalik memanggilnya untuk selamanya pada tahun 1905 M. pemikirannya tentang pembaharuan pendidikan Islam terus berlanjut sampai kini.

Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi pola ormas Islam. Dengan demikian tidak berlebihan jika kemudian Abduh dikatakan sebagai figur seorang pembaharu Islam yang menggerakkan kebangkitan umat.

DAFTAR PUSTAKA

* Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000
* Ali, Mukti. A, Alam Pikiran Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995.
* Al-Bahiy,Djarnawi, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.
* Hanafi, A, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.
* Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age, diterjemahkan oleh Suparno
dkk, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung: Mizan, 2004
* Iqbal, Muhammad, dan Amin Husein, Pemikiran Politik islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Prenada Media, 2009
* Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarat: Bulan Bintang, 1975
* Ramayulis, dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal
Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Ciputat: Ciputat
Press, 2010.
* Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998.

Penulis- Zubaidah Khan, MA

* Wakil Ketua PW APA Sumut
* Dosen UMN Al Washliyah Medan, Sumut

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille